Site icon SuaraJakarta.co

PDIP Tidak Akan Usung Ahok

Dulu Back-Up Ahok, Sekarang PDIP Ngotot Hak Angket

Dulu Back-Up Ahok, Sekarang PDIP Ngotot Hak Angket

Oleh: Pangi Syarwi Chaniago*

Kalau kita perhatikan, PDIP partai doktrin, bukan tipologi parpol kepentingan atau pragmatis. PDIP tentu berbeda dengan partai lain, partai bukan hanya sebagai tandu politik dan fasilitator menjadi kepala daerah. PDIP tentu punya pakem tersendiri dalam mengusung seorang calon kepala daerah. Ada beberapa alasan menggapa PDIP tidak akan memilih Gubernur Ahok untuk diusung pada pilkada DKI 2017?

Pertama, PDIP sangat memperhatikan betul soal loyalitas, Gubernur Ahok adalah politisi kutu loncat, beberapa kali pernah meninggalkan parpol yang mengusungnya jadi Bupati dan Gubernur, politisi pragmatis, memperjuangkan reklamasi dan terkesan membela pemilik modal. Gubernur Ahok in-konsisten, padahal pada ajang Pilgub DKI Jakarta 2012 meminta petahana untuk cuti, sementara saat ini sikapnya tidak sebangun, gubernur Ahok enggan cuti. Sikap yg selama ini tampak in-konsisten, pada beberapa kasus dapat mengurangi kepercayaan publik (dis-trust) terhadap sosok gubernur Ahok.

Kemudian kalau kita perhatikan, saya pikir PDIP juga bisa dikemudian hari dikhianati. Bukankah tradisi politik PDIP bahwa kader itu ‘petugas partai’, sehingga prasyarat kader PDIP ialah kader intelektual ideologis, menuntut sebuah loyalitas tingkat tinggi, kader yang bukan mencla mencle, berani beda karena prinsip, nurani dan logika.

Kedua, tentu PDIP tidak mau akhir ceritanya tragis, pikiran ekstream bagaimana kalau kemudian PDIP ditinggal presiden Jokowi, sekarang saja sudah ada sinyal presiden main mata dengan Golkar, gubernur Ahok sudah pernah merecoki Golkar dan Gerindra. Kalau tidak terbendungnya popularitas dan elektibilitas gubernur Ahok, maka skema presiden Jokowi berpasangan dengan Ahok pada pilpres 2019, itu alasan yang cukup logis.

Lalu bagaimana nasib PDIP, syukur-syukur konfigurasi capres dan cawapres Jokowi-Ahok pakai tandu PDIP, kalau tidak, bagaimana logikanya nanti kalau Jokowi-Ahok memakai tandu parpol lain, tentu tragis dan menyakitkan bagi PDIP. Polaritas yang terbentuk kedepan, bukan mustahil pengaruh Megawati melemah sementara pengaruh presiden Jokowi semakin menguat. Kader ideologis tulen PDIP seperti Risma dan Ganjar Pranowo boleh jadi alternatif PDIP sebagai lawan tanding yang sebanding dengan presiden Jokowi kalau tidak lagi via PDIP.

Ketiga, tingginya penolakan publik terhadap pencalonan gubernur Ahok di Jakarta, di mana-mana nampak spanduk menolak gubernur Ahok karena akumulasi kekecewaan publik, tak mampu menyegarkan antusiasme publik, gagal memompa pemerintah kearah yang lebih baik.

Rendahnya daya serapan anggaran APBD DKI hanya 43 triliun, angka kemiskinan naik menjadi 15.630 orang, gagal menyiapkan perumahan murah bagi warganya, kurang menunjukkan etika, moral dan berbicara kasar se-suka hati, pengusuran semena-mena namun mendukung reklamasi. Parpol selayaknya punya chanel tinggi, lihai membaca sinyal penolakan tersebut. Parpol yang representatif dan artikulatif terhadap apa yang menjadi kehendak rakyat.

Derasnya tensi penolakan dan ketidaksukaan terhadap gubernur Ahok dari kader akar rumput (grass root), bukan membalikkan realitas dan alasan yang mengada-ngada. Dilihat secara luas, parpol sebagai suprastruktur politik sudah selayaknya merepresentasikan kehendak publik.

Berangkat dari konteks tersebut, parpol tidak boleh mengangkangi dan menakut-nakuti kader kader yang menolak pencalonan gubernur Ahok, akan diberi sangsi keras. Megawati sebagai elite penentu ( the rulling party) tidak mungkin tertutup, feodal apalagi otoriter, sebab saham PDIP tidak dimiliki hanya satu orang.

PDIP punya banyak kader seperti Tri Rismaharini, Ganjar Pranowo, Djarot Saiful, Boy Sadikin yang punya potensi membuat gubernur incumbent tersungkur dalam iklim politik yang normal.

Partai berlambang Banteng Moncong Putih, memiliki kader yang sudah jelas-jelas tak diragukan lagi kesetian, kapabilitas dan all out habis membela PDIP dan rakyat, tinggal partai mempertahankan adat istiadat politik terkait pembacaan logika meritokrasi di tubuh partai. Mengapa PDIP harus mengusung Ahok, padahal saat yang sama PDIP jelas-jelas punya kader terbaik? Itu pertanyaan retoris yang logis.

Opini yang dipompakan selama ini ke benak publik bahwa seolah-olah membajak perkataan Megawati, “hampir pasti PDIP mengusung Ahok”, hanya-lah pengiringan opini publik semata. Santer terdengar PDIP akan dukung Ahok, itu opini oplosan.

Sangat disayangkan, PDIP istimewa, bisa mengajukan calon sendiri tanpa berkoalisi, namun patut diduga tersandera kepentingan kelompok tertentu dan tidak merdeka mengusung kadernya sendiri. Pertanyaan menggelitik, Mengapa PDIP terkesan membesarkan Ahok ketimbang membesarkan kadernya sendiri. Politik itu sederhana, bagaimana esok hari kita punya pemimpin yang mencintai rakyatnya dan rakyat mencintainya. Semoga!

* Direktur Eksekutif Voxpol Center

Exit mobile version