Oleh: Hariqo Wibawa Satria*
Sambutan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj di Harlah Muslimat NU ke-73 (27/2) banyak diberitakan, diantaranya dengan judul: (1) Said Aqil: Imam Masjid, Khatib, KUA Harus dari NU, Selain NU Salah Semua (Detik.com). (2) Said Aqil: Menag, Khatib, Imam Masjid Kalau Selain NU Salah Semua (Tirto.id), (3) Kalau Imam Selain NU, Salah Semua (CNN Indonesia), dan banyak lagi.
Media milik pemerintah Indonesia, LKBN Antara menuliskan judul: Ketum PBNU: Peran Agama Dipegang Selain NU, Salah Semua”. Akun Youtube Antara TV juga memberi judul: Ketum PB NU: Peran Agama Dipegang Selain NU, salah semua. Saya tonton juga video lengkapnya. Salahkan media-media tersebut?, tentu tidak karena memang pernyataan KH. Said Aqil Siradj demikian.
Pernyataan lengkapnya menyebut selain NU nanti banyak bid’ah. Berikut KH. Said Aqil Siradj: “Peran agama harus kita pegang. Imam masjid, khatib-khatib, KUA-KUA pak menteri agama, harus dari NU. Kalau dipegang selain NU, salah semua, nanti banyak bid’ah nanti kalau selain NU. Ini bid’ah. Tari-tari sufi bid’ah nanti,”.
Bagaimana di media sosial?. Situs buzzsumo.com pada 27 Januari 2019 mencatat 129.928 untuk facebook engagement dan 10.017 twitter shares dari 20 tautan berita terbanyak dibaca terkait pernyataan Said Aqil Siradj. Pada 28 Januari 2019: 22,324 facebook engagement dan 380 twitter shares dari 20 tautan berita terbanyak dibaca terkait pernyataan Said Aqil Siradj. Mayoritas pengguna medsos merespon negatif pernyataan Said Aqil Siradj.
Sedangkan upaya media www.nu.or.id, muslimoderat.net, islampers.com menyampaikan pernyataan lengkap KH. Said Aqil Siradj pada 28 Januari 2019 per pukul 18.00 meraih 10.146 facebook engagement dan 245 twitter shares. Upaya www.nu.or.id layak diapresiasi, namun tidak cukup membantu karena penjelasannya terlalu singkat dan tidak mengurangi kontroversialnya pernyataan itu. Sehingga selain klarifikasi, www.nu.or.id juga menyebarkan pernyataan kontroversial dari KH. Said Aqil Siradj.
Merespon itu, tokoh Muhammadiyah, Anwar Abbas mengatakan dalam keterangan tertulisnya “Saya sesalkan. Pernyataan ini jelas tidak mencerminkan akal sehat. Saya yakin pernyataan ini adalah pernyataan dan sikap pribadi dari Said Aqil Siradj dan bukanlah sikap dari NU” (CNN Indonesia, 28/01/2019). Imam Addaruquthni (Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia) mengatakan “Pernyataan itu kami anggap lucu, tapi cukup menyedihkan, tapi kami di DMI tak menghiraukan pernyataan itu. KH Hasyim, pendiri NU saja tidak pernah bicara seperti itu”. Di keterangan lain, Imam Addaruquthni menyebut DMI akan meminta penjelasan atau tabayun dengan Said Aqil terlebih dahulu.
Dari pernyataan kontroversial KH. Said Aqil Siradj ini, ada beberapa catatan:
Pertama, toleransi KH. Said Aqil Siradj terhadap sesama ormas islam kurang. Penggunaan kata “Salah” dan “Selain NU” sangat tidak tepat. Selain NU (Berdiri 1926) banyak ormas islam lainnya seperti: Al-Jamiatul Khairiyah (Berdiri 1901), Sarekat Islam (Berdiri 1905), Muhammadiyah (Berdiri 1912), Perhimpunan Al-Irsyad Al-Islamiyyah (Berdiri 1914), Persatuan Islam (Berdiri 1923), Al jam’iyatul Washliyah (Berdiri 1930), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Berdiri 1930), HMI (Berdiri 1947) dan lain-lain.
Kedua, diperlukan evaluasi terhadap ‘dakwah’ atau cara merangkul golongan moderat terhadap golongan yang dianggap tidak moderat. Apakah gaya komunikasi mengejek bahkan membully efektif. Sejauh ini lebih banyak pernyataan memukul ketimbang merangkul yang disampaikan kelompok moderat. Seperti hinaan pada celana cingkrang, jenggot dan hal-hal tidak subtantif lainnya. Bukankah Walisongo merangkul.
Ketiga, upaya-upaya menanamkan fanatatisme golongan, asabiyah yang dilakukan oleh pemimpin golongan berpotensi merusak fondasi persatuan NKRI, dan semakin melupakan kita dari masalah-masalah mendasar yang kita hadapi, seperti kemiskinan, kebodohan dan ketertingalan dari bangsa-bangsa lain. Bangsa-bangsa lain lari ke depan, kita lari ke belakang.
Keempat, kedewasaan dari petinggi ormas islam, tokoh islam, tokoh-tokoh nasional di media sosial layak diapresiasi. Kemampuan mereka menahan diri dan tidak menggunakan akun medsosnya untuk mengomentari berlebihan pernyataan KH. Said Aqil Siradj dapat dijadikan contoh untuk menghadapi krisis-krisis komunikasi berbahaya selanjutnya.
Kelima, cara KH. Said Aqil Siradj mengkritik kelompok yang membid’ahkan tahlil, maulud, dll tidak fokus dan jauh melebar sehingga menimbulkan kegaduhan.
Keenam, konten itu ukurannya kepentingan nasional. Belum tentu konten yang menguntungkan suatu golongan juga menguntungkan kepentingan nasional. Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan konten.
*Hariqo Wibawa Satria, Pengamat Media dan Politik dari Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi. www.komunikonten.com, 28 Januari 2019