SuaraJakarta.co, JAKARTA – Kalau boleh bertanya iseng, lidah mana yang tak suka sayur asem? Sayur yang selalu jadi menu andalan restoran lokal kita ini memang bakalan membuat jatuh hati setiap insan yang mencicipinya. Sayur asem memang memiliki rasa yang universal. Bicara rasa, berarti bicara seni. Dan seni dapat menyapa dua pihak yang berseberangan. Saya pikir, tak berlebihan jika umpamanya PKI yang―kata Mahbub Djunaidi―ahlu stalin wa lenin dengan NU yang ahlu sunnah wal jamaah bisa akur di atas semangkuk sayur asem.
Di samping punya rasa yang menakjubkan, sayur asem punya ukuran kesehatan yang juga tak kalah menakjubkan. Namanya juga sayur, memiliki kadar manfaat untuk kesehatan yang tinggi: kaya serat, kaya antioksidan, antimikroba alami, dsb. Saking tingginya, membuat sayur asem sebagai menu penting pemenuhan ‘4 sehat 5 sempurna’.
Memang, pasti ada juga orang yang tak suka. Mungkin hanya dua, pertama pernah punya pengalaman traumatik dengan sayur asem. Kedua lidahnya sudah kadung fanatik dengan rasa kebule-bulean―orang macam begini biasanya disebut londo ireng. Saya kira, keduanya sama-sama memiliki kemungkinan untuk jadi suka. Seorang kawan yang datang dari Amerika, Michel Rudolf namanya, ketagihan setengah mampus kala lidahnya pertama kali menyentuh sayur asem buatan Mpok Eli yang tetangga saya. Londo tulen saja bisa tergila-gila, apalagi londo ireng yang cuma fanatik buta oleh produk impor. Untuk kategori yang pertama, bisa diselesaikan melalui terapi model Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) atau model hypno-teraphy.
Hal itu karena sayur asem memainkan sifat kealamiahannya yang dapat melampaui batas-batas apapun. Rudolf dan saya yang terpisah oleh batas geografis―juga agama―bisa sama-sama jatuh hati pada sayur asem. Juga batas kelas. Dari bos sampai karyawan, dari karyawan yang paling dekat sampai yang paling jauh dari kegiatan inti produksi, dari dua pihak yang saling kontradiktif, sayur asem tetap memikat kesemuanya. Seandainya kelas itu tidak ada, rasa dan ukuran sayur asem tetap dan mungkin ada. Status ontologis sayur asem itu sah karena merupakan muatan alam.
Bagaimana dengan pendidikan? Persisnya hubungannya dengan sayur asem?
Pendidikan, di dalamnya terdapat unsur-unsur yang memainkan rasa dan ukuran. Kurikulum misalnya, merupakan unsur pencipta rasa dan ukuran bagi pendidikan kita. Di samping itu, kurikulum merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai suatu kebudayaan tertentu yang ‘dianggap’ luhur.
Saking luhurnya, membuat pendidikan menjadi salah satu isu sentral dalam polemik kebudayaan bangsa khususnya dalam masa-masa pergerakan nasional. Achdiat K. Mihardja dalam Polemik Kebudayaan (1948), setidaknya memetakan dua kubu yang bertentangan dalam meletakkan konsep dasar pendidikan nasional. Yang satu masuk dalam kubu ‘modern’―mendukung konsep pendidikan ala Barat―, diwakili oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane. Yang lainnya masuk dalam kubu ‘feodal’―terutama membawa konsep pesantren sebagai konsep dasar pendidikan nasional―, diwakili oleh Dr. Soetomo, Dr. Poerbotjaroko, Tjindarbumi, Adinegoro, Ki Hajar Dewantara, dll.
Pertentangan ini begitu sengit hingga mempengaruhi jalannya sidang-sidang BPUPKI. Hingga salah satu keluar sebagai pemenang―yakni kubu pertama―, konsep pesantren tidaklah hilang bahkan menemukan perkembangannya melalui madrasah di kota-kota. Perjalanan pendidikan sampai saat ini berjalan dialektis tanpa menegasi salah satu.
Sampai pada peristiwa Gestok, wajah pendidikan berubah total. Perdebatan-perdebatan seru yang terjadi sebelumnya diganti dengan cengkeraman utuh rezim yang melakukan take over secara tunggal. Perdebatan yang sebelumnya ditujukan kepada pengabdian terhadap cita-cita revolusi digeser sedemikian reduktif dan sempit menjadi hanya ditujukan kepada pemenuhan tenaga kerja swasta. Maklum zaman Orde Baru memang zaman swastanisasi―istilahnya kapitalisme-negara. Pada zaman inilah titik tolak pendidikan berubah total menjumpai bentuk terburuknya.
Tapi pendidikan juga bicara soal rasa. Toh setiap individu yang lahir ke dunia sejak zaman itu―kebanyakan namun tak semua―menikmati dan menjadi begitu doyan dengan ‘rasa’ pendidikan model keluaran Orde Baru. Lihat saja betapa gilanya oknum-oknum membuka jalan pintas mendapatkan ijazah sekolah sampai perguruan tinggi bercita rasa pasar. Dan, tentu, hal ini diamini oleh pegiat pendidikan pula.
Padahal, sebetulnya ‘rasa’ yang seperti itu pada hakekatnya sangat buruk―walaupun seringkali mendapatkan artikulasi yang indah―dan tak memenuhi syarat ukuran yang baik. Pada titik inilah pendidikan berbeda dengan sayur asem. Sayur asem memiliki rasa dan ukuran rigid yang berbanding lurus―juga keduanya inheren. Dan itu natural. Sementara pendidikan, punya rasa dan ukuran yang gradatif atau unpredictable, tergantung relasi sosialnya, sehingga pendidikan bukanlah hal natural, melainkan kultural.
Problem dasarnya ialah, terkadang―bahkan hampir selalu―rasa dan ukuran pendidikan dianggap alamiah. Mengapa demikian? Karena dalam relasi sosial mengandung suatu peranan ideologi yang, seperti topi menutupi rambut, sehingga ihwal yang nampak dianggap wajar dan sudah seharusnya. Padahal, di dalamnya terjalin genelaogi suatu kekuasaan yang kadang kala menutupi hakekat kebenaran.
Apa yang Harus Dilakukan?
Saya kira, tugas pertama ialah membongkar pengetahuan yang bias ideologis menjadi pengetahuan yang berguna bagi agenda pembebasan. Hal ihwal mengenai pendidikan yang dianggap natural haruslah dipreteli sehingga menjadi terang bahwa pendidikan tersemat di dalamnya unsur dan rasa yang sejatinya kultural. Pekerjaan pertama adalah membuka topi yang menutupi rambut.
Langkah awal ini penting. Sebab pada tataran ini kita dapat menggugat predikat ontologis mengenai ‘kealamiahan’ rasa dan ukuran pendidikan sebagai ihwal yang mengandaikan sesuatu yang lain. Pendidikan yang dianggap ideal dan ‘sudah sewajarnya begitu’ patutlah digugat posisi realitas sensibelnya. Dengan begitu, persoalan pendidikan menemukan keberlanjutannya ke taraf mengenai reposisi hubungan ihwal pengetahuan dan kekuasaan yang saling berkelindan satu sama lain.
Namun, bicara soal apa yang harus dilakukan, berarti mengandaikan pula soal siapa yang melakukan. Soal ini, jawaban saya ialah kalangan―meminjam istilah Gramsci―intelektual organik. Kalangan yang mempunyai bobot teoritik dan praksis yang jelas, namun tak terpisah dari barisan massa inilah yang senantiasa dituntut mampu melakukan penerjemahan pengetahuan dari ruang-ruang akademik ke tengah-tengah masyarakat.
Kita tak bisa berharap pada aparatur negara. Selain karena aparatur negara punya hajat menjaga ketertiban dan menghindari pertentangan-pertentangan yang dapat menggoyangkan kestabilan, aparatur negara juga turut andil dalam mereproduksi kealamiahan rasa dan ukuran pendidikan sealamiah rasa dan ukuran sayur asem. Maka itu, berharap pemerintah mengubah model pendidikan yang ada sama seperti meminta seekor anak domba untuk melawan induknya. Siapa induk pemerintah? Siapa lagi kalau bukan yang memenuhi fasilitas dasar materialnya, yakni yang memiliki modal kuat.
Bertolak dari pengabaian peran pemerintahan secara struktural, maka yang dilakukan oleh kalangan intelektual organik ialah mempertentangkan wajah ideologis pendidikan yang regimentatif, kemudian membangun paradigma pendidikan dengan dasar epistemologis yang kuat dan nyata. Ya, sebuah gerakan haruslah nyata, tak bisa mengandai-andai pada hal yang turun dari langit. ‘Suatu gerakan hanya mungkin berhasil bila dasar-dasar dari gerakan tersebut mempunyai akar-akarnya di bumi tempat ia tumbuh’, ucap Soe Hok Gie. Maka itu, rakyat sebagai pemilik sah pendidikan menjadi jantung dari upaya merubah pendidikan. Buatlah pendidikan menjadi nyata, senyata rasa dan ukuran sayur asem. Tidak tersembunyi di balik semak ideologis.
Penulis: Khalid Syaifullah, Pegiat Komunitas Lingkar Studi Tangerang Selatan (LiNTAS)