Site icon SuaraJakarta.co

Reklamasi Pulau G Simbol Kemenangan Oligarki?

reklamasi pulau utara jakarta

reklamasi pulau utara jakarta

Oleh: Muhammad A. S. Hikam*

SuaraJakarta.co, OPINI – Keputusan Menko Maritim, Luhut Panjaitan (LP), untuk mencabut keputusan Menko Kemaritiman sebelumnya, Rizal Ramli (RR), terkait penghentian permanen reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, perlu kita cermati. Kalau kita menggunakan logika kekuasaan semata, maka dengan sangat mudah masalah reklamasi Pulau G itu berubah-ubah, tergantung dari siapa yang sedang berkuasa dan punya kewenangan mengambil keputusan. Tetapi jika kita menggunakan perspektif keadilan, persoalannya tidak sesederhana itu.

Sebab, kekuasaan dan kewenangan dalam sebuah sistem demokrasi tidak bisa dilepaskan dari masalah keadilan sebagai landasan etik. Kekuasaan bisa saja menggunakan berbagai justifikasi, termasuk hukum, tetapi secara substantif tidak akan bisa mengelak dari pertanggungjawaban etik: apakah ia dipergunakan utk kemaslahatan umum ataukah hanya kepentingan sekelompok orang saja?

Argumentasi LP bahwa melanjutkan proyek reklamasi Pulau G adalah sesuatu yang konsisten karena telah dilakukan sejak zaman Orde Baru, saya kira sangat lemah secara substantif dan etik. Logika seperti itu menyiratkan bahwa reformasi yang dilakukan sebagai koreksi thd rezim Orba menjadi tak bermakna. Bukankah reformasi secara substantif merupakan sebuah perlawanan terhadap, dan karenanya tidak konsisten dengan, rezim Orba? Dalam kaitan dengan proses pembangunan, bukankah banyak ditemukan kongkalikong alias KKN antara pemilik modal dengan rezim Orba, sehingga perlu dikoreksi. Apakah LP lupa bahwa salah satu substansi reformasi adalah pemberantasan KKN tsb?

LP juga mengatakan bahwa keputusannya berdasarkan berbagai pertimbangan dari lembaga-2 yang dapat diandalkan, seperti BPPT, PLN, dan ‘lembaga-lembaga lain” yg kompeten termasuk bidang lingkungan. Pertanyaan saya, apakah keputusan RR dibuat tanpa ada pertimbangan dari lembaga-2 yg berkompeten? Bukankah sebelum memutuskan agar reklamasi Pulau G itu dihentikan, pihak Menko Maritim di bawah RR juga telah melakukan kajian-2 yg valid? Bukankah ada tim gabungan yg dibentuk dan di dalamnya termasuk Kementerian KKP dan KLH juga? (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/jabodetabek-nasional/16/06/30/o9kw6i354-rizal-ramli-lakukan-pelanggaran-berat-reklamasi-pulau-g-dibatalkan)

Seharusnya Pemerintah Presiden Jokowi (PJ) memberikan kejelasan mengapa keputusan ttg reklamai tsb bisa begitu cepat berganti hanya dalam waktu dua bulan setelah RR dicopot. Demikian pula jika perlu harus ada forum publik yang mengkonfrontir dua argumen yg berbeda antara RR vs LP terkait keputusan reklamasi, sehingga publik tidak terjebak dalam permainan kekuasaan dan keraguan.

Lebih jauh, jika Pemerintah PJ membiarkan model keputusan seperti ini terjadi, sulit untuk menepis tudingan bahwa pemerintahannya sangat dipengaruhi oleh oligarki pemilik modal dan kekuatan politik. Slogan Nawa Cita yg mengutamakan kepentingan rakyat dan kehadiran negara dalam membangun bangsa, akan menjadi kehilangan maknanya. Sebab, bukankah jika alasan konsistensi yg dipakai LP dalam kasus reklamai Pulau G itu bisa di ‘plesetkan’ orang bahwa Pemerintahan Pk juga “konsisten” melanjutkan kebijakan rezim Orba?

*Penulis: Mantan Menristek era Presiden Gus Dur

Exit mobile version