Oleh: Muhammad Mualimin, Ketua HMI Komisariat Al Azhar dan Ketua DPC PERMAHI Jakarta Selatan
SuaraJakarta.co, OPINI – Dalam dunia ide, kemiskinan dan pengangguran tidak ada. Penggusuran dan inflasi tak mendapat ruang sedikitpun meski sedetik saja ingin bercokol dalam dunia Idealisme.
Dunia Ide terlalu mulia untuk di isi kemunafikan sosial. Di negara ini, aku takut orang – orang jujur berubah fikiran. Aku cemas orang – orang benar bosan dalam ketulusannya berkewarganegaraan. Di negara ini, orang – orang menyuap, membayar, membeli dan berkomplot untuk jabatan yang diinginkan. Keculasan – keculasan berlangsung rapi dan sukses. Mereka tenar dan populer tanpa sedikitpun hukuman menimpa mereka. Jika semua itu secara nyata ada didepan kita, Lalu apa gunanya bicara tentang kebenaran?
Apakah dunia ini netral atau berpihak pada kebenaran? Kenapa pelaku persekongkolan hidup kaya tanpa dihukum Tuhan? Kenapa ku temukan orang miskin rajin menyembah Tuhan tapi hidupnya ‘’berkelahi’’ dengan utang dan kesengsaraan? Dunia macam apa yang membiarkan ketidakadilan tumbuh subur seperti ini?
Dari 659 Trilyun (versi Majalah TIMES) harta yang didapat Soeharto dari monopoli dan ‘’perampokan’’ kekayaan negara, berapa yang kembali pada rakyat?. Kalau anak cucu ‘’penggelap’’ dibiarkan hidup kaya sedangkan negara kaya hutang, apa alasan kita tetap berpijak pada kebenaran? Jika kecurangan adalah ‘’syarat’’ kesuksesan dan terjamin ‘’aman’’ dinegeri ini, kenapa tidak?
Lihat betapa industrialisasi sudah ‘’menumpulkan’’ kemanusiaan anak – anak kita. Mahasiswa tidak lagi bicara tentang politik dan kebobrokan penguasa. Lidah tajam mereka sudah terbekap obrolan ‘’sampah’’ tentang COC, Clubing, pantat wanita, sampai – sampai sosial media pun telah merampas ingatan dan pendengaran mereka akan suara adzan dan Tuhannya.
Lihat aktivis zaman sekarang, mentang – mentang pembungkaman dari rezim sudah tiada mereka larut dalam pragmatisme dunia matrealis. Aktivis – aktivis dakwah menjadi ‘’permaisuri’’ yang takut berkeringat dan malas ‘’menyapa’’ rakyat miskin dijalanan. Mereka meng-elitkan diri sembari ‘’mengoceh’’ halal – haram secara kaku dan jumud.
Bahkan ‘’lumbung’’ pergerakan sekelas HMI pun kini seolah kerupuk tersiram air kobokan. Melempem dan ‘’becek’’ dalam ketidakjantanannya. Dulu ku fikir hanya suara konstituante dalam pemilu yang dapat dibeli. Ternyata, meskipun menjadi fakta menjijikkan, kini suara mahasiswa laku juga dibeli dengan harga murah dengan sedikit ditambahi kemunafikan intelektual. Terlalu banyak demonstrasi mahasiswa hari ini yang didorong oleh ‘’pesenan’’ dari ‘’setan’’ pembisik kepentingan. Aku jumpai ‘’virus’’ pragmatis itu dan baru ku sadari itulah penyebab ‘’kemandulan’’ pergerakan aktivis Ibukota hari ini.
Siapa yang tidak gelisah melihat kabut asap ‘’menusuk’’ hidung – rongga dada anak – anak Sumatera? Memangnya memadamkan api lebih susah ketimbang ‘’manipulasi’’ mindset yang berdampak terbutakannya 200 Juta rakyat Indonesia dalam belenggu pencitraan? Jadi Presiden ini becus tidak mengelola negeri ini?
Jika revolusi rakyat selalu ‘’dipancing’’ oleh fakta dan kenyataan punahnya Idealisme, sudah cukupkah inflasi dan ketidakadilan hari ini menjadi pemicunya? Irak dan Libya runtuh dalam Revolusi, Suriah diujung tanduk, Malaysia sedang sekarat dan Indonesia sebentar lagi ‘’tenggelam’’ bersama matinya Idealisme.
Hari ini perbedaan tidak lagi menjadi rahmat. Kebhinnekaan sudah dipandang sebagai ‘’batu ganjalan’’ dalam ide kaum fanatis. Khutbah kalau tidak mengkafirkan jama’ah ‘’sebelah’’ rasanya kurang sedap untuk diperdengarkan. Bukan pemuda pembela agama kalau belum membakar tempat ibadah umat sebelah. Bukan golongan orang ‘’beriman’’ kalau belum teriak ‘’sesat’’ pada kelompok yang lain. Dan sangat memuakkan jika ‘’penyakit’’ nasionalisme golongan tersebut sudah merasuki pola fikir mahasiswa.
Kemana insan – insan Idealis hari ini? Apakah mahasiswa hari ini takut kena pentungan polisi sehingga toa – toa karatan tak terpakai? Kalau bukan kaum intelektual siapa lagi yang peduli pada kesengsaraan rakyat? Harusnya Mesir hari ini sudah menjadi negara paling maju didunia karena dari 1000 tahun yang lalu telah berdiri Universitas Al Azhar sebagai ‘’rumahnya’’ kaum intelektual. Tapi kenapa Mesir masih saja terbelakang? Itu semua karena kaum intelektual menghianati tanggungjawab sosial yang menempel dikerah almamater mereka.
Kita terkepung oleh moncong dunia matrealisme. Alat komunikasi yang katanya ‘’memudahkan’’ terbukti gagal merekatkan jarak koneksi jiwa manusia – manusia modern. Produk teknologi dan industri telah menciptakan ‘’kekeringan’’ sosial dan merampas “moods” orang – orang terhadap Tuhannya. Agama dipandang merepotkan dan ‘’mengganggu’’ rutinitas keseharian. Akhirnya banyak manusia modern yang ‘’murtad’’ dan berpindah ke ‘’Tuhan’’ Permissivisme.
150 tahun yang lalu, siapa yang mengira orang – orang Inggris akan ‘’murtad’’ dari Protestan dan beralih ke Sekulerisme? 200 tahun yang lalu, siapa yang menyangka Gereja – gereja di Perancis akan sepi seperti kuburan?. Jika krisis Idealisme bangsa hari ini dibiarkan, maka jangan tangisi kalau 50 tahun mendatang Pancasila ‘’dirobohkan’’ bak runtuhnya patung Lenin di Ukraina pasca bubarnya Uni Sovyet. Setengah abad mendatang Indonesia akan menjadi negara sekuler. Tidak ada lagi sila Ketuhanan. Identitas dan tulisan agama hanya akan nampak di KTP, tembok masjid dan lembaran kitab suci. Agama akan mengalami alienasi sosial. Pembicaraan tentang Tuhan ditempat umum hanya akan menjadi topik ‘’aneh’’ yang kuno dan pantas untuk tidak dihiraukan. Bila saat itu tiba maka belilah sekeranjang bunga kamboja dan jangan lupa bawa batu nisan, karena Tuhan telah ‘’mati’’.