Membantah Penerapan Konsep Revolusi Mental

Oleh: DR. H. Abdul Chair Ramadhan, SH, MH, MM. (Komisi Kumdang MUI Pusat & Ketua TAM-NKRI)

SuaraJakarta.co, OPINI – Revolusi Mental yang diusung oleh rezim yang berkuasa sekarang ini ternyata tidak pernah menjelaskan landasan teori apa yang digunakan. Untuk mendapatkan dukungan bagi penguatan Revolusi Mental, kemudian digalakkan konsep Islam Nusantara. Konsep Islam Nusantara juga tidak mengacu kepada doktrin ajaran agama, hanya mendasarkan pada kajian atau klaim budaya.
Padahal antara budaya dan agama (baca: Islam) adalah dua identitas yang berbeda. Dalam banyak kajian ilmiah tentang relasi agama dengan budaya, diketahui bahwa agama adalah faktor berpengaruh (variabel independen) sedangkan budaya adalah faktor yang terpengaruh (variabel dependen), bukan sebaliknya. Hanya orang bodohlah yang membaliknya, walaupun setingkat guru besar sekalipun! Tidaklah mungkin orang yang berpredikat guru besar atau professor membalik apa yang seharusnya tidak dapat dibalik. Pembalikan yang dilakukan bisa jadi karena motivasi simbiosis mutalistik dengan penguasa. Jika ini yang terjadi, berarti kadar intelektualitasnya telah dihargai oleh rezim dan predikat akademiknya diragukan.

Penulis mencermati penggalangan konsep Islam Nusantara dengan konsep Revolusi Mental tidaklah murni didasarkan pemikiran ilmiah, dapat dikatakan kedua konsep tersebut sangat rapuh tidak berdasarkan landasan teoretis dan doktrin agama Islam. Sesuatu yang tidak berlandaskan kebangunan teoretis pastilah implementasinya didasarkan pada pandangan subjektif penguasa. Lihatlah berbagai teori yang tidak didasarkan kepada nilai-nilai agama Islam yang kemudian menjadi ideologi, telah banyak menyengsarakan rakyat dan bahkan melahirkan peperangan. Komunisme yang dikembangkan oleh Karl Heinrich Marx menyatakan bahwa perekonomian dimiliki dan direncanakan oleh negara. Komunisme merupakan sebuah ideologi yang muncul sebagai reaksi dari kapitalisme. Adapun kapitalisme menggambarkan bahwa pada ekonomi pasar terdapat tangan-tangan tak terlihat yang mengendalikan pasar (invisible hand) sebagaimana diajarkan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nation. Kedua ajaran tersebut juga didasari dari pandangan pribadi belaka, tidak ada landasan nilai-nilai ajaran agama Islam. Baik komunisme maupun kapitalisme, keduanya terbukti telah gagal total dalam membawa rakyat pada kesejahteraan.

Konsep negara bangsa (nation state) yang digagas oleh Ernest Renan – dikemukakan pertama kali tanggal 11 Maret 1882 – juga tidak mendasarkan pada eksistensi agama sebagai faktor pembentuk (consttuief element) dari bangsa. Agama hanya dinilai sebagai pendorong. Pada akhirnya, banyak negara-negara di bawah kekhalifahan Ottoman (Utsmaniyyah Turki) memerdekakan diri, lepas dari kekhalifahan. Kondisi itu semakin melemahkan kekhalifahan Ottoman yang pada akhirnya Kemal Ataturk tampil merebut kekuasaan dan menjadikan Turki sebagai negara sekular. Kemal Ataturk pernah mengatakan: “Kebudayaan adalah dasar dari Republik Turki.” Dia bertindak radikal guna menghancurkan perdaban Islam, menghapus syariah Islam dan membubarkan khilafah Islamiyyah.

BACA JUGA  RDP Komisi III DPR RI Tentang Kasus RS Sumber Waras

Begitupun Hitler penguasa Jerman telah menjadikan pandangan pribadinya sebagaimana dikatakan dalam Mein Kamf telah menjadikan ideologi fasisme sebagai dasar negara Jerman. Hitler demikian membanggakan bangsa Arya, sebagai bangsa yang superior di atas bangsa-bangsa lain. Obsesi kekuasaan dan kefanatikannya pada bangsa Arya berujung dan memicu terjadinya Perang Dunia II. Indonesia pada masa penjajahan Belanda, pernah mengalami penindasan pemikiran yang sangat berpengaruh pada masa sekarang.

Pemikiran liberal yang berkembang saat ini tidak lepas dari pemikiran Christian Snouck Hurgronje (1857–1936) dengan teori “receptie.” Teori receptie berawal dari kesimpulan yang menyatakan bahwa hukum Islam baru diakui dan dilaksanakan sebagai hukum ketika hukum adat telah menerimanya. Dapat dipahami bahwa hukum Islam berada di bawah hukum adat karena hukum adat sebagai variabel independen. Oleh karena itu, jika didapati hukum Islam dipraktekkan di dalam kehidupan masyarakat pada hakikatnya ia bukanlah hukum Islam melainkan hukum adat. Teori ini dapat pula dipadankan dengan sebutan “teori penerimaan.” Melalui Indische Statsregeling (IS) yang diundangkan dalam Stbl.1929, disebutkan bahwa hukum Islam dicabut dari tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS tahun 1929 berbunyi: “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam, akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi.” Penindasan terhadap hukum Islam ini dipengaruhi oleh pemikiran Christian Snouck Hurgronje. Kemudian, teori receptie ini mendapat bantahan keras dari pemikir Islam Indonesia, yakni oleh Hazairin (1906–1975), dikatakan olehnya teori receptie adalah “teori Iblis”, karena bertujuan untuk menghapus hukum Islam. Selanjutnya Hazairin mengemukakan teori receptie exit, maksudnya bahwa teori ini harus exit (keluar) dari teori hukum nasional Indonesia karena bertentangan dengan UUD 1945 serta bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Sejarah memang akan terulang, apa yang terjadi pada masa lalu akan kembali hadir pada masa sekarang. Pemikiran “teori Iblis” pada masa kolonial kini hadir dalam bentuk Islam Nusantara, yang lebih menekankan pada aspek budaya daripada ajaran Islam. Pengembangan budi pekerti yang dikenal dalam Islam dengan akhlak ingin digantikan dengan konsep Revolusi Mental yang disinyalir sangat dekat dengan pemikiran Karl Heinrich Marx. Konsep Revolusi Mental dan konsep Islam Nusantara juga sangat dekat dengan Revolusi Kebudayaan China. Revolusi ini digerakkan oleh Mao Zedong untuk mengembalikan China kepada ajaran “Maoisme”. Revolusi Kebudayaan merupakan kelanjutan dari adu kekuatan antara aliran dogmatisme dengan pragmatisme.

BACA JUGA  Ekonomi Kampung (M-udik)

Lalu apa landasan teori Revolusi Mental yang diusung oleh Jokowi? Penulis berpendapat bahwa lansadannya mengacu kepada teori kebudayaan (cultuurnatie theorie) yang menyatakan bahwa bangsa merupakan perwujudan persamaan kebudayaan, persamaan bahasa, persamaan keturunan dan persamaan agama. Persamaan yang tersebut terakhir, yakni persamaan agama inilah yang kemudian melahirkan konsep Islam Nusantara dan Fikih Kebhinekaan. Jika semua agama dianggap benar dan baik, maka agama Islam adalah sama dengan agama-agama yang lainnya. Dampaknya, syariat Islam harus ‘didudukkan’ sejajar dengan ajaran agama yang lain. Konsep inilah yang diberlakukan oleh Kemal Ataturk, sang Penghianat Islam. Revolusi Mental juga sama dengan Revolusi Kebudayaan ala Mao Zedong. Revolusi Mental yang terlalu membanggakan Nusantara dengan menjauhkan diri dari konsep khilafah Islamiyyah adalah juga warisan pemikiran Karl Marx , Snouck Hurgronje dan Hitler!

Tentu kita tidak ingin penindasan kepada ajaran Islam akan kembali terulang, jika ini yang terjadi maka rezim bukan saja telah menghianati konstitusi tetapi juga telah melakukan makar kepada Allah SWT. Mengambil sistem ajaran di luar Islam untuk kemudian diterapkan kepada umat Islam dengan cara menjadikan budaya sebagai variabel independen, sedangkan hukum Islam sebagai variabel dependen adalah bukti makar kepada Allah SWT. Umat harus berupaya menentang dengan menyatakan konsep Revolusi Mental dan konsep Islam Nusantara harus keluar (exit) dari Indonesia, karena bertentangan dengan UUD 1945 serta bertentangan dengan al-Qur’an dan al-Hadits. Tampilah Hazairin – Hazairin baru demi perjuangan membela kemuliaan Islam dan eksistensi NKRI, Allahu Akbar.

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles