Perluasan lahan dengan cara reklamasi pulau atau membuat pulau baru digadang-gadang dapat meningkatkan produktivitas suatu wilayah. Pembangunan pulau buatan adalah usaha yang mahal dan berisiko.
Kendati demikian, pulau buatan menjadi pilihan di daerah-daerah berpenduduk padat, sementara ketersediaan lahan sangat terbatas. Bandar Udara Internasional Kansai (Osaka) dan Bandara Internasional Hong Kong adalah contoh dimana pembuatan pulau dinilai perlu. The Palm Islands, The World, dan Hotel Burj Al-Arab di Dubai, Uni Emirat Arab adalah contoh lain pulau buatan, walaupun tidak ada kelangkaan tanah di Dubai.
Seiring dengan kepadatan penduduk daerah dan perkembangan kawasan secara intensif selama abad ke-20, reklamasi dianggap sebagai strategi penting. Tujuan reklamasi yang paling umum adalah untuk membangun taman, lapangan golf, dan lapangan olahraga. Namun belakangan, gedung perkantoran, apartemen, dan kawasan industri juga dibuat di atas lahan reklamasi.
Di sisi lain, reklamasi dianggap sebagai bentuk perusakan lingkungan, sehingga dilarang di beberapa negara di dunia. Pada 1996, pemerintah Hong Kong juga mengeluarkan regulasi bagi perlindungan Victoria Harbour yang terancam akibat pengembangan lahan.
San Francisco Bay Conservation and Development Commission pada 1965 lalu membuat peraturan untuk melindungi teluk San Francisco Bay dan mengatur pembangunan properti di sekitar pantainya. Peraturan tersebut dibuat lantaran area teluk terus menyusut akibat reklamasi. Selain itu, tanah hasil reklamasi juga sangat rentan tergerus saat gempa bumi, yang berakibat pada kerusakan bangunan dan infrastruktur.
Ancaman penurunan permukaan tanah adalah masalah lain yang sekarang ini ramai dibicarakan di masyarakat Jakarta, Berdasarkan hasil penelitian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), penurunan muka tanah di Jakarta mencapai 18 sentimeter per tahun. Hal ini akibat ekstraksi atau pencurian air tanah oleh pengelola gedung-gedung bertingkat maupun perumahan.
Salah satu proyek reklamasi terbesar di Indonesia adalah Giant Sea Wall (GSW) dan Reklamasi 17 Pulau di Teluk Jakarta. Wacana pembangunan tanggul laut raksasa dan reklamasi dalam bentuk pulau-pulau ini muncul pada era Gubernur Fauzi Bowo. Proyek yang kini disebut ”Pembangunan Pesisir Terpadu Ibu Kota Negara” ini yang bertujuan mengatasi pasang naik air laut yang semakin tinggi akibat pemanasan global. Selain itu, juga dimaksudkan untuk menyediakan sumber air bersih.
Pemancangan tiang pertama GSW dilakukan pada 9 Oktober 2014 dengan membangun tanggul laut sepanjang 32 kilometer. Pemerintah pusat dan Pemprov DKI Jakarta hanya membiayai 8 kilometer dengan dana Rp 3,5 triliun, sementara sisanya (24 km) dibiayai swasta pemegang konsesi lahan reklamasi 17 pulau. Biaya mereklamasi pulau tersebut diperkirakan berkisar Rp 5 juta sampai Rp 7 juta permeter persegi masih lebih rendah dibandingkan membeli lahan di DKI Jakarta.
Diprediksi harga kavling kanal yang ada di atas tanah reklamasi sekitar Rp 30 juta per meter persegi. Hampir dua kali lipat dibanding yang ada di darat dengan harga sektiar Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per meter persegi.
Inilah investasi yang diharapkan Pemerintah DKI untuk meningkatkan pendapatan daerah. Bisa dibayangkan betapa fantastis uang bagi hasil kepemilikan dan pajak yang masuk ke kas daerah. Dan kesemuanya itu pasti demi kemaslahatan warga ibu kota di masa yang akan datang.
Selain reklamasi, program normalisasi sungai dan waduk, perombakan pelayanan dan transportasi publik, merupakan program-program yang harus dilanjutkan untuk kepentingan warga Jakarta.
Dan Jakarta butuh itu semua, karena kita butuh identitas untuk diakui sebagai salah satu kota maju di dunia. Cerita lama Jakarta kumuh, semeraut dan ketinggalan zaman tidak perlu diulang kembali. Jakarta kedepan tak hanya akan selevel dengan Rotterdam atau Singapura, kota yang berusia 488 tahun itu akan bersaing dengan Manhattan, Dubai, Tokyo, Hong Kong, atau bahkan Atlantis.
Jakarta butuh reklamasi karena berbagai alasan mendesak, antara lain Jakarta harus membangun tanggul raksasa (Giant Sea Wall) untuk mencegah banjir, laut Jakarta sudah terlalu kotor, dan ketersedian lahan hunian, dan percepatan pemerataan pembangunan serta penataan kawasan pesisir pantai utara Jakarta harus tetap dilakukan untuk meningkatkan perekonomian ibu kota tercinta, DKI Jakarta.
Warga Jakarta akan merasakan manfaat proyek reklamasi dalam kurun waktu beberapa tahun mendatang. Tidak ada kepastian sukses maupun gagal sebelum proyek benar-benar rampung. Apabila berhasil, Jakarta akan bebas dari banjir.
Penulis: Malasari, Warga Ciputat, Tangerang Selatan.