Site icon SuaraJakarta.co

Teroris: Jakartalah yang Teroris, Berkacalah Jakarta!

Foto: Sosmed

Sampai dengan sebuah peristiwa itu berlalu dan menjadi sebuah ingatan, barulah awal dari pencarian makna, nilai dan pelajaranya dapat dilumat sebagai vitamin yang baik buat hati dan pikiran. Sebagaimana rangkaian teror yang berlangsung di Jakarta kemarin pagi (14/1) secara reaktif, masyarakat di dunia maya dan di dimanapun pergunjingan isu berlangsung—merespon dengan aktiv aksi teror sebagai sebuah kengerian dan ketakutan yang berarti. Dengan pesatnya gelombang informasi publikpun terkonsentrasi dengan kejadian tersebut. Entah kebetulan atau tidak peristiwa teror bertepatan dengan sorotan publik terhadap ditangkap tanganya Damayanti anggota DPR dari Fraksi PDIP dalam kasus korupsi sebuah proyek pemerintah, dan juga bertepatan dengan tenggat waktu yang diberikan pemerintah kepada FREEPORT dalam kelanjutan penawaran saham.

Dalam situasi dan kondisi yang kompleks seperti itu realitas sulit sekali digeneralisir. Namun demikian para netizen berlomba berspekulasi dengan dilekatkanya isu-isu yang berkembang, walhasil pengalihan isu menjadi topik utama, hemat penulis suatu peristiwa diniatkan atau tidak sebagai pengalihan isu, sangat bergantung pada media yang mengkapitalisasi berita tersebut. timeline di media sosial mendadak kebanjiran ahli ilmuwan cocoklogi. Dari kesimpulan prematur sampai himbauan untuk tidak menggunakan hastag #PrayForJakarta karena dianggap mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar, dan tampaknya dunia hanya peduli pada uang. Menjelang sore berita mengerucut pada klaim ISIS sebagai dalang dibalik teror, dan lagi-lagi agama yang menjadi muara kedangkalan spekulasi. Tulisan ini tidak berupaya mengungkap siapa dan apa motif pelaku, sebab penulis bukanlah kepala BIN yang tidak mau disalahkan karena kecolongan atau Jendral dari pangdam yang membuat klaim bahwa masalah selesai dalam kurun waktu empat jam.

Penulis berusaha menelaah apa yang tidak terbaca oleh publik sebelumnya. Jika pada akhirnya kita harus menjadikan ISIS sebagai dalang dari aksi teror—seperti halnya para pengamat dan pihak kepolisian publikasikan. Kita harus berani bertanya, apakah kekerasan yang dilegitimasi oleh atas nama agama berakhir pada penolakan bahwa bicara teologi ialah sekadar menolak kekerasan. Dan kelompok plural adalah benar? Sebelum lebih jauh, coba kita andaikan teror yang demikian simultan ialah sebuah surat kaleng, dimana setiap surat mengandung pesan yang ingin disampaikan, kepada siapa? Dan pesan apa yang ingin ia sampaikan?

Lucien Van Liere dalam karyanya Memutus Rantai Kekerasan mengajak pembaca meradikalisasi pemahaman kita terhadap apa yang dimaksud dengan kekerasan dan apa yang menjadi objek kekerasan. Kitapun dipaksa memulai memahami kekerasan pada level abstraksi dan konkret dari sini Liere menggunakan tiga perbedaan definisi kekerasan yang di ungkapkan Coady tiga diantaranya ialah Wide adalah sistem “kekerasan anti-kekerasan” reaksinya ialah ketidakadilan di dalam masyarakat diinterpretasikan sebagai kekerasan. Restricted mengartikan dimana ada luka disitu ada kekerasan. Dan Legitimate berusaha bertolak dari kekerasan yang dianggap illegal dan menyerang organisasi dan struktur negara. Menariknya ialah ketika perbedaan ini coba dikembangkan oleh Robert Paul Wolff dimana tindakan kekerasan ialah sebuah aktivitas anti-negara, jadi apabila aksi teror di sarinah dianggap sebagai tindak kekerasan, penembakan polisi terhadap pelaku teror bukanlah tindak kekerasan. Kekerasan senantiasa memiliki subjek dan objek kekerasan. Lebih luas Wollf menjabarkan pengertian secara netral bahwa kekerasan adalah aktivitas yang sadar atau tidak sadar, memasukan objek kedalam struktur subjek. Dan dalam pengertian subjek tidak kaku pada individu atau kelompok, legal/illegal, semua yang mengakitbatkan kesakitan, duka, kemelaratan dan kematian sebagai kelanjutanya, bahkan dalam perspektif ini tidak ada sekat kualitatif teror, pembunuhan dan struktur-struktur (politik, ekonomis dan budaya).

Dan apakah kita harus mengatungkan persepsi bahwa aksi teror di sarinah—merupakan sebuah dinamika kekerasan yang berdiri sendiri dan lahir oleh suatau mesin yang diproduksi dari sebuah ideologi. Ini sejalan dengan perspektif Hannah Arendt, ia mengungkapkan kejahatan merupakan lahir dan ada didalam pikiran, menolak apa yang digaungkan post-strukturalisme bahwa kekerasan “maha-hadir”. Tapi penulis kira ini kurang berimbang, mendengok pada prakondisi yang terjadi di Indonesia, aktivitas terorisme adalah redam pada era orde-baru, dan mekar pasca reformasi dan liberalisasi pada semua sektor kehidupan bernegara digalakan, kebebasan dan ketimpangan sosial masih menjadi topik yang berbanding lurus dengan kemunculan gerakan-gerakan yang memiliki kemiripan dalam mendesisain visi dan struktur penolakan terhadap sistem ekonomi dan politik yang berlangsung di Indonesia.

Dan apakah liberalisme ekonomi atau membiarkan rakyat bersaing dalam mencari nafkah bukanlah sebuah kekerasan, bukanlah kejahatan? Apakah berita di tv dan timeline media sosial tentang pembangunan property yang menyingkirkan rakyat kecil, nasib orang Indonesia yang kelaparan dan kesakitan, tentang orang timur yang masih dianak tirikan oleh kerakusan Jakarta bukanlah sebuah teror? Siapa peneror sesungguhnya?!

Dan punggawa JIL, Ulil Absar Abdalla dalam artikel terbarunya memberikan solusi untuk melawan terorisme dengan cara menumbuhkan kepekaan masyarakat terhadap ideologi radikal. Bagi penulis ulil secara tidak langsung mengalamatkan/mendefinisikan bentuk kejahatan dan kekerasan secara kaku atau Legitimate Definitions, padahal dapat di kita pahami wacana dan kuasanya secara aksiologis mengarah pada status-quo. Dan pembunuhan paling kejam dalam teror sarinah bukanlah kuantitas korban jiwa melainkan pembunuhan kesadaran. Dimana kebenaran dimanipulasi lewat bahasa, dan setiap bahasa berusaha meyakinkan, dan semua itu dikapitalisasi menjadi pranata nilai yang terinstitusionalisasikan ketengah kehidupan masyarakat.

Dan sekali lagi Jakarta, secara semiotik tak ubahnya seubah simbol keangkuhan kapitalisme, liberalisme-ekonomi-politik-budaya. Dan rasanya pihak yang berkomunikasi lewat rangkaian teror ingin sekali berkata; BERKACALAH JAKARTA!!!

Penulis: Villarian, Mahasiswa Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta dan Ketua Biro Kajian PMII

Exit mobile version