Potensi Kekerasan Sosial di Indonesia dan Pencegahannya

Oleh: Bambang Prayitno

Kasus demonstrasi berhadap-hadapan dua kubu Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Bawah Indonesia (GMBI) pada pemeriksaan Habib Rizieq Shihab di Mapolda Jawa Barat atas laporan Sukmawati Soekarnoputri karena dianggap menghina Pancasila pada Kamis kemarin (12/1), akhirnya berujung ricuh. Bentrok tak dapat dihindarkan. Dari berbagai sumber berita, GMBI dianggap memulai kekerasan fisik yang berujung anggota FPI dan GMBI terluka dan harus mendapatkan perawatan.

Di tempat lain, pada hari yang sama (12/1), kedatangan Wakil Sekjen MUI Tengku Zulkarnain ke Sintang Kalimantan Barat yang agendanya dalam rangka memberikan ceramah keagamaan atas undangan Bupati Sintang, ditolak sekelompok warga (yang mengaku) bersuku Dayak. Dari berbagai sumber dan berita, kelompok Adat Dayak yang awalnya hendak menyambut kedatangan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalimantan Barat sekaligus Gubernur Kalimantan Barat Cornelis yang akan melantik Pengurus DAD, akhirnya berbelok haluan menuju landasan terbang pesawat karena mendengar kedatangan Tengku Zulkarnain.

Di sisi yang satu, dalam konteks ‘media awarness’ beserta eksesnya, kita juga menyaksikan. Bahwa dua peristiwa itu begitu cepat menyebar. Tak sampai hitungan menit, seluruh masyarakat di Indonesia sudah bisa membaca dan mengomentarinya. Lalu meme-meme dan berbagai komentar positif-negatif muncul berbondong-bondong. Informasi yang menyebar cepat itu, di satu sisi sangat menguntungkan kita. Tapi di sisi yang lain bisa merugikan kita jika kita tak mampu mengukur dampak sosialnya.

Sementara itu, dalam konteks ‘social awarness’, dua kejadian yang bersamaan ini tidak bisa kita anggap remeh. Kasus kekerasan antara FPI dengan GMBI di Bandung bisa menjalar dan menyebar. Sementara kasus penolakan dan pengusiran Tengku Zulkarnain bisa menjadi pemicu sentimen agama dan dalam waktu yang panjang akan menjadi pemantik yang tiba-tiba hadir dalam gesekan sosial di tengah masyarakat.

Ketidakmampuan mengukur dan mengantisipasi gesekan sosial dan penyebaran informasi tersebut, di masa kini, berdasarkan pengalaman di berbagai tempat, telah menjadi penyebab konflik dan kekerasan. Hal ini sesuai dengan penelitian dan laporan yang dalam dan panjang dari Bank Dunia pada tahun 2011 dengan judul ‘World Development Report 2011: Conflict, Security and Development’. Kesimpulan tentang konflik kekerasan di Indonesia dan sulitnya melakukan deeskalasi dipengaruhi oleh tiga faktor utama; tekanan, kerapuhan sosial, dan kelemahan institusional.

Dalam hal penanganan konflik sosial, Indonesia sebenarnya sudah memiliki payung hukum yang menyatukan berbagai hal dalam rangka pencegahan dan penanganan konflik. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial adalah langkah positif pemerintah dalam rangka mencegah, mengantisipasi, menghentikan konflik serta melakukan pemulihan pascakonflik dengan cara dan upaya yang sistematis dan terencana.

Identifikasi penyebab konflik, deeskalasi dan penyebabnya sudah kita mampu identifikasi. Maka, membaca kesimpulan dari penelitian panjang tentang konflik di Indonesia dan penyebabnya, kita bisa mengambil pelajaran bahwa dalam menangani dan mengantisipasi tanda-tanda konflik kekerasan, maka setidaknya, kita mengidentifikasi pada tiga penanganan; pertama, melakukan langkah untuk menghilangkan dan meredam tekanan. Yang kedua, menguatkan kembali ikatan sosial. Dan yang terakhir, menguatkan kelembagaan pencegahan konflik.

Yang pertama, meredam tekanan. Yang dimaksud dengan tekanan disini adalah tekanan lingkup besar, seperti proses demokratisasi, tekanan politik dan ekonomi dan sebagainya. Dalam kacamata yang lebih kecil; seperti hubungan antar kelompok sosial, terdapat fenomena juga dimana terdapat proses tekan-menekan antar kelompok. Ketika kelompok besar melihat kelompok lainnya lebih kecil, mereka melakukan koersi. Tentu saja ada hubungan antara tekanan dalam lingkup besar seperti demokratisasi, tekanan politik dan ekonomi dengan lingkup kecil seperti tekanan antar kelompok tersebut.

Yang kedua, retasnya ikatan sosial karena ketidakmampuan masyarakat mengelola perubahan sosial dan demografis. Kelompok masyarakat yang tidak terintegrasi dengan baik, ketegangan dalam kelompok-kelompok masyarakat yang akhirnya menimbulkan konflik dan kekerasan juga dipicu oleh beberapa hal, mulai dari kesenjangan ekonomi, kecemburuan sosial, putusnya komunikasi antar kelompok, hingga pemberian informasi yang salah antar entitas masyarakat. Dari sana kita bisa mengidentifikasi sebab utama dari konflik yang terjadi pada dua kasus terakhir. Penolakan Tengku Zulkarnain di Sintang dan bentroknya FPI-GMBI di Bandung bisa jadi karena dua faktor utama; putusnya komunikasi dan pemberian informasi yang salah pada salah satu pihak.

Yang ketiga, tentang penguatan kelembagaan pencegahan konflik. Dalam penelitian The Habibie Center tentang pencegahan konflik yang kemudian dibuat menjadi buku dengan judul ‘Kapasitas Lembaga dan Dinamika Pencegahan Konflik’ pada tahun 2015, merekomendasikan tentang penguatan kapasitas kelembagaan dalam pencegahan konflik yang terukur dalam beberapa langkah. Pertama, bagaimana membangun sistem peringatan dini. Kedua, bagaimana mengembangkan alternatif penyelesaian perselisihan. Ketiga, bagaimana mengkoordinasikan hubungan antar lembaga pemerintah dan non-pemerintah dalam pencegahan konflik. Dan yang terakhir, bagaimana menjamin dan memastikan keterlibatan partisipasi masyarakat secara umum dalam pencegahan konflik.

Dalam hal ini, yang pertama, kita bisa melihat bahwa kelembagaan pencegahan konflik di Sintang sudah berjalan dengan baik. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM) dan lembaga keagamaan telah bekerja cepat melakukan koordinasi dan memberikan pernyataan yang meluruskan informasi seputar pribadi Tengku Zulkarnain yang menjadi pemicu kemarahan warga Dayak. Tapi sekaligus kita bisa melihat bahwa proses penanganan keamanan oleh aparat keamanan sebagai output dari sistem peringatan dini tidak bekerja maksimal. Aparat keamanan perlu mengidentifikasi apa yang akan akan terjadi esok hari dari kejadian ini untuk selanjutnya harus berusaha membuat langkah-langkah dini pencegahan konflik.

Kembali ke sub-pokok bahasan diatas. Terkait dengan media awarness, kita juga berbicara tentang peran media sosial dalam pencegahan konflik di satu sisi dan juga perannya menjadi pemantik konflik sosial di sisi yang lain. Seorang ahli Komunikasi Media Elektronik yang bekerja di Department of Information Systems the University of Münster Jerman dan juga menjadi Direktur Competence Center Connected Organization at the European Research Center for Information Systems (ERCIS) bersama koleganya Linh Dang-Xuan melalukan penelitian tentang penggunaan media sosial berjudul ‘Emotions and Information Diffusion in Social Media-Sentiment of
Microblogs and Sharing Behavior’ pada tahun 2013.

Penelitian yang diterbitkan di dalam jurnal internasional ‘Journal of Management Information Systems’ pada tahun yang sama itu mengambil kesimpulan beberapa hal. Yang pertama, bahwa pesan (gambar dan kata-kata) yang emosional (kebencian, kemarahan, kegembiraan) ketika diunggah di media sosial, akan lebih mudah tersebar. Yang kedua, sentimen negatif dengan penanganan tertentu akan menyebar lebih cepat dan lebih sering. Yang ketiga, pandangan orang dalam politik dan keyakinan bisa menjadi sumber dari kecenderungan orang tersebut untuk menyebarkan berita atau tidak.

Dari itu semua, kita bisa menyimpulkan beberapa hal tentang bagaimana melakukan pencegahan konflik dalam jangka panjang setelah kasus penolakan Tengku Zulkarnain di Sintang dan bentrok FPI dan GMBI di Bandung. Yang pertama, perlunya penguatan kelembagaan pencegahan konflik dan merumuskan peringatan dini yang lebih up to date disebabkan karena faktor media sosial. Yang kedua, dalam kasus penolakan Dewan Adat Dayak, pemerintah dan institusi pencegahan konflik perlu melakukan investigasi dan penyelidikan sebab-sebab masyarakat menerima informasi yang salah. Yang ketiga, indikasi keberpihakan oknum kepolisian dalam kasus bentrok FPI dan GMBI bisa menjadi faktor pemantik konflik.

Yang keempat, kelemahan kepemimpinan di Polda Jawa Barat harus dievaluasi terkait kejadian bentrok. Yang kelima, pemerintah perlu merumuskan tentang bagaimana harmoni dan ikatan sosial dalam bentuk regulasi dan aksi. Yang keenam, terkait beberapa isu yang sangat emosional di dalam kelompok sosial tertentu, seperti kafir, komunis dan lain-lain, pemerintah harus cepat tanggap untuk merespon dan mengambil langkah preventif agar tak ada gesekan diantara kelompok masyarakat. Yang ketujuh, kerjasama kelembagaan antar organisasi non-pemerintah dalam mencegah konflik sosial menjadi hal yang mendesak. Dan yang terakhir, kecerdasan literasi bisa menjadi tema kampanye utama untuk menghindarkan menjadikan media sosial sebagai pemantik konflik.

Jakarta, 13 Januari 2017

Related Articles

Latest Articles