Site icon SuaraJakarta.co

Sekolah Zonasi

Pelajar salah satu sekolah SD Islam di Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten. (Foto: Fajrul Islam)

Ilustrasi: Pelajar salah satu sekolah SD Islam di Kronjo, Tangerang. (Foto: Fajrul/SuaraJakarta)

Oleh: Prof. Daniel Mohammad Rosyid

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Hampir semua wilayah otonom di Indonesia pada hari2 ini diramaikan oleh persoalan penerimaan siswa baru dengan sistem zonasi. Kebijakan ini mengarahkan setiap calon murid untuk bersekolah di sekolah yang terdekat dari rumah. Asumsinya, mutu sekolah di manapun sama atau hampir sama. Pemerintah juga bermaksud menghilangkan mitos sekolah favorit idaman orang tua atau murid.

Kebijakan ini pada dasarnya benar. Masalah muncul karena baik orang tua maupun murid sudah terlanjur kecanduan sekolah sehingga mitos sekolah favorit itu justru makin kuat. Situasi ini diperparah karena kebanyakan orangtua pasrah bongkokan pada sekolah bagi pendidikan anak-anak mereka. Seolah-olah pendidikan anak-anak mereka hanya ditentukan oleh sekolah mereka.

Hemat saya, pemerintah gagal mendidik masyarakat untuk meninggalkan mitos sekolah favorit sekaligus mengurangi kecanduan sekolah. Persekolahan hanya salah satu komponen dalam Sistem Pendidikan Nasional yg menyelenggarakan pendidikan formal. Masih ada keluarga dan masyarakat yang menyediakan pendidikan informal dan non-formal. Pemihakan berlebihan pemerintah pada persekolahan telah mengakibatkan orang tua malas atau tidak yakin dengan peran penting pendidikan keluarga dan masyarakat.

Pemihakan berlebihan Pemerintah pada persekolahan ini bisa dipahami walaupun keliru. Bisa dipahami karena persekolahan adalah instrumen teknokratik yang paling efektif untuk menciptakan masyarakat sesuai dengan kehendak pemerintah. Pemerintah memberi pesan dan kesan, bahwa wajib belajar itu sama dengan wajib sekolah. Tidak sekolah berarti tidak terdidik dan kampungan.

Pemihakan ini keliru karena persekolahan hanya komponen tambahan dan pelengkap dalam rancangan pendidikan yang dicitakan Ki Hadjar Drwantoro. Komponen utamanya adalah keluarga, dan masyarakat. Perguruan dan persekolahan bersifat complementary dan supplementary. Pendidikan karakter, adab atau akhlaq terbaik hanya bisa dilakukan dalam keluarga dan masyarakat melalui teladan dan praktek sehari-hari. Persekolahan terlalu disibukkan dengan persoalan administrasi dan birokrasi sehingga hanya bisa fokus pada kompetensi-kompetensi teknis dan praktis.

Belajar adalah proses yang sederhana dan tidak mensyaratkan formalisme persekolahan. Ada 4 kegiatan belajar yang penting yang bisa dilakukan di mana saja : membaca, praktek atau mengalami, menulis dan berbicara. Mendidik adalah memberi kesempatan belajar seluas-luasnya secara luwes dan lentur sesuai bakat, minat dan kebutuhan warga.

Hanya anak yang memperoleh pendidikan yang baik di rumah yang siap belajar di masyarakat dan di sekolah. Mutu sekolah sangat ditentukan oleh mutu murid-muridnya, bukan oleh guru, sarana dan prasarana, apalagi kurikulum. Murid-murid yang siap belajar akan mengangkat mutu sekolah. Bukan sebaliknya. Komite Sekolah bisa meningkatkan kesempatan belajar murid dengan membangun jejaring belajar bersama masyarakat.

Masyarakatpun harus diberi tugas-tugas mendidik warga. Masjid atau gereja, Karang Taruna dan sanggar seni serta klub sepakbola adalah tempat belajar yang penting. Tidak mungkin pendidikan diserahkan semuanya pada persekolahan. Buktinya sudah menumpuk tidak hanya di Indonesia tapi juga di negara adidaya sekalipun.

Jadi pendidikan itu soal kesempatan belajar, bukan soal kesempatan bersekolah. Tempat belajar terbaik seringkali bukan di sekolah, tapi di rumah dan di masyarakat. Banyak sekolah hanya tempat guru mengajar tapi bukan tempat murid belajar. Sekarang kita memang semakin bersekolah dibanding orangtua kita dahulu, tapi tampaknya makin tidak terdidik.

Gunung Anyar, 19/6/2019

Exit mobile version