Site icon SuaraJakarta.co

Menimbang Kembali Argumen Pro RUU Pilkada

DPRD DKI Jakarta

Ruang Sidang DPRD DKI Jakarta. (Foto: Fajrul Islam)

SuaraJakarta.co – Sudah 15 tahun Indonesia merasakan kehidupan demokrasi setelah berpuluh tahun hidup dibawah bayang-bayang pemerintahan yang membatasi kebebasan dan keterlibatan langsung masyarakat dalam pemerintahan. Masyarakat akhirnya dapat memilih sendiri pemimpin daerahnya dan itu adalah kemajuan kehidupan demokrasi yang luar biasa.

Keputusan pemerintah yang mencanangkan RUU Pilkada agar pemilihan kepala daerah dilaksanakan tidak langsung dan dipilih oleh DPRD menuai kritik oleh beberapa anggota DPR dan masyarakat. RUU Pilkada sudah sejak 2010 disiapkan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sesuai kesepakatan antara Komisi II DPR dengan Kemendagari, RUU Pilkada akan diselesaikan sebelum penyelenggaraan Pemilu 2014. RUU Pilkada terdiri atas 7 bab dan 181 pasal. Dalam RUU ini terdapat dua ketentuan baru yang berbeda secara signfikan dari ketentuan UU No. 32/2004: pertama, pilkada hanya memilih gubernur dan bupati/walikota, sementara wakil gubernur dan wakil bupati/wakil walikota ditunjuk dari lingkungan PNS, kedua, gubernur dipilih tidak lagi dipilih langsung oleh rakyat, melainkan oleh DPRD provinsi. Meskipun RUU Pilkada tersebut pasti akan disahkan, namun ada dukungan dari beberapa fraksi di DPR agar RUU Pilkada tersebut dapat direalisasikan.

Hal yang melatarbelakangi keputusan pemerintah ini adalah untuk menghemat anggaran. Selain itu juga untuk mengurangi kecurangan-kecurangan yang terjadi selama pilkada langsung,seperti money politic dan banyaknya kasus hukum yang menjerat kepala daerah akibat biaya politik yang mahal. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), hingga Januari 2014 sebanyak 318 orang dari total 524 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah tersangkut dengan kasus korupsi. Selain itu, argument lain yaitu dampak konflik fisik horizontal dan vertikal dengan pihak keamanan sejauh ini mengakibatkan 70 orang tewas dalam sejumlah aksi unjuk rasa dan kerusuhan usai pilkada langsung sejak 2005.

Setiap pilihan selalu ada dampak positif dan negatif. Dengan berbagai dampak negatif di atas, bukan berarti menangguhkan dampak positif dari pilkada langsung. antisipasi dan penanganan dampak buruk tersebut, tidak perlu mengubah pemilihan langsung dengan pemilihan tidak langsung. Tetapi kita harus mengatasi ekses, mencegah semaksimal mungkin agar tidak menimbulkan komplikasi dan masalah-masalah baru yang tidak perlu terjadi.

Sebagaimana disebutkan diatas, argumen utama munculnya RUU Pilkada adalah kepala daerah akan lebih baik apabila dipilih DPRD karena biaya untuk menjadi kepala daerah menjadi berkurang. Walaupun pemilihnya adalah pengurus partai, tetap saja persaingan citra melalui iklan dalam berbagai media nasional tetap dilakukan.

Biaya lain yang dianggap dapat dihemat melalui pemilihan tidak langsung adalah biaya ‘serangan fajar’. Seringkali argumentasi ini dibuat dengan membandingkan biaya ilegal guna ‘menyogok’ ratusan ribu atau jutaan pemilih lebih mahal dibandingkan dengan biaya illegal lainya yaitu dengan ‘menyogok’ anggota DPRD. Ini juga bukan alasan yang baik. Secara logika, dalam ‘bertransaksi’ dengan masyarakat pemilih, calon lebih memiliki kontrol terhadap jumlah yang akan dia habiskan. Disamping itu, uang serangan fajar dikeluarkan tanpa kepastian untuk menang.

Bandingkan transaksi uang serangan fajar dengan transaksi dengan partai dan anggota DPRD. Dalam transaksi ini kontrol terhadap jumlah biaya ada di anggota DPRD dan partai. Karena keputusan terpilih atau tidaknya ada ditangan anggota DPRD yang jumlahnya segelintir itu. Apalagi dalam beberapa kasus korupsi melibatkan anggota parlemen, dapat dilihat adanya modus gerakan antar fraksi untuk dapat menggolkan sesuatu melalui parlemen.
Dalam konteks ini bukan tidak mungkin terjadi lelang untuk kandidat kepala daerah penawar tertinggi. Berdasarkan statistik KPK, kasus korupsi oleh anggota parlemen, termasuk DPRD, menduduki peringkat ketiga (75 kasus) setelah swasta (102 kasus) dan eselon I/II dan III (115 kasus). Dari data tersebut dapat disimpulkan terdapat risiko perilaku korupsi anggota parlemen sangat besar. Sebagai tambahan, kalau kita pinjam teori pro pilkada DPRD bahwa biaya tinggi kampanye adalah salah satu sebab utama korupsi, maka anggota DPRD bisa dianggap punya potensi besar korupsi untuk mengembalikan “modalnya” ketika mengikuti pemilihan langsung. Dan tentu saja kekuasaan untuk memilih kepala daerah dapat menjadi “komoditas unggulan”.

Atas dasar itu saya mengambil kesimpulan bahwa teori biaya tersebut kurang berdasar dan tidak menjadikan pemilihan melalui DPRD menjadi lebih menarik. Bahkan dengan fakta korupsi anggota parlemen menduduki peringkat ketiga dalam statistik KPK, risiko permainan uang semakin besar.

Dengan risiko permainan dalam pemilihan yang sedemikian besar, kemungkinan bahwa proses pemilihan ini melahirkan kepala daerah yang baik dan tidak ikut dalam permainan curang kecil. Sebaliknya dengan pemilihan secara langsung. Sudah menjadi fakta bahwa banyak kandidat kepala daerah tidak mengeluarkan biaya besar dan terpilih. Karena mereka merasa mendapat mandat langsung dari rakyatnya. Dan saat ini mereka menjadi harapan banyak anggota masyarakat untuk menjadi pimpinan Indonesia masa depan.

Dengan semakin banyaknya kepala daerah yang demikian, masyarakat umum akan sampai kepada kesimpulan bahwa manfaat jangka pendek dapat uang ‘serangan fajar’ tidak sebanding dengan manfaat jangka panjang mendapatkan pimpinan yang jujur serta amanah. Dengan harapan tersebut, kita saat ini boleh membayangkan bahwa suatu saat nanti, “serangan fajar” tidak akan memiliki pengaruh besar dalam proses pemilihan secara langsung di Indonesia.

Penulis: Wanda Yusuf Alvian, Mahasiswa Institut Teknologi Bandung

Exit mobile version