Site icon SuaraJakarta.co

Menagih Mimpi Undang Undang BPJS

Suarajakarta.co, OPINI – 28 Oktober 2011 nampaknya akan menjadi momentum tak terlupakan bagi negeri ini. Bukan karena Hari Sumpah Pemuda yang tiap tahunnya kerap diperingati sebagai seremoni tahunan. Lebih dari itu, kali ini 28 Oktober bertepatan dengan rencana pengesahan RUU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi Undang-undang oleh DPR. Jika rencana ini terlaksana, maka kelak seluruh rakyat Indonesia yang diikut sertakan secara wajib dalam BPJS di mimpikan akan dijamin kesejahteraan sosialnya dengan iuran mereka sendiri sebagai sumber dananya.

Rabu, 26 Oktober 2011, banyak media menulis bahwa pimpinan DPR bersikeras untuk mengesahkan RUU yang sempat diperpanjang pembahasannya sebanyak dua kali ini , kendatipun masih menyisakan beberapa polemik di dalamnya. Diantara polemik yang banyak disoroti ialah masalah peleburan empat BUMN menjadi satu yaitu Jamsostek, Askes, Asabri, dan Taspen, perkembangan terakhir mengisyaratkan transformasi Askes menjadi BPJS 1, sedangkan Jamsostek, Taspen, dan Asabri menjadi BPJS 2 yang penggabungan ketiganya menunggu lobi dengan pemerintah.

Penolakan datang terutama dari kalangan buruh yang secara tegas menolak opsi transformasi atau peleburan ini. Perwakilan serikat pekerja menilai opsi peleburan BUMN khusunya PT Jamsostek (Persero) hanya akan semakin membatasi peran PT Jamsostek (Persero) sebagai BUMN penyelenggara Jaminan Sosial khusunya bagi para pekerja. Bahkan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) kabarnya telah siap menarik dana JHT di Jamsostek jika DPR tetap meneruskan opsi peleburan ini.

Terlepas dari polemik diatas, yang perlu dicermati pula ialah bagaimana mekanisme pengawasan terhadap penyelenggaraan UU BPJS tersebut setelah resmi disahkan, karena kemungkinan terbesarnya lagi-lagi dewan akan tetap mengesahkannya dalam paripurna sebagaimana terjadi pula dalam beberapa polemik pengesahan RUU sebelumnya, sebut saja RUU APP, Sisdiknas, dan yang terakhir Intelijen. Belajar dari pengalaman tersebut, alangkah baiknya jika kita mulai mengalihkan pandangan pada masalah penyelenggaraan.

Dalam hal pengawasan Pemerintah dan DPR telah bersepakat adanya Dewan Pengawas yang yang berjumlah 7 orang, masalahnya kemudian terletak bagaimana mekanisme pemilihan Dewan Pengawas tersebut. Apakah penunjukkannya akan diserahkan langsung kepada Presiden ataukah harus melalui mekanisme Fit and Proper Test oleh DPR. Namun, apakah ke-7 dewan pengawas tersebut mampu menjamin penyelenggaraan UU BPJS benar-benat transparan, tepat sasaran dan bebas korupsi?

Perlu diingat setelah proses tranformasi selesai, BPJS nantinya akan menjadi lumbung uang yang dikumpulkan dari iuran rakyat (pekerja & perusahaan terutama) yang tentu nilainya akan mencapai Trilyunan rupiah. Dengan demikian, Dewan Pengawas yang akan terpilih nantinya harus dipastikan ialah orang yang amanah dan terlepas dari segala kepentingan politis, jangan sampai dana yang disetorkan dari hasil keringat rakyat hanya dialokasikan untuk membiayai kegiatan politik segolongan elite atau digunakan untuk memperkaya diri sendiri, sebagaimana diduga terjadi pada kasus bailout Bank Century yang belum juga tuntas penyelesaiannya. BPJS nantinya harus mampu di akses oleh semua kalangan dan tidak pilih kasih dalam menjamin masalah sosial rakyat Indonesia.

Kewaspadaan institusi pengawasan dan penegak hukum negeri ini pun rasanya mulai ditingkatkan sedini mungkin mengingat besarnya potensi penyelewengan yang mungkin terjadi dalam BPJS. BPK harus melakukan audit berkala terhadap BPJS dan melaporkan secara transparan mengenai hasilnya kepada publik. LSM, serikat buruh dan para penggiat anti korupsi harus semakin gigih menyadarkan masyarakat untuk berperan aktif melakukan pengawasan dan berani melaporkan kepada KPK sekecil apapun penyelewengan yang terjadi, mengingat setiap rupiah yang dikelola oleh BPJS notabenenya adalah uang hasil keringat mereka.

****

Tulisan diatas merupakan opini Saya pada laman Kompasiana 27 Oktober 2011 silam dengan judul “Jaminan Terhadap Penyelenggaraan UU badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).”

http://www.kompasiana.com/sulaemansaleh/jaminan-terhadap-penyelenggaraan-uu-badan-penyelenggara-jaminan-sosial-bpjs_5508f7bf813311761cb1e207

Opini tentang kekhawatiran mengenai pelaksanaan UU BPJS yang Saya ungkapkan tepat sehari sebelum Rancangan Undang-undang (RUU) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) resmi disahkan menjadi Undang-undang oleh DPR. Sebuah UU yang boleh dibilang hadir guna melengkapi UU Sistem Jaminan Sosial Nasional tahun 2004.

Hampir 6 tahun berselang, kini Saya merupakan salahsatu dari sekian juta rakyat Indonesia yang turut mensukseskan program BPJS (BPJS Ketenagakerjaan) dengan secara sukarela disisihkan sebagian penghasilannya oleh perusahaan tempat Saya bekerja. Disamping itu, tiap bulan Saya juga rutin membayar iuran BPJS Kesehatan bagi anggota Keluarga yang tidak termasuk dalam kelompok penerima upah.

Tiba-tiba Saya teringat tulisan tersebut kembali dan terusik untuk mengulasnya kembali setelah selama sepekan ini tidak kurang sebanyak lima kali Saya harus bolak-balik ke Rumah Sakit demi mengantarkan keluarga berobat, mulai dari anak pertama disusul istri kemudian anak yang kedua.

Sejak pagi hingga sore hari, antrean pasien yang mengular menjadi pemandangan yang lumrah, khususnya di rumah sakit umum milik pemerintah. Suasana Rumah Sakit yang dulu hening kini berubah bak pasar, keramaian orang berebut bicara sesekali diselingi umpatan kekesalan dari pasien maupun petugas rumah sakit yang hilang kesabarannya. Tak jarang juga kita mendengar tersiarnya kabar peserta BPJS yang ditolak oleh Rumah Sakit dengan alasan kamar penuh dan ketiadaan alat kesehatan penunjang, sementara disampingnya pasien non-BPJS melenggang nyaman tanpa berdedsak-desakan, tanpa perlu menangis mengemis kamar perawatan.

Data per 25 Maret 2016 menunjukan jumlah peserta BPJS telah mencapai 164.087.566 jiwa, dengan komposisi sbb ; 63% merupakan Peserta Penerima Bantuan Iuran, 24% merupakan Peserta Penerima dan sisanya merupakan Peserta Mandiri berkisar 13%.

Membeludaknya jumlah Peserta Penerima Bantuan Iuran dan besarnya tunggakan iuran yang tidak dibayarkan oleh masyarakat kerap dijadikan dalih oleh pemerintah dan pengelola fasilitas kesehatan mitra BPJS sebagai penyebab buruknya layanan. Pemerintah kewalahan menutupi defisit operasional yang mencapai lebih dari tujuh triliun rupiah sejak 2014, hingga terpaksa menaikkan besaran iuran bagi peserta layanan kelas dua dan satu per 1 April 2016.

Menanggapi kenaikan besaran iuran BPJS ini, sebagaimana dikutip oleh laman Republika (27/3/16) Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) meramalkan kenaikan besaran iuran BPJS tidak akan berhasil menutupi defisit pemerintah dikarenakan besarnya tunggakan yang tidak dibayarkan oleh peserta BPJS selama ini juga disebabkan oleh tingginya keluhan masyarakat atas buruknya pelayanan yang diterima.Dapat diartikan, bilamana tidak ada perubahan signifikan dalam hal pelayanan BPJS maka permasalahan defisit ini akan menjadi lingkaran setan yang terus berulang.

Di sisi yang lain, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap BPJS Ketenagakerjaan maupun BPJS Kesehatan masih menemukan carut marut dalam pengelolaan keuangan dua lembaga pelaksana UU BPJS tersebut. Audit BPK tehadap BPJS Kesehatan tahun 2015 yang baru saja dilansir 30 Maret lalu melalui laman resmi BPK misalnya, mengungkapkan beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan BPJS Kesehatan yaitu; penetapan sasaran atau target indikator kinerja dan proses evaluasi unit-unit kerja yang masih belum terukur dengan jelas dan memadai, dalam pelaksanaan program BPJS Kesehatan masih terjdapat penurunan rasio biaya pelayanan terhadap pendapatan iuran, yang dapat digunakan untuk memastikan ketersediaan dana dalam pembiayaan pelayanan kesehatan, dan belum adanya sistem verifikasi yang dapat mendeteksi iuran tak tertagih, atau mendeteksi biaya klaim yang lebih tinggi dari yang semestinya.

Tingginya kekecewaan masyarakat atas carut marutnya penyelenggaraan BPJS yang berulang dari tahun ke tahun seolah menafikkan keberadaan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dan dewan pengawas BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan) sebagai bagian dari amant UU SJSN dan UU BPJS. DJSN dan Dewan Pengawas BPJS yang semestinya berperan menetapkan, mengawasi dan mengevaluasi kebijakan strategis jaminan sosial nasional nyaris tidak terdengar perannya. Wajar apabila kekecewaan ini kemudian menimbulkan kecurigaan publik bahwasanya ada yang tidak beres dalam penyelenggaraan UU BPJS dan belakangan ini masyarakat kerap meluapkan kecumburuannya di media sosial ketika mengetahui betapa besarnya gaji pejabat BPJS atau tatkala mendapati karyawan BPJS tengah menikmati liburan di luar negeri.

Alih-alih memberikan jaminan kepada warga Negara untuk mendapatkan pelayanan sosial yang layak, BPJS kini perlahan justru merusak tatanan sosial di masyarakat dengan semakin lebarnya jurang kesenjangan masyarakat. Hari ini seolah rakyat Indonesia dikelompokkan menjadi dua golongan, golongan pengguna BPJS dan golongan non BPJS. Seolah pengguna BPJS ialah kelompok masyarakat “kelas dua” yang tidak layak mendapat prioritas pelayanan, yang ketika sakit cukup mendapatkan layanan kesehatan sekedarnya saja. Seolah pengguna BPJS ialah kelompok masyarakat yang layak diajak bicara dengan muka masam bahkan tanpa dipandang. Fenomena sosial ini tentu sangat jauh menyimpang dari apa yang diimpikan oleh rakyat Indonesia tatkala disahkannya UU BPJS pada 28 Oktober 2011 silam.

Penulis: Sulaeman Saleh, Warga Jakarta

Exit mobile version