Site icon SuaraJakarta.co

Mahasiswa ‘’Pelacur’’

Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Mualimin, Ketua Umum HMI Komisariat Al Azhar, Ketua DPC PERMAHI Jakarta & Penulis Muda FLP Jakarta

Ketika gerakan rasionalisme “membombardir” otoritas keagamaan Eropa, lebih dari separo orang Kristen “murtad” dan mengibarkan bendera Perang melawan Tuhan. Pada abad pertengahan, orang – orang mulai berfikir keras tentang pemisahan (sekuler) antara mana urusan dunia dan alam yang dianggap “khayalan” (akhirat – agama).

Setelah itu, dalam perjalanannya, manusia teramat bangga menggenggam teknologi untuk menebar modernisme disegala bidang. Pasca dibentuknya WTO, lewat perjanjian pasar bebas, investasi modal, ekspor kosmetik, rekayasa trending mode dunia hingga “serbuan” celana dalam harga murah dari China membanjiri negara – negara yang dianggap pasar. Akhirnya negara – negara seperti Mesir, Nigeria dan Indonesia ekonominya “babak – belur” diterjang kapitalisme, bahkan dibidang religi dan kebudayaan pun tidak digdaya.

Dari dikotomi cara berfikir yang sekuler, muncul perspektif bahwa yang modern adalah kuliah dikampus non – UIN, STAIN, UKI atau apalah yang ada embel-embel agamanya. Pakaian kalo gak jeans gak anak muda. Sarjana mencari kerja kalo gak rok nya diatas dengkul tidak elit. Tempat ibadah dianggap “berguna” saat manusia terpuruk dan gagal dalam pengejaran kesuksesan hidup.

Didunia mahasiswa pun sama saja. Mereka antusias mendaftar pada kontes – kontes yang mengedepankan apa yang menjadi selera industri kapital. Dengan cara yang tidak menyinggung kaum agama “wajah” mereka dipoles se-islami mungkin. Maka histerislah mahasiswi – mahasiswi tatkala mengikuti kontes – kontes hijab atau pencarian model berbakat lainnya. Padahal semua itu motif utamanya adalah satu, kecantikan dan keindahan. Maka bagi yang merasa jelek silahkan ambil kantong kresek dan segera tutupi kepalamu!, lalu larilah jauh – jauh dan jangan pernah setitikpun – sedetikpun dalam hatimu berani mencoba punya harapan untuk masuk ke “forum” pencarian “pelacur” itu lagi.

Jelas kontes atau ajang semacam itu ditujukan untuk memuaskan nafsu pemodal. Karena perburuannnya didunia kampus maka dikasih embel – embel kontes “hijab” atau bintang iklan apalah itu. Padahal sejak kapan hijab diperlombakan? Kenapa gak sekalian lomba / kontes bikin sampul Al-Quran paling artistik sedunia saja biar pahalanya berlipat-ganda? Jangan – jangan itu semua awal dari prostusi dunia gambar (pornografi)?. Prostisui kelas atas atau majalah dewasa lazim berawal dari kontes fisik (kecantikan badaniah) yang akhirnya semakin jelas arahnya menuju eksploitasi tubuh. Dan ketika ketika “binatang – binatang” buruan itu berhasil didapat, tepuk – tanganlah mereka “babi-babi” kapitalis mendapatkan objek “sapi perah” yang mendatangkan pundi – pundi dollar bagi mereka.

Kesamaan ini juga didapati dalam dunia kampus, fenomena dunia intelektual ditandai dengan sikap “melacur” yang menggejala dalam kehidupan mahasiswa. Entah itu berupa “melacur” politik, “melacur” perkuliahan, “melacur” idealismenya hingga benar – benar pelacur yang kerjanya mengangkang sebagai call girl. Pelacur politik biasanya bersikap seolah – olah kritis yang setiap saat siap turun ke jalan meneriaki pejabat yang tidak becus memperjuangkan nasib rakyat. Tapi seringkali itu semua hanya topeng dan kepura-puraan. Buktinya ada beberapa aktivis pergerakan masuk bui gara – gara penggelapan dana dari pemerintah. Memang terlihat gagah “pelacur” politik ini, ciri dari pergerakan mereka biasanya ditandai dengan “tangan kanan mengepal mengutuk pejabat yang tidak becus mensejahterakan rakyat” dan “tangan kiri memegang proposal dana”.

“Pelacuran” mahasiswa perkotaan banyak motifnya. Mulai dari karena uang, nilai kuliah, demi gaya hidup hingga demi operasional organisais termasuk perkaderannya. Entahlah fenomena macam apa yang melanda anak muda zaman ini. Untuk mengikuti seminar yang jelas – jelas itu bertabur ilmu saja mereka tidak mau. Gratis saja mereka malas apalagi forum keilmuan yang mesti bayar. Masa iya untuk mendatangkan peserta seminar mesti dirayu pake uang? Kita ini masih mahasiswa tapi kenapa sangat matrealis? Punggung kita ini dipenuhi harapan perubahan oleh 250jt rakyat Indonesia, tapi kenapa kita semalas ini? Pantas saja banyak pejabat yang membawa lari uang rakyat, kaum intelektualnya saja pragmatis tingkat dewa begini.

Banyak lembaga penegak hukum didirikan. Forum – forum kajian pemecah persoalan bangsa digelorakan. Tak henti – hentinya “toa speaker” masjid meneriakkan kemunafikan struktural yang menggerogoti birokrasi, ramai – ramai kaum agamawan mengutuk kemiskinan dan kemerosotan moral dimana-dimana. Tiap tahun jutaan “bebek – bebek” terdidik mendaftar menjadi mahasiswa. Tapi hasilnya apa? Banyak koruptor kita tangkap tapi disisi lain peruruan tinggi juga memproduksi “penjahat-penjahat” baru. Banyak polisi kejar – kejaran membekuk begal tapi disisi lain Universitas – universitas mencetak “perampok” uang rakyat. Ini mirip lingkaran setan yang “sakit” dan melelahkan. Ini sutau pola kehidupan bangsa yang tolol dan menguras keringat. Jadi siapa yang salah?

Andai saja mahasiswa sekarang mau sadar dan berubah. Bahwa dibidang apapun “pelacuran” adalah sikap terkutuk yang berbahaya bagi peradaban. Dunia kerja itu kan harusnya dunia yang profesional. Penerimaan kerja harusnya berdasarkan kemampuan intelektual atau keahlian pelamar. Sebuah Kantor hukum harus menerima sarjana hukum yang pandai menganalisa atau memecahkan kasus – kasus hukum. Lembaga akuntan publik harus menerima sarjana ekonomi yang pandai mengkalkukasi untung – rugi finansial. Perusahaan film harus menerima sarjana perfilman yang pandai “berpura- pura” sesuai dengan naskah yang akan diperankan.
Jika keharusan – keharusan diatas dikangkangi dan dipalsukan, ya gempar dunia pendidikan tinggi. Orang merasa tidak harus pandai akting karena dengan membuka “BH” setengah sambil menyingkap rok saja diterima di industri entertainment. Orang merasa tidak harus mempunyai sertifikat mengajar dan kemampuan mendiidk untuk menjadi guru karena sekolahnya milik pamannya sendiri. Orang merasa tidak perlu pandai menguasai bahasa arab dan ketajaman analisa konteks kesejarahan Nabi Muhammad untuk berdakwah agama, karena pakai sorban dan sok bicara kebenaran sedikit saja sudah dipanggil ustadz. Apalagi kalau pembawaannya menarik dan disukai pemirsa TV. Kebanyakan ustadz sekarang kebesaran namanya sudah sangat ditentukan seberapa mampu dia mengerek rating suatu acara TV. Artinya sudah bukan bicara seberapa dalam ilmu agamanya, tapi seberapa menarik dia bagi penikmat acara TV. Dan ketika itu terjadi apa bedanya dia dengan pelacur yang mangkal malam-malam sambil menampakkan keseksian tubuhnya dihadapan lelaki hidung belang?

Kalau saja pendakwah, guru, advokat dan profesi lainnya memilih menjadi “pelacur”, apalagi mahasiswa? Mahasiswa sebagai kaum dengan kemampuan finansial lemah dan tidak mandiri jelas sangat mudah digoyang oleh tawaran-tawaran menggiurkan. Jadi tidak usah repot – repot mengutuk wanita yang hanya bermodalkan pangkal paha lalu dapat jatah peran utama dalam suatu pembuatan film. Aktivis yang katanya memperjuangkan Idealisme saja sudah tak tahan goda realistisme. Dalam konteks HMI, boleh saja suasana perkaderan dibuat sedemikian akrab dengan diskusi dan suara-suara kebenaran, tapi semua itu hanya akan menjadi “sampah” manakala praktik sehari-hari mereka mengandalkan eksistensi perjuangan organisasi dari proposal. Bicara kebenaran akan menjadi munafik tanpa kemandirian. Bicara kebebasan akan menjadi penindasan tanpa indepensi diri.

Exit mobile version