SuaraJakarta.co – DENGAN populasi lebih dari 250 juta, Indonesia menjadi negara terbesar keempat di dunia dan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Banyaknya penduduk muslim menuntut produk makanan yang dijual di Indonesia memiliki sertifikat halal. Seiring berkembanganya perekonomian, kehalalan tidak hanya dituntut dari produk makanan saja, namun juga merambah pada produk perbankkan. Saat ini bank-bank di Indonesia berlomba mengembangkan bank syariah demi mewujudkan produk halal perbankkan tersebut. Sayangnya, bank syariah yang masih terpusat di perkotaan menjadi hambatan bagi masyarakat di pedesaan untuk mengaksesnya.
Terbatasnya lahan perkotaan menimbulkan efek domino kompleksnya permasalahan di kota. Lahan yang menjadi faktor penting dalam proses produksi kian sulit didapatkan di perkotaan. Selain itu, terbatasnya lahan merembet pada masalah kemacetan lantaran sulitnya menabah ruas jalan, pemukiman kumuh, banjir lantaran DAS yang dijadikan lahan pemukiman, dan banyak masalah lain. Padahal, Indonesia sebagai negara terluas ke-16 memiliki luas 1,9 juta km2. Hal ini terjadi karena pembangunan yang terpusat di kota. Sedangkan penduduk Indonesia mayoritas tinggal di desa.
Penduduk Indonesia yang mayoritas tinggal di desa, dengan lahan pedesaan yang masih luas menjadi peluang pengembangan ekonomi pedesaan. Hal ini bukanlah hal baru, sejak lama pemerintah telah berencana menumbuh kembangkan perkonomian desa. Namun hal tersebut terhambat oleh masalah pendanaan. Pendanaan lewat bank untuk membiayai usaha rakyat pedesaan terhambat oleh sulitnya akses ke bank. Disisi lain, kecilnya nominal pembiayaan yang dilakukan di desa membuat bank berpikir ulang untuk mulai membuka cabang usahanya didesa. Solusi dari permasalahan ini, penulis menyarankan supaya dilakukan pengembangan Baitul Mall wa Tamwil (BMT) sebagai lembaga keuangan mikro syariah didesa.
BMT adalah penggabungan sistem perbankan dengan pelaku usaha sektor riil. BMT menjalankan perniagaan yang benar, dengan menerima penanaman modal dari para nasabah untuk kemudian menggunakan dana tersebut dalam berbagai sektor usaha riil yang dijalankan langsung oleh BMT atau disalurkan sebagai pembiayaan. Dalam pengoperasiannya BMT bergerak mulai dari sektor perdagangan barang, jasa, hingga sektor pabrikasi. Layaknya sebuah koperasi, BMT bermodalkan dana yang disimpan oleh anggota atau nasabahnya. Dana yang terkumpul dikelola untuk kemudian disalurkan menjadi dua produk utama yaitu pembiayaan dan pengadaan.
Layaknya pembiayaan di bank, calon mitra mengajukan proposal pembiayaan usahanya kepada BMT. Proposal pembiayaan yang diterima akan diproses dan terjalinlah hubungan kerjasama antara BMT dan pemilik usaha. Berbeda dengan bank konvensional yang menghitung tambahan pengembalian melalui persenan bank. BMT menggunakan konsep bagi hasil dalam pengembalian modalnya. Yang menarik dari bagi hasil ini selain halal karena bebas riba, juga terjadi hubungan yang erat antara BMT dan pemilik usaha. Sebab BMT memiliki kepedulian besar atas berhasil tidaknya usaha yang dilakukan. Semakin besar laba yang diperoleh pemilik usaha, semakin besar pula yang diterima oleh BMT. Namun, bila terjadi kerugian, BMT ikut pula menanggungnya.
Konsep yang ditawarka BMT sesungguhnya sudah digagas oleh founding fathers bangsa ini. Kalau kita ingat kembali, dalam UUD 1945 pasal 33 menyebutkan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarakn azas kekeluargaan”. Hal ini sangat sesuai dengan jalinan erat dan kebersamaan dalam untung rugi yang terjadi di BMT.
Penulis: Erwinsyah Ardi, Mahasiswa Manajemen Universitas Padjadjaran dan Asisten Manajer Tamwil BMT ISEG UNPAD