The Fed Tunda Pengumuman Kenaikan Suku Bunga, Ekonomi Indonesia Kian Terpuruk

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Pengumuman penundaan kenaikan suku bunga dolar Amerika Serikat (AS) diyakini akan membuat ekonomi negara-negara berkembang semakin terpuruk. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh Ekonomi Samuel Sekuritas Rangga Cipta di Jakarta yang menegaskan bahwa penundaan tersebut hanyak berefek singkat dalam penguatan rupiah, setelah itu, rupiah akan kembali melemah yang berarti dolar kian bergerak ke tren positif.

“Penundaan kenaikan suku bunga acuan AS sempat mengangkat nilai tukar rupiah, namun hanya dalam jangka pendek. Masih adanya harapan bank sentral AS (the Fed) untuk menaikan suku bunga pada tahun ini kembali mendorong dolar AS bergerak ke area positif,” katanya sebagaimana dikutip dari laman Suara Pembaruan, Senin (21/9).

Sebagaimana diketahui, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Senin (21/9) sore bergerak melemah sebesar 83 poin menjadi Rp14.457 dibandingkan posisi sebelumnya di posisi Rp14.374 per dolar AS. Menurut Rangga, dolar AS akan tetap berada pada tren penguatan hingga menjelang pertemuan The Fed atau Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) berikutnya pada 27-28 Oktober mendatang.

“Sentimen penundaan kenaikan suku bunga acuan AS pada rapat FOMC September lalu kembali menjadi kekhawatiran di pasar keuangan negara-negara berkembang,” katanya.

Hal ini sebagaimana ditegaskan pula oleh pengamat pasar uang Bank Himpunan Saudara, Rully Nova. Menurutnya, akibat kebijakan the Fed yang menunda kenaikan suku bunga acuannya kembali membuat ketidakpastian pelaku pasar di negara berkembang termasuk di Indonesia.

“Belum adanya kepastian waktu dari bank sentral AS untuk merealisasikan kebijakannya maka tren nilai tukar rupiah masih berada dalam area negatif,” katanya.

Sementara itu, dalam kurs tengah Bank Indonesia (BI) pada Senin (21/9) mencatat nilai tukar rupiah bergerak menguat menjadi Rp14.451 dibandingkan sebelumnya di posisi Rp14.463 per dolar AS.

Sebagaimana diketahui, suku bunga inti (prime rate) AS yang berada pada kisaran 0,25 persen, tidak kunjung naik selama kurun waktu 9 tahun, mulai dari 2006. Jika terus dipertahankan kondisi idle seperti ini, maka ekonomi AS tidak akan pernah tumbuh dan akan banyak aset yang menggelumbung karena dana-dana murah akan berkeliaran secara spekulatif sehingga tinggal menunggu waktu untuk meletus. 

Di satu sisi, menurut Torsten Slok, ekonom dari Deutsche Bank, sebagaimana dikutip dari Harian Kompas, Senin (21/9), jika The Fed (bank sentral AS) menaikkan suku bunga akan melahirkan banyak jutaan peminjam warga AS akan tertekan sehingga berpotensi melahirkan menaikkan angka kemiskinan. Namun, di sisi lain, jika tidak dinaikkan, akan menimbulkan tekanan karena akan terus-menerus membuatbublling sebagaimana yang pernah terjadi di tahun 2008/2009 saat krisis yang terjadi pada perusahaan Lehmann Brothers. 

Related Articles

Latest Articles