SuaraJakarta.co – Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional (BPJS) berencana menaikan iuran bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan non-PBI, hal ini juga direstui oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).
Alasannya adalah defisit di tahun pertamanya. Chazali Situmorang selaku ketua DJSN menyatakan “…besar pasak daripada tiang alias lebih besar klaim ketimbang iuran yang diraup…” Iuaran baru untuk peserta PBI diusulkan menjadi Rp. 27.500 dari Rp. 19.225, sementara untuk peserta non-PBI bertambah Rp. 10.000 untuk setiap kelas yang berlaku. BPJS mencatat defisit tahun lalu, total iuran yang masuk mencapai Rp. 41,06 triliun, total manfaat dan klaim yang dibayar sebesar Rp. 42,6 triliun, kesimpulannya adalah rasio klaimnya menjadi 103,88 persen.
Defisit ini kemudian disiasati dengan menggunakan dana cadangan teknis Rp. 6 triliun. Pada akhir tahun 2014, sisa dana cadangan Rp. 2,2 triliun. Dana ini kemudian dialokasikan oleh pemerintah dalam APBN-P 2015 Rp. 5 triliun.
Fachmi Idris, Direktur Utama BPJS sebelumnya malah pernah mengatakan, kebanyakan masyarakat yang mendaftar menjadi peserta ketika mengalami musibah sakit. “Ketika sakit di rumah sakit, baru mendaftar”, lagi-lagi masyarakat disalahkan.
Berselang 1 hari dari penyetujuan kenaikan iuran BPJS oleh DJSN, Menteri Kesehatan Nila F Moelok dan Direktur Utama BPJS Fachmi Idris langsung berkonsultasi pada Presiden. “Presiden tidak katakana besaran (kenaikan) tapi setuju dengan apa yang akan kita coba…” artinya Presiden setuju dengan kenaikan iuran ini, bahkan untuk PBI yang berasal dari kalangan tidak mampu ditambah besarannya.
Haruskah Kita Percaya Dengan Alasan Defisit? Sementara Peserta Meningkat Melebihi Target Utama! 03 April 2014 Humas BPJS menyebarkan berita umum berjudul “SUMBER DANA BANYAK, BPJS SANGAT SEHAT” berita ini dipublikasi karena ada dugaan masalah keuangan yang membuat BPJS hanya berumur dua bulan, hal ini dibantah keras.
Kementrian Kesehatan pada waktu itu mengungkapkan data bahwa uang yang dikelola BPJS cukup besar sehingga mustahil bangkrut. Bahkan Kepala Regional VII BPJS Jatim Kisworowati prihatin dengan munculnya penilaian bahwa BPJS berumur pendek karena finansial. Dia mengungkapkan data bahwa penerimaan BPJS tahun itu diprediksi mencapai Rp 38,2 triliun. Pendapatan itu pasti didapat karena bersumber dari alokasi buat peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang sudah disepakati di APBN. Selain itu, dari uran PNS, pegawai pemda, TNI/Polri, jamkesda, dan peserta mandiri. Karena itu, meski jangkauan peserta mandiri belum maksimal pun, posisi keuangan BPJS bisa dikatakan sangat aman, paparnya menyombongkan diri di ruang redaksi Jawa Pos (14/3/14).
Dalam setahun, BPJS menargetkan pendapatan dari pendaftaran peserta mandiri mencapai Rp 104 miliar. Namun, hanya dalam dua bulan saja BPJS mampu mencapai pendapatan Rp 43,5 miliar. Karena itu, BPJS optimis pendaftar peserta mandiri terus bertambah. Kisworowati juga menanggapi adanya dana cadangan teknis yang dimiliki BPJS dari peralihan PT Askes sebesar Rp 5,5 triliun. Dana itu hanya dipakai jika iuran premi dari peserta tidak mencukupi.
Namun, dengan jumlah pendapatan pasti yang diterima BPJS, dana cadangan teknis itu sampai sekarang belum terusik, ungkapnya belagu. Dengan begitu, kami tidak akan bangkrut. Sebab, kami memiliki sumber pendapatan pasti dari pemerintah melalui APBN.
Belum termasuk dari sumber pendapatan lain, tambahnya makin pede. Di satu sisi, pengeluaran BPJS untuk membayar kapitasi di tingkat layanan primer hanya Rp 650 miliar per bulan, sedangkan pelayanan kesehatan tingkat lanjutan sekitar Rp 2-2,4 triliun per bulan. Termasuk biaya nonkapitasi dan di luar Ina CBGs sekitar 1,6 triliun.
Jumlah pengeluaran itu sudah pasti ter-cover dari pendapatan BPJS, tegas Kisworowati. Mengenai masa depan BPJS, Kisworowati optimis pendapatan yang diterima dari BPJS naik karena pendaftar mandiri terus bertambah.
14 April 2014 Humas BPJS menyebarkan berita umum lagi berjudul “Iuran Peserta BPJS Kesehatan Terkumpul RP. 8,5 Triliun” sudah pasti berita ini dimunculkan untuk meningkatkan kepercayaan publik bahwa BPJS mampu mengelola jaminan kesehatan. Direktur Kepesertaan BPJS Sri Endang Tidarwati menjelaskan, data Kementerian Kesehatan menunjukkan sampai dengan akhir Maret 2014, dari pembayaran klaim BPJS yang masuk ke rumah sakit telah terjadi surplus, terutama di semua rumah sakit tipe A yang terdata. Juga terjadi 96% surplus di semua rumah sakit tipe B dan C, dan 97% di kelas D. “Artinya dalam 100 hari pelaksanaan JKN, asumsi atau opini di awal-awal bulan Januari bahwa sebagian besar rumah sakit akan merugi dengan tarif Ina CBGs menjadi tidak terbukti,” katanya pada waktu itu.
Sehingga dapat kita lihat alasan menaikan iuran karena defisit adalah untuk menambah surplus. Menteri Kesehatan pada 5 Januari 2015 saat beraudiensi dengan Menteri Kordinator Bidang Perekonomian RI menyatakan, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) hingga Desember 2014 mencapai lebih dari 131 juta jiwa, sudah melebihi target yang diteteapkan sebelumnya. Secara umum dapat dikatakan bahwa masyarakat luas menerima program JKN dengan cukup baik. Bagaimana mungkin kita harus percaya tahun 2014 BPJS mengalami defisit sehingga berencana menaikan iuran, pada awal-awal beroperasi mereka begitu sombong mampu mengelolanya, BPJS mustahil bangkrut.
Bahkan awal Januari Menkes mengatakan peserta BPJS sudah melebihi target, sekarang ingin menaikan iuran dan menyalahkan masyarakat seperti yang dikatakan Dirut BPJS. Sementara pelayan BPJS sangat amburadul, ini bisa kita lihat dari kasus-kasus peserta BPJS tidak mendapatkan ruangan, obat yang seharusnya di cover dikenakan tarif, tidak sedikit pula yang meninggal dunia karena pelayanan rumah sakit yang buruk, dll.
Belum lagi peraturan-peraturan BPJS yang tidak masuk akal dan merugikan peserta seperti Peraturan Direksi BPJS Pusat 211/2014 dan Permenkes no; 28/2014, Pelayanan Kesehatan, poin 10. Status kepesertaan pasien harus dipastikan sejak awal masuk Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL).
Sudah sangat jelas bahwa BPJS adalah lembaga “NGAWUR” yang mengelola jaminan kesehatan kita, dan sudah terbukti gagal dalam menjamin kesehatan bagi masyarakat. Bayangkan berjuta-juta rakyat mendaftar sebagai peserta jaminan kesehatan, hal ini justru dimanfaatkan untuk terus mengeruk keuntungan.
Kesehatan adalah produk yang telah dijual, sementara kita adalah konsumen atas produk tersebut. BPJS sebagai pengelola produk ini, diawal tahun mati-matian meyakinkan masyarakat bahwa produk yang dijual harus kita beli, dan kita telah membeli barang yang dijual tersebut sampai melebihi target penjualan menjadi tumbal untuk menaikan harga barang, karena kita meminta garansi yang jelas-jelas barang yang kita beli rusak.
Jika demikian BPJS bukan lagi lembaga yang ditunjuk Undang-Undang untuk mengelola jaminan sosial, tetapi telah menjadi sebuah perusahaan asuransi sosial yang bertujuan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Karena yang kita yakini adalah kesehatan untuk siapapun, kapanpun dan dimanapun.
Penulis: Agung Nugroho, Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia)