SuaraJakarta.co, OPINI – 70 tahun Indonesia merdeka, akan muncul pertanyaan di benak seluruh warga negara di Indonesia, “ada apa dengan Indonesia? Sudah 70 tahun berlalu Indonesia merdeka, kenapa kesejahteraan masih belum merata? Mengapa pembangunan terasa begitu lambat? Mengapa pelayanan kepada masyarakat, dirasa masih kurang profesional?” pertanyaan-pertanyaan seperti itu akan mendominasi pikiran-pikiran masyarakat jika sudah mendekati hari kemerdekaan.
Jika kembali melihat sejarah salah satu negara yang pernah menjajah Indonesia—Jepang—kurang lebih 19 tahun—menurut sumber sejarah—Jepang benar-benar berjuang untuk membangun kembali perekonomian bangsa pasca pemboman Hiroshima dan Nagasaki. Jepang menghidupkan industri-industri persenjataan dan teknologi yang mumpuni saat itu, hingga akhirnya mewarisi kedisiplinan dan ketekunan dari generasi ke generasi sehingga negeri ini menjadi negara yang maju.
Jika kita balik berbicara tentang Indonesia, bahkan 70 tahun Indonesia merdeka, masih belum memiliki ekonomi yang kuat, dan sumber daya manusia yang “terlatih dan terdidik”. Pendidikan sudah tersedia, akan tetapi, output dari pendidikan masih belum mampu membawa negeri ini ke gerbang kemakmuran. Terutama mahasiswa-mahasiswa yang akan menjadi penerus bangsa, belum begitu banyak yang memberikan aksi dan karya terbaik untuk bangsa.
Ada stimulus-stimulus penting yang masih diabaikan kebanyakan pemuda atau mahasiswa—meskipun beberapa mahasiswa sudah terlihat melakukannya, akan tetapi masih berjumlah minoritas. Hal-hal tersebut antara lain:
1. Selalu membawa buku catatan dan observasi
Observasi sangat diperlukan, dimanapun dan kapanpun. Masalah yang terjadi di lingkungan sekitar, selalu dicatat dan diperhatikan, untuk selalu dipikirkan solusi atas masalah-masalah tersebut. Perubahan selalu dimulai dari lingkungan kecil atau lingkungan sekitar, hingga akhirnya bisa melebar dan memberikan dampak yang besar.
Kemanapun, selalu perhatikan masalah apa yang benar-benar menjadi momok terbesar bagi lingkungan sekitar, sehingga kita bisa menjadi bagian dari solusi masalah-masalah “mikro” sebelum membesar dan menjadi masalah “makro.”
2. Hindari hedonisme
Perang pemikiran adalah perang terbesar saat ini. Perang ini masih terjadi di lingkungan pemuda-pemudi Indonesia yang akan menjadi penerus bangsa selanjutnya. Perang pemikiran yang menjangkiti anak muda saat ini adalah, hedonisme. Menghabiskan waktu dan uang secara berlebihan untuk konsumsi, baik itu konsumsi ke restoran atau cafe-cafe mahal, maupun konsumsi barang-barang mewah. Jika hedonisme masih menjadi iconic pemuda Indonesia saat ini, maka siapa lagi yang mumpuni mengurus bangsa di bidangnya? Siapa lagi yang akan menciptakan teknologi terbarukan untuk kesejahteraan masyarakat? Hindari hedonisme, dan manfaatkan waktu senggang untuk belajar dan berkarya.
3. Peduli sesama dan menghormati orang tua
Orang tua disini, tak hanya orang tua kandung, melainkan orang yang lebih tua dari kita. Indonesia bukanlah negara yang penuh dengan masyarakat yang egois, pengkhianat, curang, dan munafik. Jika masih banyak masyarakat saat ini yang bertindak seperti itu—menjadi seorang pengkhianat, curang, dan lain-lain—berarti ada yang salah dengan negeri ini. Pemuda adalah changemaker. Peran pemuda dalam mewujudkan negara yang ramah dan sejahtera, sangat dibutuhkan. Kalau bukan pemuda yang berinisiasi, siapa lagi? Peduli, beraksi, dan selalu hormati orang yang lebih tua, siapapun itu. Terlebih lagi orang tua kandung, guru-guru, maupun dosen-dosen.
4. Polymath (ahli dalam banyak ilmu)
Istilah polymath masih asing bagi masyarakat Indonesia, termasuk para pemuda. Polymath sendiri, selain istilahnya yang masih asing, juga tidak semua memiliki semangat untuk menjadi seorang polymath. Menjadi seorang polymath berarti selalu penasaran dan haus akan ilmu pengetahuan, sehingga tak hanya mempelajari apa yang menjadi latar belakang pendidikannya, melainkan belajar bidang lain, sehingga khasanah ilmu pengetahuannya semakin banyak, dan mampu melahirkan karya-karya inovatif untuk bangsa.
Empat hal yang masih banyak diabaikan ini, jika diaplikasikan dan dilaksanakan secara profesional serta maksimal oleh tiap pemuda, maka negeri ini akan menjadi negeri yang benar-benar merdeka dikarenakan digerakkan oleh sumber daya manusia yang mumpuni. Satu hal yang dapat dipelajari dari “negeri penjajah” Indonesia, bahwa mereka memanfaatkan waktu dengan sangat baik untuk bangkit dan beraksi. Semoga para pemuda Indonesia saat ini juga bisa segera bangkit dan membawa negeri ini ke puncak kegemilangan dengan stimulus atau strategi di atas yang mulai hilang dari diri pemuda, dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama.
Penulis: Maudina Tri Hartasya, Mahasiswa Universitas Tanjungpura dan President of JOINT (Jaringan Organisasi Internasional Mahasiswa)