Oleh: Bambang Prayitno, Anggota Alumni KAMMI dan Founder The Future Borneo
Bagian 1. Mari Bercerita Tentang Kota
Kota pintar menjadi arus utama yang semakin dibicarakan oleh kalangan kelas menengah perkotaan akhir-akhir ini. Teori dan praksisnya menjadi idaman dan masuk dalam puak besar debat tematik kalangan muda. Ia di perbincangkan mulai dari pembicaraan warung kopi, selingan di sela-sela arisan “mahmud” kota, hingga diperbincangkan di dalam forum-forum resmi seperti talkshow, workshop dan seminar
Ada beberapa alasan kenapa wacana kota pintar menjadi tema utama akhir-akhir ini. Yang pertama; ini bagian dari ekspresi kejenuhan masyarakat perkotaan atas tidak efektif dan efesiennya pelayanan dan fasilitas kota yang ada. Yang kedua; penerapan kota pintar dianggap sebagian besar kalangan muda sebagai exit-way yang menjadi alternatif terbaik di antara beberapa konsep yang lain, setelah warga perkotaan menghadapi buruknya manajemen tata kelola kota dimana ia tinggal dan beraktivitas.
Yang ketiga; kaum muda dan terpelajar kota telah berinteraksi dengan banyak orang dan daerah baik di dalam maupun di luar negeri sebagai akibat derasnya informasi yang membuat mereka memiliki referensi baru soal pengelolaan kota yang menarik dengan new experience dan telah melewati ujian publik bertahun-tahun. Yang keempat; kota pintar dianggap mampu menggabungkan konsepsi modernitas, kompatibilitas layanan dan efesiensi kerja; hal yang selama ini diidam-idamkan oleh penduduk kota
Selain wacana kota pintar, ada beberapa wacana konsep pengelolaan kota yang sangat menarik untuk diterapkan. Di antara konsep-konsep tersebut, ada variabel prasyaratnya yang berdiri sendiri dan ada variabel yang beririsan dengan wacana kota pintar. Yang pertama adalah kota hijau. Kota hijau menjadi wacana yang menarik dan dimotori oleh aktivis lingkungan dunia sejak sekitar 10 tahun lalu. Kota hijau juga dianggap sebagai sebuah alternatif paling ideal untuk mengantisipasi buruknya kondisi lingkungan seperti pemanasan global dan pengelolaan lingkungan kota yang nir-manajemen.
Kota hijau berusaha mengefektifkan dan mengefesiensikan bangunan dan sarana kota untuk menjadi sumber energi alternatif dan atau menjadi sumber pengolahan kembali sampah kota. Kota hijau juga mencoba mengaplikasikan interaksi yang intim dan hangat antara manusia dengan lingkungan alami yang berada di dalam kota. Kota hijau mensyaratkan kesadaran kolektif masyarakat untuk mengelola kota dan segala permasalahan lingkungannya agar bisa dikelola atau digunakan ulang untuk kebutuhan kota
Selain wacana kota hijau, ada lagi wacana yang tak kalah menarik perhatian, yaitu kota siber. Kota siber menjadi wacana yang begitu menarik, karena menawarkan kemudahan koneksi dalam seluruh aspek kehidupan warga kota, mulai masalah yang berhubungan dengan sosial dan interaksi antar penghuni kota dengan berbagai hubungan, hingga ke masalah privat. Kota siber menawarkan kehidupan yang serba instan dengan jangkauan kemudahan pelayanan warga, karena semua berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Tapi kota siber menghadapi kendala dalam aspek aplikasi yang kompatible dan komprehensif, karena penerapan layanan kota siber harus dimulai dari perencanaan kota yang menyeluruh, rigid dan detail
Sebagai bagian dari pengayaan pengetahuan penulis akan penerapan kota pintar di Indonesia, maka penulis mencoba beberapa kali menimba ilmu dan menambah referensi langsung dari sumbernya tentang wacana dan aplikasi kota pintar; entah itu melalui talkshow, workshop maupun seminar. Salah satu yang penulis ikuti dan bisa penulis tularkan ceritanya adalah Talkshow Smart City yang diadakan The Habibie Center pada tanggal 25 November 2015 lalu di sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat, yang mengambil tema “Smart City dan Pembangunan Kota di Indonesia”. Acara talkshow ini sendiri sebenarnya merupakan bagian dari rangkaian acara ulang tahun The Habibie Center
Sebagai informasi selingan, pada ulang tahun ke-16 tersebut, The Habibie Center mengambil tema ulang tahunnya dengan kalimat singkat; “Democratization Must Go On !”. Sebuah kalimat singkat yang merepresentasikan optimisme akan cerahnya tatanan demokrasi di masa depan. Berbagai rangkaian acara digelar oleh The Habibie Center selama 4 hari; mulai tanggal 22 hingga 25 November 2015, untuk menandai harapan dan kedewasaan Indonesia menempuh jalan demokratisasi yang menginjak tahun ke-17.
Kegiatannya sangat semarak. Mulai dari mengundang beberapa lembaga think-tank dari Jepang, Malaysia dan Turki; juga mengundang beberapa public influencer seperti Tariq Ramadhan dari The University of Oxford, Nurul Izzah dari Parlemen Malaysia, Mohammed Ghannouchi mantan Perdana Menteri Tunisia hingga acara Penganugerahan Habibie Award; Talkshow Mengukur Kinerja Kabinet Kerja, serta berbagai kegiatan workshop dan talkshow yang mendukung indeks kemajuan demokrasi dan pembangunan; salah satunya seperti Talkshow Smart City
Dalam sesi Talkshow Smart City, The Habibie Center menghadirkan Tri Rismaharini Walikota Surabaya, Sigit Widyonindito Walikota Magelang dan Yayat Supriatna, seorang pengamat Tata Kota. Pemilihan dua narasumber Tri Rismaharini dan Sigit Widyonindito ini cukup beralasan, disamping karena keduanya dianggap berhasil mengelola daerahnya; mereka juga memiliki beberapa terobosan yang bisa memperkaya referensi tentang tata kelola kota pintar.
Magelang dan Surabaya menjadi contoh bagaimana Smart City itu dijalankan. Keduanya menjadi contoh best practice pengelolaan kota dari berbagai sisi. Yang satu menjadi representasi kota besar (penduduk di atas 1 juta jiwa) yang lainnya menjadi contoh dari kota kecil (penduduk di bawah 1 juta jiwa). Selain kombinasi besar-kecil, pemilihan Magelang dan Surabaya diharapkan bisa memberikan masukan saling melengkapi karena masing-masing memiliki keunggulan
Bagian 2. Belajar Tatakelola Kota Pintar
Kota pintar dalam persepsi dan experience Risma disederhanakan dalam sebuah kalimat; “konsep kota yang membangun dirinya sendiri dengan sistem yang efisien dan efektif”. Basis pelayanan kota pintar Surabaya menggunakan teknologi informasi komunikasi. Berdasarkan pengalamannya, Risma bisa bertutur dengan gamblang bahwa warganya tidak mau tahu pemimpinnya jungkir balik dan kerja siang-malam dalam usahanya menerapkan aplikasi kota pintar, yang penting warga telah merasakan bahwa pelayanan administrasi telah berubah menjadi baik, infrastruktur kota menjadi lebih maju, kota tidak banjir ketika musim penghujan tiba, dan seterusnya.
Dalam perkembangannya kemudian, Risma menerapkan 17 aplikasi e-government yang dikelompokkan dalam dua tema besar; pengelolaan keuangan daerah dan pelayanan masyarakat. Dua tema tersebut kemudian dibagi menjadi beberapa bagian; keuangan, e-SDM, e-monitoring, e-office, e-permit, e-health, Simprolamas (Sistem Informasi Program Layanan Masyarakat), Sistem Siaga Bencana dan Media Center.
Beberapa bagian pengelolaan keuangan daerah yang telah menggunakan sistem teknologi informasi meliputi e-budgeting, e-procurement, e-delivery, e-controlling, e-SIMBADA, e-performance, e-tax, e-audit serta Fasum dan Fasos. Beberapa contoh keberhasilan program ini misalnya; ternyata usulan pembangunan dari masyarakat bisa mengcover 13 ribu usulan masyarakat. Contoh yang lain; dengan e-budgeting, Pemkot Surabaya bisa meminimalisir lalainya para wajib pajak menunaikan kewajibannya; juga memutus mata rantai KKN dalam anggaran daerah.
Yang bagus ditiru dari Risma adalah seriusnya Pemerintah Kota Surabaya melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Misalnya dalam praktik e-budgeting dan e-procurement. Risma tidak melibatkan diri dalam prosesnya. Selain itu, pelaksanaannya juga sangat transparan. Intervensi kekuasaan yang nihil menjadi sebab tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan dalam proses lelang. Ini tentu saja berkebalikan dengan beberapa daerah. Karena, jika kita cermati, banyak juga daerah yang kampanye dimana-mana melaksanakan e-procurement, tapi Bupati atau Walikotanya sudah bermain mata duluan menentukan pemenang tender pemerintah. Jadi, e-procurement hanya sebagai kedok dan pemanis bibir bahwa daerah tersebut telah menyelenggarakan prosedur yang jujur dan bersih
Program lain yang bagus adalah e-SDM. Dengan penerapan e-SDM di Surabaya, Risma terbukti mampu melakukan banyak hal; pertama, mengefesienkan kerja-kerja dinas, sehingga personel pegawai pemerintahan mulai dari kelurahan hingga dinas menjadi berkurang; kedua, e-SDM sangat membantu dalam memberikan referensi pejabat yang memiliki kapasitas dan kualifikasi untuk menduduki posisi tertentu. Sehingga, ketika waktu rotasi tiba, Risma memiliki referensi yang utuh tentang siapa saja yang layak menduduki jabatan yang kosong.
Penerapan e-SDM ini menjadi mimpi daerah-daerah yang jumlah pegawainya “over capacity” karena setiap tahun menerima terus pegawai honor tanpa kontrol dan kualifikasi memadai, hanya semata-mata demi pertimbangan politik dan kekerabatan. E-SDM ini juga akan memutus mata rantai ketidakprofesionalan pemerintah dalam menyeleksi pejabat. Karena faktanya, di daerah-daerah, penempatan posisi dalam birokrasi pemerintahan, kuat indikasi lebih dititikberatkan pada pertimbangan politik dan besaran setoran ke atasan
Dalam e-monitoring dan e-transportation, Risma menceritakan keberhasilannya mengatasi kemacetan kota Surabaya, karena kondisi lalu lintas langsung dipantau setiap waktu. Petugas jalan raya juga bisa memberikan arahan jalan alternatif kepada pengguna jalan, karena aplikasinya menyediakan opsi tersebut. Yang terbaru adalah, Pemkot Surabaya juga sudah menerapkan monitoring banjir; dimana ketinggian banjir di beberapa titik kota yang dulunya sangat parah bisa diturunkan tingkat elevasinya. Berpadu dengan pengelolaan irigasi, titik-titik banjir di Surabaya sekarang menjadi berkurang drastis. Aplikasi ini tentu saja menjadi sesuatu yang diidamkan oleh masyarakat yang kotanya selalu langganan banjir
E-monitoring juga mampu mengendalikan dan mengurangi secara drastis aksi vandalisme dan asusila yang dilakukan oleh beberapa warga kota. Taman yang dibuat di Surabaya secara massif jumlahnya, juga memberi ekses negatif. Aksi vandalisme oleh kelompok muda atau perbuatan asusila di dalam taman kota atau ruang terbuka hijau lainnya bisa dikurangi dengan pemasangan CCTV dan penayangan pelaku vandalisme dan asusila di media terbuka. Sosial punishment seperti ini memberikan efek jera. Karena pelaku akan malu dan atau mudah di tangkap jika sudah ditayangkan di layar terbuka Pemerintah Kota. Pemasangan CCTV di seluruh jalan, terutama di beberapa daerah yang sepi lalu lintas juga terbukti mengurangi kriminalitas, karena aparat keamanan bisa terbantu dalam mengidentifikasi pelaku kejahatan
Dengan program e-Health, Risma juga bisa mengurangi penumpukan dan antrian pasien di puskesmas dan rumah sakit. Karena rekam medis seluruh warga yang berobat sudah ada dalam jaringan layanan kesehatan kota. Warga juga bisa menggunakan aplikasi e-Health untuk mengatur waktu kunjungan ke tempat layanan kesehatan dengan menyesuaikan waktu yang dimiliki pasien sendiri. Sedangkan dengan program e-lampid (lahir, mati dan pindahan), Risma terbukti berhasil menertibkan administrasi kependudukan Kota Surabaya
Dengan program e-surat, penghematan anggaran daerah untuk ATK dan lainnya menjadi sangat signifikan. Karena semua proses korespondensi dan pengarsipan mulai beralih secara besar-besaran ke perangkat elektronik. Adapun dengan program e-education, pendaftaran dan seleksi siswa sekolah di Surabaya menjadi sangat sederhana dan mudah. Bantuan operasional sekolah juga bisa difungsikan maksimal. Juga ada keuntungan orangtua murid, dimana mereka bisa memantau perkembangan belajar anak dengan bantuan aplikasi teknologi informasi.
Selain program-program di atas, ada beberapa lagi terobosan Risma yang berkaitan dengan akses informasi dan pengetahuan warga; dimana hampir di setiap ruang terbuka hijau, Pemerintah Kota menyediakan layanan wifi gratis. Selain itu, di setiap kelurahan, Pemerintah Kota juga menyediakan rumah internet yang bisa dipakai warga untuk keperluan administrasi, surat-menyurat dan kebutuhan lainnya. Pemerintah Kota juga membuka tempat kursus bahasa asing secara gratis dan besar-besaran di banyak sudut kota, dengan lebih dari 5 (lima) bahasa asing yang diajarkan, demi menghadapi MEA (Masyarakat Ekonomi Asia), diluar program Pemkot yang membentuk cluster produksi dan kerajinan warga untuk dijual secara langsung maupun online. Dalam proses penjualan online, warga diajarkan pola bisnisnya hingga bisa mandiri.
Sementara Sigit Widyonindito Walikota Magelang juga menceritakan beberapa terobosan yang dibuatnya sehingga Magelang bisa dijuluki sebagai kota pintar. Hal yang pertama dilakukan oleh Sigit adalah membangun (ulang) visi besar tentang Magelang. Sigit menularkan mimpinya terus-menerus kepada para bawahannya bahwa Magelang yang tak memiliki resources, yang hanya kota kecil di bawah kaki Bukit Tidar dan hanya ramai karena menjadi markas Akademi Militer TNI suatu saat nanti harus menjadi “Singapura-nya Jawa Tengah”
Visi besar ini kemudian dijabarkan dalam program dan kebijakan. Hal yang kedua yang dilakukan oleh Sigit adalah menyekolahkan mayoritas pegawai pemerintah yang berprestasi baik ke dalam maupun ke luar negeri. Dengan harapan, pandangan dan ilmu baru ikut memberikan sumbangsih bagi pelayanan birokrasi Magelang. Hal yang ketiga yang dilakukan oleh Sigit adalah menjadikan Magelang sebagai kota jasa dan wisata dengan membangun dan merevitalisasi beberapa tempat hiburan alam yang representatif dan terbaik di antara kota-kota di Jawa Tengah. Selain itu, Magelang juga mulai memberikan kemudahan investasi sektor jasa bagi investor yang datang. Sedangkan langkah keempat yang dilakukan Sigit adalah membuka kerjasama dengan berbagai pihak di Indonesia agar menjadikan Magelang sebagai destinasi tetap untuk kegiatan kedinasan dan pelatihan
Dalam soal pengelolaan sampah, Pemerintah Kota Magelang membuat aturan bahwa setiap Rukun Warga (RW) diarahkan dan dididik untuk mengelola sampah secara mandiri melalui pendirian bank sampah di tiap RW. Beberapa kreatifitas pengelolaan sampah yang merupakan inisiatif warga ternyata mengagumkan. Ada beberapa RW yang menggunakan sampahnya untuk menghasilkan listrik dan sebagian yang lain mampu membuat barang daur ulang yang bisa menjadi nilai tambah ekonomi warga. Selain soal sampah, Pemkot juga membuat proyek kreatif berupa pembangunan map destinasi kota untuk memudahkan wisatawan mengunjungi tempat-tempat yang mengesankan di Magelang
Kenapa saya ceritakan dengan cukup detail keberhasilan Risma dan Sigit dalam menerapkan praktik kota pintar di dalam pemerintahannya?. Yang pertama, agar pemimpin daerah lain yang menginginkan pemerintahannya bersih, efesien dan efektif bisa termotivasi untuk menerapkan beberapa aplikasi menarik kota pintar di daerahnya. Juga agar pemimpin yang menerapkan e-goverment palsu (pemerintahan yang selalu mengaku dan kampanye bersih tapi KKN-nya “amazing”), bisa malu hati, karena hakikatnya dia itu “nobody”. Yang kedua, agar pemimpin yang ingin membuat program kreatif daerah semakin terpacu untuk berlomba dengan Magelang dan Surabaya. Juga agar pemimpin daerah lain yang banyak membuat program “kreatif palsu” (seolah-olah program kreatif tapi nyatanya pemborosan anggaran) menjadi sadar diri
Bagian 3. Esensi Peradaban Kota
Bagi para pemikir filsafat, budaya dan sosial, kota dianggap sebagai buah dari peradaban manusia. Kota menjadi manifestasi dari keluhuran budi, berkembangnya budaya dan kreatifitas pikiran penghuninya. Keberadaan kota sendiri sudah ada sejak peradaban manusia bermula, dimana pasar menarik manusia dalam kerumunan lalu berdiamlah manusia dalam koloni-koloni mengembangkan kehidupannya, menata interaksi sosial dan membuat aturan bersama. Sejak dahulu, kota menjadi pusat aktivitas ekonomi, menimba pengetahuan dan pusat kebudayaan. Kesadaran tentang makna esensi dari sebuah kota ini-lah yang saya kira membuat beberapa pemimpin kota seperti Risma, Wisnu dan beberapa yang lainnya untuk membuat terobosan inovatif dan kreatif dalam mengelola kotanya
Dalam kacamata Risma, pengelolaan kota dianggap berhasil ketika ada interaksi yang mesra antara pemimpin dan rakyatnya. Makanya, mengutip perkataannya saat acara Talkshow, Risma selalu melakukan kegiatan turun dan berinteraksi dengan warganya dalam beberapa jam sehari. Karena, kata Risma, teknologi disadarinya bisa mematikan proses dialog. Dan kekuatan hubungan terbentuk, justru ketika pemimpinnya berinteraksi secara terus menerus langsung dengan warga. Masih dalam pandangan Risma, kota pintar juga dimaknai sebagai sebuah tata kelola kota yang efesien pengelolaannya. Surabaya yang berpenduduk lebih dari 2 juta saat siang hari dan berubah menjadi sekitar 3,2 juta saat malam tiba mengharuskan efesiensi sebagai syarat pelayanannya. Semakin besar warga kota, harus semakin efisien pelayanannya
Kota pintar juga dimaknai Risma sebagai sebuah kota yang mengajarkan kultur positif yang baru, dimana sosial punishment menjadi medium yang membentuk ketaatan dan saling pengertian antar warga atas kesepakatan sosial yang dibangun. Sehingga pengelola kota tidak bersusah payah menerapkan aturan, karena kesadaran menjaga kota menyebar menjadi kesadaran kolektif warga. Kota pintar, juga memastikan warganya dalam kondisi aman, tidak mengalami kerisauan karena halangan aktivitas seperti kemacetan dan banjir. Konsepsi kota pintar akan memastikan warganya untuk menjadi pintar, melek teknologi dan menguasai komunikasi. Dan yang terakhir, kota pintar dalam pandangan Risma adalah kota yang mentradisikan transparansi, kejujuran dan memutus mata rantai KKN. Sebuah pengertian yang mahal dan langka yang tidak dimiliki oleh semua pemimpin kota.
Sedangkan kota pintar dalam pandangan Sigit adalah kota yang mampu membawa warganya mewujudkan visi besar dengan segala potensi yang ada. Kota pintar juga dimaknai sebagai sebuah kampung besar regenerasi kepemimpinan massal dan buah dari solidnya kerjasama antara pemimpin dengan bawahan. Kota pintar juga dimaknai Sigit sebagai sebuah ekspresi dari kesadaran warga dalam mengelola lingkungannya masing-masing menjadi lebih bermanfaat dan berkesinambungan
Ilham Habibie, Ketua Tim Pelaksana Dewan Teknologi Informasi Nasional yang juga mewakili The Habibie Center mengatakan bahwa Dewan Teknologi dibawah Presiden memiliki tugas untuk mengumpulkan kebijakan lintas instansi dan pemerintahan dan meramunya dalam sebuah masukan untuk menjadi kebijakan nasional. Menurut Ilham, di tahun 2015 ini, 50 % lebih warga Indonesia tinggal di daerah perkotaan. Sedangkan pada tahun 2030 nanti, 70 % lebih warga Indonesia akan berdiam di kota. Dengan mengembangkan kota pintar, diharapkan kualitas hidup warga kota akan meningkat. Ilham berpendapat, bahwa dalam proses mengelola kota pintar, yang harus diperhatikan adalah soal kualitas kepemimpinan kota. Kota siber sebagai sebuah wacana kota yang berbasis IT lebih ke arah pendekatan teknologi sebagai sarananya. Sedangkan kota pintar, menekankan pada pelayanan, infrastruktur dan pengembangan ekonomi. Hasilnya berupa kepuasan seluruh warga kota. Penulis pikir, pendapat Ilham sangat beralasan, karena menurut penulis, memang ada juga kota yang pemimpinnya selalu berusaha memberikan kebijakan yang mencirikan pemerintahan yang bersih dan jujur, tapi warganya tidak happy karena aura dan karakter pemimpinnya yang tidak menyenangkan; selalu berkata kasar tanpa etika
Sedangkan Yayat Supriatna, Pengamat Tata Kota berpendapat bahwa kota pintar menggabungkan beberapa hal; smart people, economy dan government. Kekayaan dan kekuatan kota menjadi modal kota untuk mewujudkan efesiensi dan efektif pelayanan. Yayat juga berpendapat bahwa pembangunan yang dilakukan oleh pengelola kota adalah pembangunan nilai sosial. Warga menjadi taat hukum, tidak korupsi dan lain sebagainya adalah kekayaan yang sangat mahal dan seharusnya itu menjadi tujuan utama aplikasi kota pintar. Kejujuran menjadi kekuatan kultural dan struktural. Sependapat dengan Yayat, menurut penulis, merubah orang menjadi jujur secara struktural itu sangat susah. Tidak semua orang suka dengan sistem yang jujur. Seperti di sebuah daerah di Sumatra dan Kalimantan yang penerapan proses penganggaran daerah yang jujur, tapi justru tidak disukai oleh para calo dan pemimpin daerah itu sendiri. Makanya, salah satu modal kekuatan untuk mewujudkan semua itu adalah keyakinan dan kepercayaan diri seorang pemimpin pada nilai yang diyakininya
Merajut temali antara keyakinan, rasa percaya diri dan proses kreatif beberapa pemimpin daerah di Indonesia untuk mewujudkan gelar kota pintar di daerahnya, sepertinya pemimpin-pemimpin visioner seperti Risma, Sigit dan (juga misalnya) Ridwan Kamil yang baru-baru ini telah membawa Bandung menjadi kota yang dianugerahi sebagai Kota Desain Dunia atau City of Design oleh PBB melalui Unesco, dan dengan anugerah tersebut Bandung diterima bergabung dengan jaringan Unesco Creative Cities Network, perlu juga mereka menjelajah kembali khasanah peradaban kota-kota masa lalu yang sejak dulu hingga kini, keagungan kota tersebut menjadi cerita sejarah yang sulit tertandingi ketinggian peradabannya. Proses memperkaya referensi masa lalu ini penulis kira penting, agar pemimpin tak kehilangan inti dari peradaban kota yang pernah dirumuskan lalu menemukan bentuknya
Tentu saja, untuk menunjuk sebuah prototipe keberhasilan manusia dalam membangun peradaban kota dan penduduknya, kita dengan mudah dapat menunjuk beberapa kebudayaan bangsa besar yang telah mewariskan kota-kota sebagai buah karyanya. Tapi, dalam konteks contoh kota, kita bisa menunjuk peradaban kota di zaman kekhalifahan Islam sebagai contohnya. Disamping karena alasan periodesasi kekuasaan yang lebih panjang dari yang lain dan dengan begitu berpengaruh terhadap keluhuran budaya yang maujud dalam kota-kotanya, tentu saja ada faktor lain, yaitu komprehensifitas fungsi kota yang ingin kita ambil pelajaran di dalamnya
Beberapa kota dalam rentang sejarah kekhalifahan Islam menjadi catatan sejarah yang tak habis-habis dipelajari. Pembangunan kota dalam kekhalifahan Islam, dimaksudkan untuk tujuan-tujuan mulia; seperti Mekah dan Madinah yang berfungsi untuk menjaga keimanan, membangun toleransi dan persatuan serta menyebarkan kebenaran. Kota juga berfungsi untuk menyebarkan pengetahuan umum dan mendalami esensi kehidupan seperti Baghdad pada zaman dinasti Abbasiyah. Dimana di zaman itu, Baghdad menelurkan pemikir dan ilmuwan hebat dunia. Ada juga contoh kota seperti Cordova; atau Kairo, tempat masyarakat dari seluruh dunia menimba ilmu di Universitas tertua dunia yaitu Al-Azhar. Ada juga contoh kota seperti Damaskus, yang berdiri pada zaman Dinasti Umayyah dan menjadi pelopor rumah sakit dunia serta memiliki sistem tata kota paling teratur di dunia. Atau Istanbul yang sebelumnya bernama Konstantinopel, yang dianggap sebagai kota paling indah dan warganya merasa aman karena kotanya memiliki benteng yang tak bisa ditembus pada masanya
Abu Al-Hasan Al-Mawardi, seorang ahli fiqh yang mahsyur pada tahun 1000-an Masehi dan pendapatnya menjadi rujukan hingga kini, pernah menuliskan dalam “Ahkamul Sulthaniyyah” dan menjelaskan konsepsi dan tugas kepemimpinan negara dan wilayah; termasuk kota di dalamnya. Bahwa pemimpin itu, kata Al-Mawardi, memiliki 10 (sepuluh) tugas, yang sebenarnya bisa diperas dalam tema besar; keimanan, keadilan, keamanan, kesejahteraan dan profesionalitas. Jika membaca semua yang dilakukan Risma, Sigit dan Ridwan, konsep kota pintar sepertinya telah menerjemahkan pikiran Al-Mawardi. Dan, jika kita mau mengambil hikmah dari fungsi kota-kota pada zaman kekhalifahan dan pendapat Al-Mawardi, penulis berpendapat bahwa penerapan kota pintar sepertinya memerlukan sebuah inovasi tambahan dalam bentuk kebijakan atau program; agar masing-masing pemimpin dan penduduk kota bisa mempraktikkan dan melestarikan keshalihan individu dan sosial sebagai sebuah perilaku. Dan saya kira, itulah inti dari smart city (kota pintar) yaitu smart citizen (penduduk yang pintar). Dengan terwujudnya keshalihan penduduk kota, maka sempurnalah peradaban sebuah kota.
“…Sungguh terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka. Ya Tuhan kami, sesungguhnya barangsiapa yang Engkau masukkan ke dalam neraka, maka sungguh telah Engkau hinakan ia, dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun” (QS. Ali Imran: 190-192)