Oleh: Pandu Wibowo, Peneliti Politik CIDES Indonesia
SuaraJakarta.co, OPINI – Pergantian Kepala Daerah DKI Jakarta memang masih terbilang lama, namun situasi persaingan politik sudah terasa sangat panas menjelang tahun 2016. Basuki Cahya Purnama atau sering dipanggil Ahok sudah bertekad akan maju kembali dalam Pilkada DKI Jakarta mendatang sebagai petahana. Bahkan relawan atas nama “Teman Ahok” sudah melakukan gerakan pengumpulan satu juta KTP untuk mendukung Ahok maju kembali sebagai gubernur. Tidak hanya pihak incumbent yang sudah siap-siap amunisi dari sekarang, pesaing Ahok lainnya pun sudah bermunculan satu persatu. Mulai dari Sandiaga Uno yang sudah menyatakan siap memimpin Jakarta, dilanjutkan deklarasi Adhiyaksa Dault sebagai gubernur beberapa hari yang lalu juga cukup mengejutkan publik Jakarta khususnya. Selain itu, muncul juga isu-isu Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, dan Wali Kota Surabaya, Tri Risma yang juga memanaskan isu Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Terlepas munculnya bakal calon gubernur, perlunya kita menganalisis lebih dalam tentang siapa yang akan memiliki action opportunity untuk benar-benar maju dan mendapat dukungan warga Jakarta. Untuk mengetahui action opportunity siapa yang akan maju sebagai gubernur, kita dapat melihatnya dari dua hal. Pertama, hasil perolehan suara partai politik di DKI Jakarta saat Pemilu Legislatif 2014, dan alternative candidate yang mendapatkan dukungan dari rakyat Jakarta karena krisis tokoh di internal partai politik.
Dalam peringkat partai politik yang mendapatkan suara terbanyak di Jakarta pada Pileg 2014, PDIP, Gerindra, PKS menjadi partai papan atas yang mendapatkan suara terbanyak. Sedangkan suara Golkar dan Demokrat yang mendapatkan suara signifikan di tingkat nasional, tidak demikian sukses mendapatkan suara di ibu kota. Berikut prolehan suara partai politik di DKI Jakarta pada Pemilu 2014; PDI-P 27,67%, Gerindra 14,17%, PKS 9,34%, PPP 8,96%, Golkar 8,45%, Hanura 7,39%, Demokrat 7,31%, Nasdem 5,23%, PKB 5,46%, PAN 3,81%, PKPI 1,42% PBB 0,78%.
Dari perolehan suara tersebut, kita dapat memetakan secara kasar partai mana saja yang memiliki action opportunity untuk memajukan calonnya. Kemungkinan besar, PDIP, Gerindra, dan PKS akan memajukan tokohnya masing-masing dalam Pilkada kali ini. Ketiga partai ini berani memajukan calon di karenakan memiliki suara yang cukup besar dan tokoh yang layak di majukan. Sementara, posisi tiga besar ke bawah yang kemungkinan besar akan memajukan calonnya adalah Golkar dan Demorkat. Karena kedua partai ini juga memiliki tokoh yang cukup untuk dimajukan menjadi gubernur. Sisa partai tersisa akan sulit memajukan calon di karenakan suara yang tidak signifikan dan tidak memiliki tokoh kuat untuk dimajukan.
Jika kita lihat data-data di atas dalam waktu sekarang, secara kasar kita dapat mempetakan koalisi yang akan terbentuk menjelang Pilkada DKI Jakarta mendatang. Berikut table pemetaan koalisi menejelang pilkada mendatang atau terjadi pilkada hari ini:
Koalisi 1: PDIP, Nasdem, Hanura, PKPI |
Koalisi 2: PKS, Gerindra, PPP, PKB, PAN, PBB |
Koalisi 3: Golkar, Demokrat |
Akan terjadi pembelahan ideologi dalam koalisi ini, yakni nasionalis di koalisi 1 dan 3, dan Islam plus satu nasionalis di koalisi 2. Pembelahan ideologi ini juga akan menciptakan party ID dan menjadi hal penting untuk mendapatkan dukungan kultural dari masing-masing konsituen.
Selain melihat dari prolehan suara partai politik untuk mengetahui action oppotuniy calon kuat gubernur, alternative candidate menjadi hal yang dapat mempengaruhi lahirnya calon kuat kepala daerah. Terkadang banyak sekali tokoh independen yang maju sebagai kepala daerah karena dukungan murni dari masyarakat. Terbukti di Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat kemarin muncul calon-calon independen, walau akhirnya kalah. Calon independen yang sudah tampak muncul dalam persaingan di Pilkada DKI Jakarta mendatang adalah Adhiyaksa Dault. Namun terkadang, banyak sekali calon independen yang gagal menang dalam Pilkada di karenankan tidak mendapat dukungan dari partai politik – walau calon independen tersebut memiliki kualitas yang cukup baik untuk menjadi kepala daerah. Fenomena ini terjadi di Pilkada DKI Jakarta dan Jawa Barat kemarin. Oleh sebab itu, kemungkinan besar dipertangahan jalan menuju pendaftaran calon, lobi-lobi politik akan sangat terasa. Bisa jadi, alternative candidate/ calon independen yang memiliki elektabiltas dan popularitas yang kuat akan diusung oleh partai politik – ketika di intenalnya, elektabiltas dan popularitas calon dari partai politik tersebut terus menerus kalah saing dalam uji publik. Hal demikian, tidak menutup kemungkinan akan terjadi di Pilkada DKI Jakarta mendatang.
Komponen lain yang harus diperhatikan secara detail dalam proses menuju persaingan kursi gubernur ibu kota adalah terkait sosok yang diinginkan oleh publik Jakarta. Dalam survey terakhir yang dilakukan CIDES, sosok pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan ibu kota, terutama banjir dan kemacetanlah yang sangat didambakan oleh warga Jakarta. Hampir 80% warga Jararta menginginkan sosok pemimpin yang seperti ini. Karena hasil nyata Ahok sampai sekarang belum terlihat dan teruji. Misalkan saja dalam proses normalisasi sungai dan pembangunan transportasi publik. Semuanya masih dalam proses dan masih menunggu hasil akhirnya, dan di proses itu juga timbul masalah baru seperti konflik perebutan lahan dan kemacetan karena proyek perencanaan pembangunan.
Sisanya warga Jakarta menginginkan sosok pemimpin yang santun dan relijius – walau tingkat presentase keduanya masih di bawah komponen pertama tadi. Perkataan Ahok asal keluar dan tidak memakai etika cukup membuat warga ibu kota resah. Padahal dalam pendekatan komunikasi politik, komunikasi terbaik seorang pemimpin publik adalah bijak dan santun tutur katanya. Karena jika pemimpin publik sudah gagal melakukan komunikasi politik, maka akan menjadi ajang ejekan media-media dan akhirnya justeru akan menurunkan popularitas dan elektabiltas sang pemimpin publik tersebut. Selain sopan santu pemimpin Jakarta ke depan, publik juga menginginkan pemimpin yang relijus di ibu kota. Fenomana ini semakin banyak muncul di ormas-ormas Islam di DKI Jakarta, seperti FPI, PUI, Muhammadiyah, dan lainnya yang tidak suka dengan kebijakan Ahok yang kontra terhadap nilai-nilai agama seperti, pelarangan saur on the road, pelarangan memotong dan menjul hewan kurban di beberapa tempat, dan sikap pro penjualan minuman keras di Jakarta. Perlu diingat, tingkat kerelijiusan warga Jakarta cukup tinggi dalam beberapa survey terkahir. Bisa jadi, jika ada partai Islam atau calon islami yang maju dalam bursa gubernur, mayoritas umat dan ormas Islam akan bulat mendukungnya karena sentimen kegamaan.