SuaraJakarta.co, JAKARTA – Kampung Adat yang berlokasi di Kampung Pulo, Jatinegara, itu kini telah rata dengan tanah karena digusur oleh Gubernur DKI Ahok. Penggusuran yang merebut hak-hak sipil kemanusiaan warga Jakarta tersebut diklaim adalah bagian menghapus sejarah Betawi karena Kampung Pulo adalah bagian dari Kampung Adat yang ada di daerah Jakarta.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Ketua Ciliwung Merdeka, Sandyawan, sebagaimana dikutip dari laman Kompas (11/8).
Menurutnya, Ciliwung Merdeka mengklaim, bersama komunitas warga Kampung Pulo dan Bukit Duri, di Jakarta Selatan, sedang mempersiapkan desain komprehensif pembangunan kampung susun yang manusiawi.
Sandyawan mengatakan pihaknya telah melakukan dasar studi antropologi sejarah kampung, dasar hukum, dan pemetaan serta perencanaan tata-ruang dan wirausaha ekonomi komunitas warga secara komprehensif modern bagi warga Kampung Pulo.
Sebab, Kampung Pulo menurut dia, Kampung Pulo bersejarah bagi Jakarta. Ia menolak kampung ini ‘diratakan’ selamanya.
“Di situ kan kampung adat. Sebenarnya di situ ada jiwa komunitas warga asli Jakarta. Bisa jadi tempat pariwisata,” ujar Sandyawan.
Sementara itu, tim Kuasa Hukum Ciliwung Merdeka, Vera menduga Pemprov DKI Jakarta tak menggubris hak dan kewenangan warga Kampung Pulo terkait normalisasi kali Ciliwung.
Vera berpendapat pertemuan antara warga Kampung Pulo dengan Pemprov DKI pada tanggal 24 Juli dan 4 Agustus lalu terlihat adanya perbedaan persepsi Pemprov DKI terkait tanah adat warga Kampung Pulo.
“Pertemuan tanggal 24 Juli dan 4 Agustus membahas hak milik adat. Tapi, tim Ahok menyebut Pervonding (tanah adat) Indonesia sudah berakhir sejak berlakunya UU Agraria. Tapi, nawacita Jokowi justru ingin sertifikatkan tanah- tanah adat milik warga, nah program dua pemerintah ini tidak sejalan,” kata Vera, sebagaimana dikutip dari laman Sindo News (11/4).
Vera menjelaskan, dari penjelasan yang Ahok sampaikan pada pertemuan yang lalu, sekitar 80 persen tanah negara dengan asumsi pervonding (tanah adat) di Kampung Pulo adalah tanah negara dengan asumsi Pervonding itu tidak berlaku.
Padahal, kata Vera masyarakat justru memiliki bukti lengkap dan sah sesuai dengan aturan perundang-undangan dan berhak mendapat ganti rugi atas rencana normalisasi itu.