Oleh: Agung Nugroho, Sekretaris Nasional Gema Nusantara
Adapun di Museum Presiden Anwar Saddat hanya ada satu-satunya foto dari presiden Indonesia, yaitu Bung Karno, tanpa ada Presiden Soeharto. Padahal dalam kunjungan pertamanya ke Mesir pada September 1977, Presiden Soeharto disambut hangat Presiden Saddat di tangga pesawat di Bandara Kairo.
Pak Harto didampingi Ibu Tien juga secara khusus berkunjung ke kediaman Presiden dan Ibu Negara Gihan Saddat di Kairo. Lawatan Presiden Soeharto yang terekam dalam buku “Jauh di Mata Dekat Di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir” (KBRI Kairo, 2009) itu tujuannya untuk menggalang dukungan menyangkut integrasi Timor Timur dan mempererat hubungan bilateral kedua negara.
Sementara di foto Bung Karno, Presiden RI pertama tersebut sedang berdiri dan berbicara dengan memegang mikrofon, sementara Saddat bersama sejumlah perwira militer mendampinginya. Potret Bung Karno tersebut ketika Saddat masih berpangkat Letnan Kolonel ketika mendampingi kunjungan Bung Karno ke kota wisata Alexandria saat lawatan pertama ke Mesir pada Juli 1955.
Keterangan di bawah foto itu tertulis dalam bahasa Arab dan Inggris, “Foto lawatan pertama Presiden Ahmed Sukarno ke Mesir tahun 1955 ketika didampingi Letkol Anwar Saddat berkunjung ke Alexandria.”
Kunjungan Bung Karno ke kota wisata Alexandria di pesisir Laut Mediterania ini tidak terekam dalam buku “Jauh di Mata Dekat di Hati: Potret Hubungan Indonesia-Mesir”. Kunjungan pertama Bung Karno ke Mesir berlangsung hanya tiga bulan setelah Konferensi Asia Afrika di Bandung yang dihadiri Nasser, dan kunjungan terakhir ke Kairo pada Juni 1965, atau hanya tiga bulan menjelang peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Setiap lawatan Bung Karno ke Negeri Lembah Nil itu disambut meriah sejak setibanya di Bandara Kairo hingga kepulangannya. Surat kabar Mesir Al Ahram pada 20 Juli 1955 menggambarkan kunjungan pertama Presiden Soekarno itu disambut gegap-gempita oleh masyarakat yang berdiri di pinggir jalan dari Bandara hingga istana tempatnya menginap.
“Seolah seluruh rakyat Mesir keluar rumah menyambut kedatangan Presiden Indonesia. Sepanjang jalan yang dilalui Presiden Soekarno dipenuhi rakyat segala umur”.
Bahkan, katanya, balkon-balkon apartemen penduduk dipadati manusia untuk memberi penghormatan terhadap Sang Tamu Agung dengan melambaikan bendera mini Mesir dan Indonesia. Spanduk dan bendera kedua negara menghiasi jalan-jalan kota Kairo sehingga bertambah semarak penyambutan Presiden Soekarno, demikian Al Ahram. Penghormatan Mesir terhadap tokoh proklamator itu tidak hanya semasa menjabat presiden, tapi juga setelahnya.
Ketika Bung Karno wafat pada 21 Juni 1970, Presiden Gamal Abdel Nasser menyatakan Mesir berkabung dengan menaikkan bendera setengah tiang di kantor-kantor pemerintah. Presiden Nasser juga menggirimkan kawat belasungkawa kepada Presiden Soeharto atas wafatnya Bung Karno, tulis koran Al Ahram, 22 Juni 1970. Hanya tiga bulan setelah Bung Karno wafat, Presiden Nasser juga menyusul kembali ke Sang Khalik pada 28 September 1970.
Era Bung Karno dan Nasser dikenal sebagai masa keemasan hubungan Indonesia-Mesir, dan hal itu selalu terungkit setiap pertemuan bilateral kedua negara. Hubungan erat kedua bangsa terjalin sejak Mesir tercatat sebagai negara pertama di dunia mengakui Kemerdekaan Republik Indonesia dari jajahan asing.
Penghormatan pemerintah dan rakyat Mesir kepada Bung Karno diabadikan dalam bentuk nama jalan di ibu kota Negeri Ratu Cleopatra, yang bertulis dalam bahasa Arab dan Inggris, “Syari` Ahmad Soekarno/Ahmed Sokarno Street” di Distrik Agouza, Kairo Barat.
Bung Karno memang memiliki kenangan indah di Negeri Seribu Menara tersebut. Kenangan manis itu tercermin dalam kata-kata terakhir Bung Karno kepada Presdien Nasser saat meninggalkan Kairo menuju Jeddah, Arab Saudi, untuk ibadah Umrah, berbunyi: “Saya berharap bisa bertemu anda kembali dalam waktu dekat”.
Itulah sebabnya presiden pertama RI berkunjung ke Negeri Ratu Cleopatra itu sebanyak enam kali yaitu pada 1955, 1958,1960, 1961, 1964, dan 1965.