Site icon SuaraJakarta.co

Ruhut, Fahri dan SBY

Ruhut Sitompul, Fahri Hamzah dan SBY. (Foto: IST)

Oleh: Erizal Sastra, Akademisi Universitas Andalas

Fahri masuk, aku keluar! Begitu kira-kira, pernyataan Ruhut Sitompul. Pernyataan itu, sebagai reaksi atas keinginan Fahri bertemu dengan SBY. Pesannya, Ruhut menolak pertemuan itu. Bisa juga protes, gertakan terhadap SBY, jika pertemuan itu benar terjadi.

Ruhut menggertak SBY, kisah apa pula itu? Perseteruan Ruhut dan Fahri memang sudah lama. Ruhut pembela SBY yang tak pernah lelah, Fahri pengkritik SBY yang serius. Pertemuan dengan SBY, hanya strategi Fahri untuk mencari dukungan. Pemecatan Fahri bagi Ruhut, harus dirayakan, bukan dikasihani. Tapi, SBY masih menghitung, untung-rugi.

Begitulah! Bukan SBY namanya kalau tak menghitung segala sesuatunya. Apalagi kini, SBY tengah meretas jalan kembalinya Demokrat ke tampuk kekuasaannya. Lihatlah, SBY mulai mengkritik pemerintahan Jokowi-JK secara terbuka. Ia tak sepenuhnya netral.

Berkali-kali Fahri mengatakan tak akan pindah ke partai lain, tapi Ruhut tetap saja melakukan simplifikasi. Ia kayak lupa dengan slogannya, Demokrat bukan partaiku yang pertama, tapi partaiku yang terakhir! Apa Ruhut sedang meretas jalan untuk keluar juga?

Belakangan, Ruhut memang terlihat mati gaya. Saat yang sama puja-puji SBY dan Jokowi, mana bisa? Keduanya mulai perang terbuka. Sejak awal SBY lebih cenderung ke Prabowo-Hatta, tapi Ruhut ke Jokowi-JK, dibiarkan. Politik main dua kaki sudah berakhir.

Pada pilgub DKI Jakarta, sikap Ruhut sudah lebih maju ketimbang sikap SBY atau Demokrat. Ia sudah mendukung Ahok, sementara SBY belum. Yang masih ingat, dengan pilgub DKI lalu, bagaimana pernyataan Ruhut terhadap Foke, dan bagaimana pernyataan Ruhut terhadap Ahok, semua ada penjelasan? Benang merah sikapnya jelas, masuk akal.

Ruhut bukan tipe orang yang setia bingit. Inkonsistensinya juga terlihat. Ternyata, ia juga punya pilihan-pilihan sendiri. Dan itu, bisa saja berjalan tanpa komunikasi dengan tuannya. Mustahil dog fighter menelan ludah sendiri. Kendati keliru, dia selalu menggigit.

Apakah Ruhut sudah mulai jengah juga dengan sikap SBY? Mulai terang-terangan mengkritik kepemimpinan Jokowi khususnya, yang mulai dipuja-puji meski dulunya juga meremehkan seperti halnya Ahok. Atau, karakter Ruhut sendiri yang sudah tidak relevan dengan posisi SBY atau Demokrat saat ini? Dog fighter memiliki dua tuan, sulit memang.

SBY tak harus, dan memang tak sedang, dipaksa memilih antara Ruhut atau Fahri. Orang kayak Ruhut atau Fahri, datang dan pergi sesuka hatinya. Banyak partai yang mau menerima. Kadang orang kayak gitu, tak harus diusir, ia bisa keluar sendiri secara sadar, atau sebaliknya? Sayangnya SBY, tak usah ditanya. Jabatan Ketua Komisi III saja pernah diserahkan, tapi anggota komisi pula yang menolak. Di situ, Ruhut harus mengakui Fahri.

Fahri di terima sebagai pimpinan DPR. Sudah dipecat pun, masih dibela pimpinan yang lain. Kalau tak santun, sudah lama ia dibuang. Kalau merusak citra partai, suaranya tak akan menaik. Malah, suaranya tertinggi di dapilnya dan tertinggi di partainya. Untung belum se-Indonesia. Bila se-Indonesia, tak ada lagi alasan memecatnya sebab soal gaya.

Karena itu, sesungguhnya pertemuan SBY dan Fahri menguntungkan kedua belah pihak. SBY diuntungkan, karena Fahri bukan pelaku kejahatan; koruptor atau kriminalitas lainnya. Fahri dipecat karena soal-soal teknis yang justru bisa membahayakan HAM dan kebebasan demokrasi itu sendiri. Apalagi, dia termasuk tokoh yang menarik ruang gelap otoritarianisme ke ruang terbuka demokratisasi Indonesia, sejak 18 tahun reformasi lalu.

SBY akan makin dikenal sebagai demokrat sejati. Sebab jangankan partai oposisi, partai pemerintah pun, aman dengan segala sikap oposannya. Termasuk, pribadi-pribadi atau kaun intelektual yang senantiasa kritis, di tengah masyarakat. Sekarang, jangankan pribadi-pribadi, parpol pun dibuat kacau-balau. Mustahil, pemecatan Fahri berdiri sendiri.

Bagaimana pun SBY punya konstribusi mendudukkan Fahri Hamzah sebagai satu dari lima pimpinan DPR bersama KMP, meski itu hak internal partai. SBY dan Fahri layak bertemu untuk bersilaturrahmi, saling bertukar informasi, memberi dukungan moral dan politik, tanpa terlibat dalam urusan internal partai lain. Ancaman dari Ruhut abaikan saja, dia juga tengah menjemput takdirnya sebagai pendukung Ahok-Jokowi, berlogo follower.

Kapan sebaiknya pertemuan SBY-Fahri? Soal ini SBY juga tidak akan mudah. SBY sangat peduli dengan yang namanya momentum. Pertemuan itu bisa batal sebab faktor momentum itu. Inilah salah satu yang mencap ia seorang yang lambat, peragu, dan hati-hati. Jokowi juga mengalami kini soal reshuffle, tapi tak ada yang mencapnya ragu-ragu. Orang berutung memang tak bisa dilawan.

Exit mobile version