Site icon SuaraJakarta.co

Permenkes 28/2014 : Hanya Membuat BPJS Menjadi Robot Tanpa Hati Nurani

Oleh : Agung Nugroho, Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia)

SuaraJakarta.co, OPINI – Jakarta, (13/8). Ada dua kejadian yang perlu sekiranya para pemangku kebijakan dalam hal ini DPR RI, Presiden dan Kemenkes untuk berfikir dengan objektif dan menyandarkan kembali hasil berfikirnya tersebut pada hati nurani sehingga dapat melakukan perubahan terhadap regulasi yang selama ini diterapkan oleh BPJS dengan produk asuransinya yang bernama JKN.

Peristiwa pertama adalah tidak terjaminkannya biaya pengobatan pada bayi bernama Khiren (1 tahun) penderita bocor jantung, dimana orang tuanya harus menanggung hutang sebesar 124 juta rupiah lebih karena BPJS tidak dapat melakukan pertanggungan terhadap biaya pengobatan Khiren di RS Harapan Kita.

Pada tanggal 20 Mei 2015 bayi Khire di operasi di RS Harapan Kita jaminan kartu BPJS dengan nomor kartu 0001438401205, Khiren merupakan pasien Rujukan dari RSUD M. Jamil Padang. Masalahnya adalah orangtua Khiren terlambat mengurus Surat Eligibilitas Peserta (SEP) sebagai salah satu syarat peserta BPJS dapat ditanggung biayanya, dimana jangka pengurusannya hanya diberikan waktu 3×24 jam. Khiren bisa pulang ke rumah setelah orangtuanya menandatamgani surat pernyataan hutang kepada RS. Harapan Kita.

Peristiwa kedua adalah yang terjadi pada bayi kembar dari nyonya Aldoria Maharibe warga Depok Jawa Barat yang melahirkan di RSCM. Bayi kembar tersebut harus menjalani perawatan di ruang NICU 18 Juni 2015, walau kedua bayi kembar tersebut sudah terdaftar sebagai peserta BPJS pada tanggal 10 Juni 2015 namun karena terbentur dengan permenkes no. 28 dimana batas waktu SEP hanya diberikan 3×24 jam, maka ke dua bayi kembar malang tersebut tidak dapat dijamin biaya perawatan dan pengobatannya dikarenakan masa aktif kartunya jatuh pada tanggal 24 Juni 2015 dengan total biaya sebesar Rp 150 Juta.

Sebelum kedua peristiwa tersebut terjadi sudah banyak kasus yang menimpa rakyat akibat permenkes nomor 28/2014 ini. Jauh jauh hari saat permenkes ini baru diberlakukan, Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia) sudah melakukan protes dan menuntut Menteri Kesehatan (menkes) untuk mencabut permenkes tersebut karena akan menimbulkan banyak kekisruhan. Ironisnya tuntutan Rekan Indonesia tersebut tidak digubris sama sekali, bahkan oleh ketua salah satu LSM yang mendampingi kasus Aldoria Maharibe di Depok diejek lewat status facebooknya dan sekarang mereka justru mengalami kendala yang diakibatkan oleh permenkes ini.

Pakar Jaminan Sosial dan Asuransi dr. Yaslis Ilyas yang juga Dewan Penasehat Rekan Indonesia dalam satu tulisannya di Kompasiana juga dengan tegas mengkritisi pemberlakuan permenkes tersebut bahkan dengan jelas mengatakan ini merupakan Fraud yang dilakukan oleh regulator.

Bagaimana permenkes tersebut menjadi sumber masalah dalam dua peristiwa di atas ? mari kita cemati. Permenkes No: 28/2014; BAB III PESERTA DAN KEPESERTAAN, poin 4. Bayi baru lahir dari: a.peserta pekerja bukan penerima upah; b.peserta bukan pekerja; c.peserta pekerja penerima upah untuk anak keempat dan seterusnya; harus didaftarkan selambat-lambatnya 3 x 24 jam hari kerja sejak yang bersangkutan dirawat atau sebelum pasien pulang (bila pasien dirawat kurang dari 3 hari). Jika sampai waktu yang telah ditentukan pasien tidak dapat menunjukkan nomor identitas peserta JKN maka pasien dinyatakan sebagai pasien umum. Kebijakan ini bukan saja bertentangan dengan konsep JKN, tapi juga berakibat buruk terhadap angka kematian bayi yang merupakan salah satu tujuan penting Millenium Development Goals (MDGs).

Menteri Kesehatan sebaiknya mulai menggunakan hati nurani untuk mengevaluasi kembali permenkes tersebut karena akan semakin banyak menimbulkan jatuh korban pada peserta BPJS. Yang harus diingat oleh Menkes dalam setiap mengeluarkan kebijakan yang terkait dengan pelayanan publik harus didasari oleh hati nurani sehingga kebijakannya dapat berpihak pada rakyat. Apalagi fakta yang ada dilapangan akibat kebijakan permenkes tersebut pihak pengelola yaitu BPJS tidak dapat berbuat banyak karena mereka mau tidak mau harus kaku dalam menjalankan kebijakan permenkes tersebut.

Alhasil, permenkes tersebut hanya membuat para petugas BPJS menjadi Robot yang tidak memiliki hati nurani karena harus membuang hati nuraninya ke keranjang sampah melihat penderitaan rakyat yang harus berhutang ratusan juta rupiah kepada Rumah Sakit. Sehingga potret jaminan kesehatan kita terkesan bengis kepada rakyat yang telah menjadi peserta.

Exit mobile version