Site icon SuaraJakarta.co

Tionghoa di Batavia: Sejarah Kelam hingga Intuisi Brilian dalam Berbisnis

Kawasan Pecinan, Pasar Baru, Jakarta Pusat (foto: iman/ suarajakarta.co)

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Sejarah etnis Tionghoa dalam berjasa bagi Indonesia, khususnya Jakarta (batavia), tampaknya tidak sedikit. Dikutip dari laman Wikipedia, para etnis Tionghoa tersebut sebagian besar masuk ke Indonesia melalui perdagangan.

Bahkan, beberapa catatan-catatan dari Tiongkok menyebutkan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara, pada sekitar abad ke-4, telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok.

Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Tiongkok ke Nusantara, dan sebaliknya.

Selain karena faktor perdagangan, orang-orang Tionghoa yang datang ke Nusantara tersebut awalnya hanya untuk singgah sementara sebelum berangkat ke India untuk mempelajari agama Buddha. Catatan yang ditulis oleh agamawan, seperti Fa Hien (abad ke-IV) dan I Ching (abad ke-VII) menjelaskan bahwa persinggahan orang Tionghoa di Bumi Nusantara tersebut akhirnya dibimbing oleh seorang guru bernaman Janabhadra, khususnya mempelajari Bahasa Sansekerta.

Bahkan, di Catatan Ma Huan disebutkan bahwa dalam ekspedisi Cheng Ho ke Nusantara, banyak pedagang Tionghoa yang beragama Islam sudah mulai menghuni Batavia dan beberapa kota bandar di Majapahit, seperti di Semarang (abad ke-15). Ekspedisi Cheng Ho ini inilah yang pada akhirnya banyak menghadirkan etnis Tionghoa beragama Islam, juga dalam kontribusinya bagi mengusir kolonialisme Belanda.

Tionghoa di Batavia

Begitupun sejarah etnis Tionghoa di Batavia. Untuk melanggengkan kekuasaan Belanda, diangkatlah beberapa pemimpin komunitas dengan gelar Kapiten Tionghoa. Tugasnya adalah menjadi penghubung antara pemerintah dengan Komunitas Tionghoa , khususnya dalam hal perdagangan.

Kapiten Tionghoa pertama di Batavia adalah So Beng Kong, atau Phoa Beng Gan, yang berjasa membangun beberapa kanal di Batavia. Pengganti dari So Beng Kong tersebut adalah Mohamad Djafar: Kapiten Tionghoa Muslim kedua (terakhir) yang beragama Islam di Batavia.

So Beng Kong berjasa membangun perekonomian Batavia di abad ke-17, sehingga menjadi tangan kanan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (JP Coen) pada saat itu.

Karena kepercayaannya, JP Coen mengangkat So Beng Kong sejajar dengan para Kapiten lain yang berasal dari suku berbeda, seperti Bugis, Bali, Makasar, India, dan sebagainya. Peran Ben Kong dalam membentuk Batavia terlihat dari upayanya dalam mencetak uang tembaga, saudagar kapal, kontraktor, pedagang, dan juga memegang lisensi penyelenggaraan judi di Batavia.

Tidak hanya itu, bagi JP Coen, Beng Koen juga berjasa bagi Belanda dalam menjadi Diplomat untuk menghubungkan Belanda dengan pihak Banten (Britania). Beng Kong juga berjasa bagi perdagangan antara Formosa (Taiwan) dengan Batavia pada akhir Dinasti Ming.

Namun demikian, meskipun dikenal dekat dengan Belanda, etnis Tionghoa juga tidak lepas dari sasaran pembunuhaan massal atau penjarahan yang dilakukan oleh Belanda (VOC). Berbeda dengan JP Coen, Gubernur Jenderal Adrian Valckenier yang memerintah mulai dari 3 Mei 1737-6 November 1741 melakukan Politik Diskriminasi hingga pembantaian terhadap etnis Tionghoa.

Pakar Sejarah Asia Tenggara, Rudiger Siebert dalam bukunya yang berjudul “Berjejak di Indonesia”, sebagaimana dikutip dari laman Sindo News (21/7/2014), menjelaskan bahwa pada masa menjelang runtuhnya kejayaan VOC sudah banyak pendatang Etnis Tionghoa yang berdagang di Indonesia. Antara VOC dan Tionghoa saling berebut pangsa pasar yang sama, yaitu masyarakat dan para raja-raja lokal di nusantara saat itu.

Melihat adanya ancaman tersebut, Gubernur Jenderal Adrian Valckenier melakukan penindasan terhadap etnis Tionghoa. Seorang Penulis Jerman bernama Goerg Bernhardt Schwarz yang berada di Batavia saat terjadi penindasan tersebut, mengatakan bahwa orang-orang Tionghoa dideportasi dan dibuang ke tengah laut. Bahkan ada orang-orang kaya Tionghoa di Jakarta yang memiliki surat administrasi lengkap dan telah menjadi warga Jakarta yang ditangkap dan dideportasi.
Orang-orang Tionghoa pada saat itu, tidak mau diam. Pecah perlawanan untuk melawan kolonialisme Belanda pada 10 Oktober 1740 di Batavia.

Sehari kemudian, 11 Oktober 1740, Belanda melakukan serangan balasan. Mereka mendatangi rumah-rumah dan pemukiman-pemukiman orang Tionghoa di Jakarta. Mereka menggedor pintu rumah, memaksa masuk ke dalamnya, dan menembaki orang-orang yang ada di dalamnya.

Kemudian mereka membakar rumah-rumah itu berikut orang-orang yang ada di dalamnya. Pembantaian itu sangat sadis hingga terasa menjijikan untuk dituliskan dengan kata-kata. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan sejarah pembantaian orang Tionghoa di Jakarta.

Perlawanan Tionghoa ini tidak hanya terjadi di Batavia. Bahkan di Jawa, etnis Tionghoa bersama dengan etnis Jawa berperang melawan VOC pada rentang waktu 1740-1743. Di Kalimantan Barat, komunitas Tionghoa yang tergabung dalam “Republik” Lanfong[ berperang dengan pasukan Belanda pada abad XIX.

Banyaknya pemberontakan massif etnis Tionghoa terhadap kolonial Belanda di beberapa daerah inilah yang memicu lahirnya Aturan Wijkenstelsel, yaitu aturan yang tidak lagi memperbolehkan etnis Tionghoa bermukim di sembarang tempat untuk mencegah interaksi dengan pribumi, termasuk mengembangkan kegiatan perekonomian (jasa) nya kepada warga pribumi.

Aturan inilah yang pada zaman sekarang melahirkan “pecinan” di beberapa kota besar di Indonesia. Seperti, di Pasar Baru, Kampung Cina Cibubur, Pecinan di Semarang, dan sebagainya. (iman/ dari berbagai sumber)

Exit mobile version