Oleh: Bambang Prayitno, Founder Jakarta Strategic Forum
SuaraJakarta.co, OPINI – Bagi masyarakat anti-Ahok Jakarta, Pilkada Jakarta yang akan diselenggarakan pada tahun 2017 nanti, masih menyisakan ganjalan dan kegusaran. Kegusaran yang pertama, hampir 60 persen responden puas atas kinerja Ahok, padahal serapan anggaran Jakarta termasuk paling buruk di Indonesia. Pendapat ini seiring dengan kepercayaan publik pada Ahok di Pilkada 2017 nanti. Dimana, survei di dua lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa dari 60 persen pemilih yang sudah menentukan pilihannya, sekitar 49 sampai 51 persen sudah melabuhkan pilihannya pada Ahok. Artinya, ada sekitar 30 persen rakyat pemilih pasti Ahok sebelum tahapan Pilkada dimulai.
Kegusaran yang kedua, saat mesin politik pendukung Ahok lewat wadah relawan bekerja, rakyat anti-Ahok praktis tidak bergerak sama sekali. Hanya beberapa calon yang menggerakkan timnya. Itupun tidak massif dan tak punya lembar evaluasi yang jelas. Hitungan kuantitinya hanya berdasarkan survei. Artinya, gambarannya di setiap titik cuma prosentase, bukan siapa mendukung siapa.
Kegusaran yang ketiga, organisasi Teman Ahok telah sempurna memainkan teknik komunikasi massa. Perayaan pencapaian satu juta dukungan Teman Ahok telah menyasar dua hal; massa dan partai. Berita pencapaian satu juta dukungan itu menyasar psikologi pemilih yang abstain atau belum menentukan pilihannya, yang jumlahnya saat ini sekitar 4 juta. Yang kedua, berita itu memukul psikologi anggota partai. Elit partai anti-Ahok mungkin saja masih percaya diri menanggapi berita itu. Tapi, di kalangan anggota partai, terutama yang berada di posisi cabang atau ranting dan mereka melek media, menggerus cukup dalam kepercayaan diri mereka untuk bekerja dalam Pilkada DKI
Maka, berdasarkan hal itu, saya memberi masukan beberapa hal. Yang pertama, partai-partai penantang Ahok cepatlah melakukan konsolidasi dan menentukan calon terkuat lalu mulai membangun mesin pemenangan. Karakter pragmatisme sebagai karakter lekatan partai harusnya bisa dikikis terlebih dahulu. Jadwal pilkada serentak 2017 nanti yang akan dimulai tahapannya pada pertengahan Februari harus dihitung dengan cermat.
Waktu efektif untuk menentukan calon sudah lewat. Ancang-ancang satu tahun sebagai waktu ideal untuk memasarkan calon, sudah lewat. Maka, setidaknya, di bulan Juli, calon dari partai penantang harusnya sudah pasti dan segera melakukan kerja sosialisasi dan penggalangan dukungan.
Yang kedua, masyarakat yang secara gagasan sudah tak sejalan dengan Ahok, sebaiknya mengurangi mengumbar-umbar berita dan cerita rasis atau konspiratif yang tidak ada dasar kebenarannya. Misalnya soal pentolan Teman Ahok yang ngetuit di twitter sedang di gereja, padahal ia berjilbab. Atau isu bahwa organisasi Teman Ahok yang digerakkan oleh etnis tertentu. Yang pertama, dalam beberapa isu yang disebar dan menjadi viral tersebut, ada konten yang menunjukkan ketidakcerdasan literasi kita dan mengurangi simpati. Yang kedua, isu tersebut justru akan menarik lebih besar gelombang simpati kepada Teman Ahok. Karena bisa jadi, ini permainan ‘playing victim’ yang sedang dimainkan.
Yang ketiga, menguras energi dan perhatian kita, karena kita selalu berputar pada konsolidasi emosi saja, bukan pada konsolidasi kerja. Yang keempat, kelakuan kita yang mengulik-ulik berita-berita hoax dan konyol seperti itu akan membuat gerakan anti Ahok, akan nampak bodoh dan menggelikan. Alih-alih meraup simpati pada masyararakat luas yang notebene masih netral dalam pilihan Pilkada DKI ini, hal-hal semacam ini justru membuat masyarakat malas mendekat atau apatis, bahkan mungkin bisa berbalik menjadi pendukung Ahok. Menjadi apatis akan merugikan kita. Apalagi kalau menjadi pendukung Ahok.
Masukan yang ketiga, kita harus mencermati dua fenomena yang dulu pernah terjadi dan sekarang berulang. Fenomena media komunikasi dan generasi millenial. Komunikasi era sekarang, disamping mudah aksesnya, digunakan oleh anak-anak muda generasi X dan Y sebagai medium paling ampuh untuk melempar gagasan dan saling bertukar pikiran. Dan cerita. Yang kedua, soal generasi millenial.
Ini adalah generasi baru yang memiliki karakter tak sama dengan generasi tua. Disamping mereka sangat ‘native technology’, mereka juga ‘native democracy’. ‘Native democracy’ di era komunikasi modern itu; spontan, partisipatif dan massif. Kuncinya; gunakan media komunikasi seeoptimal mungkin, perbaiki gaya komunikasi yang karakternya ‘young people’, dan bermainlah pada gagasan-gagasan ringan tentang pengelolaan kota. Isu yang dibangun, jangan sampai bertabrakan dengan logika publik.
Yang keempat, menentukan sasaran kerja. Diantara 10 atau 11 juta masyarakat Jakarta, ada sekitar 3 juta anak-anak muda dan setengahnya dari itu adalah pemilih muda dan pemula. Ini tipe pemilih yang memilih berdasarkan perkawanan, kesukaan, narasi sederhana yang gampang dicerna, dan muak pada tata krama politik orang-orang tua. Ini faktor kemenangan yang pernah terjadi pada Pilpres dan beberapa pilkada serentak di tahun 2015.
Kalau mau menggarap segmen pemilih ini, buatlah jala solidaritas untuk mengumpulkan dan menggiring. Perlu wadah, perlu gagasan, perlu tokoh kharismatik. Tiga hal penting ini harus segera dibangun dan dikombinasikan polanya. Pelatihan dan penggalangan kerja kerelawanan juga sangat penting. Karena, praktis, di Jakarta, tidak ada lagi mesin partai yang benar-benar real bisa bergerak dengan optimal.
Yang kelima, kasus hukum Ahok dalam beberapa survei, cukup mempengaruhi elektabilitas Ahok. Terutama soal Sumber Waras. Setiap bulan turun 1-2 persen karena kasus itu. Kalau kasus reklamasi yang sempat diulas Tempo dan menjadi viral, belum ada evaluasinya. Tapi efek dari pemberitaan itu, justru saham Tempo menjadi turun drastis. Dan kita mesti menimbang dengan hati-hati, karena dalam kasus Tempo, semua orang yang disebut namanya dalam Tempo, termasuk Tempo sendiri, punya latar belakang hubungan erat dengan Ahok.
Sekarang kita hitung, apa saja efek dari berita Tempo; kebobrokan Ahok dan tim-nya terbongkar, berita masih sumir tapi meledak. Tapi ingat; Ahok semakin populer. Berhitunglah, agar semua hal ini bukan bagian dari ‘big gimmick’ yang sedang dijalankan. Tapi silahkan saja kalau soal berita Tempo mau serius digarap untuk mendowngrade Ahok. Tinggal nanti kita ukur dalam sepekan ini.
Yang keenam, Ahok sangat percaya diri, karena disamping dia petahana, paling populer, paling banyak didukung kekuatan modal, paling menarik secara pragmatisme bagi partai-partai, paling tinggi elektabilitasnya, juga paling stabil menjaga basis dukungan. Bahkan dukungannya sangat jauh melampaui calon-calon penantangnya. Ridwan Kamil dan Risma berpikir ulang untuk maju menantang Ahok, beberapa pertimbangannya karena itu.
Maka, partai politik, selain mengkonsolidasikan diri secepatnya, juga perlu sekali mengkonsolidasikan beberapa hal yang bisa mengalahkan Ahok. Karakter pragmatis pemilih di rerata daerah, termasuk di Jakarta sama; sekitar 30-40 persen sangat pragmatis. Ini peluang yang menarik dan perlu diseriusi penggarapannya. Pilkada Jakarta mungkin saja bisa dianggap sebagai kontestasi gagasan, tapi untuk konteks Indonesia, Jakarta adalah contoh paling sempurna dari pertarungan politik paling ‘bebas’ dalam sejarah kontestasi.
Yang ketujuh, sebenarnya, aktivis-aktivis rakyat yang pro-poor, bergerak di lingkungan dan lain sebagainya, senafas dengan aktivis mahasiswa yang selama ini anti Ahok. Saya melihat, Ahok praktis tidak didukung oleh ‘penggerak rakyat’. Partisipasi yang mengumpul dalam Teman Ahok, hanya banyak dipantik oleh Ahok sendiri dan figur-figur publik yang tidak punya ikatan secara emosional dengan rakyat, walaupun ketokohannya luar biasa. Kesempatan ini mesti dimanfaatkan dengan baik. Menggalang kekuatan publik figur yang selama ini ogah dengan politik untuk terlibat dalam Pilkada DKI, saya kira bisa merubah peta pemilih dengan sangat signifikan.
Demikian masukan saya. Semoga berguna menuju terpilihnya pemimpin baru Jakarta yang lebih baik.