Oleh: Bambang Prayitno
SuaraJakarta.co, JAKARTA – Saya ingin sedikit bercerita. Semacam side story. Sisi lain dari kejadian di tanggal 17 dan 18 Agustus 1945. Cerita lain yang tidak hanya menjadi pelengkap, tapi juga turut menjadi penentu dari perjalanan republik muda bernama Indonesia.
Kisah ini bermula dari seseorang yang bernama Adam Malik Batubara. Kita tahu semua. Beliau adalah mantan Wakil Presiden kita yang ke-3 yang diangkat pada 1978. Tapi bukan tentang pernak-pernik jabatan Wakil Presiden, cerita ini.
Kejadian ini jauh sebelum itu, ketika Adam masih berusia 28 tahun. Tepat di hari pembacaan Proklamasi. Jumat pagi pukul 10. Di jalan Pegangsaan. Waktu itu Adam Malik masih berprofesi sebagai wartawan dan pimpinan Domei Indonesia, sebuah kantor berita yang cukup terkenal di Jakarta kala itu.
Selain berprofesi sebagai wartawan, Adam Malik juga seorang aktivis. Dia dan kawan-kawan aktivis muda pergerakan biasa berkumpul di Menteng 31. Di situlah, kawan-kawan pejuang melakukan rapat menjelang detik-detik kemerdekaan.
Di zaman itu belum ada SMS, Telepon, Facebook dan Twitter. Alat komunikasi untuk menyebarkan berita pada saat itu adalah radio dan surat kabar. Juga lewat surat menyurat. Radio dianggap paling canggih karena bisa menjangkau seluruh belahan dunia dalam hitungan detik dan menit.
Tapi waktu itu, radio masih jadi barang mewah. Tidak banyak orang yang punya. Hanya orang-orang kaya yang punya. Atau organisasi pergerakan. Itupun jadi inventaris bersama. Kolektif. Mendengarnya mesti beramai-ramai.
Kalau ada berita penting atau pidato dari para pemimpin pergerakan, para pejuang dan rakyat berkumpul beramai-ramai mendekatkan telinganya ke sisi radio, untuk mendengar dengan jelas apa yang disampaikan. Lalu secara spontan, menanggapinya dengan teriakan penyemangat perjuangan; “Merdeka”.
***
Ketika Hiroshima dan Nagasaki dibom oleh Sekutu dan Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, berita kekalahan itu samar masuk ke Indonesia. Tidak banyak orang yang tahu. Di samping faktor bahasa, juga jarangnya orang yang mendengar radio secara intens.
Salah satu yang mendengar kabar menyerahnya Jepang, adalah Adam Malik. Mungkin karena profesinya yang wartawan yang memasang telinga di mana-mana. Adam Malik dengan meyakinkan, menyampaikan berita ini di Menteng 31 yang saat itu dihadiri para pemuda.
Beberapa saat sebelum itu. Di lain tempat.
Untuk kalian ketahui, di Jakarta sendiri sebenarnya ada satu stasiun radio milik Jepang yang ada di Jakarta, namanya Radio Hoso Kyoku. Pimpinan radio tersebut adalah perwira Jepang. Tapi staf dan penyiar-penyiarnya, adalah anak-anak muda Indonesia.
Di tempat itu, ada seorang penyiar radio yang bernama Yusuf Ronodipuro. Waktu itu, Yusuf baru berusia 26 tahun. Yusuf dikenal gaul dan pintar bahasa Inggris. Mungkin kalau sekarang, seperti Gofar Hilman atau Mehandra Desta.
Para staf stasiun radio, termasuk Yusuf, sangat heran, karena beberapa hari ini, siaran luar negeri Radio Hoso Kyoku seperti dimatikan. Di banned atau ditakedown kali ya, kalau istilah sekarang. Oleh atasannya, Yusuf kemudian diperintahkan ke Menteng 31 untung mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Rupanya, di Menteng 31 sedang ada rapat besar. Pesertanya anak muda semua. Ada Sukarni dan Adam Malik. Sukarni memoderatori pertemuan dan semuanya sedang khusyuk mendengar cerita Adam Malik tentang menyerahnya Jepang. Tentu saja berita itu disambut gegap gempita. Ada desir, luap dan ledakan semangat.
Dasar anak muda. Pikirannya taktis. Juga brilian. Mereka berkesimpulan bahwa alat komunikasi adalah alat penting yang harus segera dikuasai untuk mengantisipasi peristiwa kedepan yang akan terjadi di republik ini.
“Saatnya kita kuasai stasiun radio Jepang”, kata Sukarni.
Yusuf yang datang dan berada di belakang massa rapat, unjuk diri. Dia lalu dipanggil oleh pimpinan rapat untuk merencanakan sebuah rencana besar; bagaimana para pejuang kemerdekaan bisa merebut stasiun radio Hoso Kyoku yang saat itu setiap sudutnya masih dijaga Kampetai Jepang.
Rencana disusun. Dengan waktu eksekusi yang belum ditentukan.
Yusuf kembali ke aktivitasnya sebagai penyiar. Semua kembali mengalir ke aktivitas masing-masing. Adam Malik terus di lapangan mencari berita. Sukarni dan para pemuda pemimpin pergerakan lain terus intens melakukan rapat menentukan kapan Proklamasi Kemerdekaan dibacakan.
Hingga datanglah 17 Agustus 1945. Sukarni dan Adam Malik terlibat dalam peristiwa Proklamasi. Karena mereka memang intens berkumpul di Menteng 31 dan update dengan perkembangan.
Saat Jumat bersejarah itu, Adam Malik berada di kerumunan massa dan para tokoh, untuk meliput berita. Sukarni, kita tahu sendiri; dia salah satu tokoh pemuda yang namanya melekat dalam peristiwa kemerdekaan, karena ikut menculik Sukarno dan Hatta dan membawa ke Rengasdengklok, demi memaksa pemimpin bangsa ini memoklamirkan kemerdekaan.
Sementara Yusuf Ronodipuro sendiri saat itu tidak mendengar kabar tersebut, karena para staf Stasiun Radio Hoso Kyoku sejak hari Rabu (15 Agustus) sudah tidak diizinkan untuk masuk atau keluar stasiun radio tersebut. Semuanya ada di dalam lingkungan stasiun Radio yang berpagar dan dijaga Kampetai.
Benar-benar terputus komunikasi.
***
17 Agustus 1945. Sesaat setelah pembacaan teks Proklamasi oleh Sukarno dan Hatta.
Rupanya insting Adam Malik bekerja. Di kepalanya hanya ada satu agenda; “sebagaimana berita kekalahan Jepang yang dengan segera tersebar ke seluruh dunia, begitu juga dengan kemerdekaan republik ini. Bagaimana caranya berita kemerdekaan itu tersebar ke seluruh penjuru dunia”.
Maka, dengan cekatan digandakanlah Teks Proklamasi yang sudah dibaca Sukarno barusan, lalu di bagian bawah kertas, ditulislah kalimat singkat;
“Harap berita terlampir disiarkan”.
Lalu, Adam Malik segera mencari beberapa orang. Salah satu yang dia kenal, seorang pemuda bernama Syahrudin. Kepada Syahrudin, Adam Malik cuma berpesan singkat;
“Cari Yusuf di stasiun Radio Hoso Kyoku, dan berikan kertas ini”.
Tanpa menunda waktu, siang itu juga Syahrudin menuju Hoso Kyoku. Tapi Hoso Kyoku, seperti cerita di atas, benar-benar dijaga ketat. Pasukan Kampetai berdiri bagai patung di pintu gerbang. Syahrudin tetap bertekad masuk. Tapi dia memutuskan menunda hingga gelap turun.
Syahrudin tidak sedang menjadi anak senja yang menunggu matahari tenggelam dengan meminum kopi dan menyanyikan lagu sendu. Dia terus terjaga mencari celah dan kesempatan untuk bisa berada di dalam gedung stasiun.
Dia lalu memutuskan memutar dan masuk lewat belakang. Karena penjagaan di belakang lebih longgar.
Dan kesempatan itu akhirnya tiba. Saat Maghrib tiba, Syahrudin kemudian mengambil kesempatan untuk meloncati tembok dan mengendap masuk ke gedung. Berjumpa dengan staf stasiun radio, Syahrudin kemudian menceritakan misinya. Segera saja, dia dipertemukan dengan Yusuf.
Yusuf membaca kertas pesan Adam Malik sekilas. Mungkin dia terkenang peristiwa sebelumnya tentang rencananya bersama Adam Malik dan Sukarni. Tak banyak berdiskusi, dia segera menuju ruangan tempat siaran radio ke luar negeri.
Tapi, rupanya, seluruh kabel telah dicabut dan alat telah dimatikan. Tak kekurangan akal, Yusuf segera meminta teknisi untuk memperbaiki alat penyiar radio. Sekitar pukul 7 malam, siaran siap dilakukan.
Dan dalam 20 menit kemudian, setelah alat berfungsi, Yusuf dengan bahasa Inggrisnya yang fasih segera mengabarkan kepada dunia tentang kemerdekaan Indonesia. Tak cuma ke Asia, tapi siaran radio pada saat itu memancar ke Eropa dan Amerika.
***
Rupanya, di Jepang sana, para petugas yang sedang bertugas memantau berita mendengar berita yang disiarkan Yusuf. Dari Jepang, mereka segera mengabarkan lewat telegram ke Jakarta bahwa ada orang yang telah menggunakan alat siaran luar negeri Radio Hoso Kyoku.
Tentu saja, Komandan Pasukan Kampetai di Jakarta yang bertugas tak percaya. Karena gerbang kan di jaga ketat. Ada anak buah yang sudah ditugaskan sejak beberapa hari lalu. Tapi petugas di Jepang sana memaksa. “Kita kebobolan”, katanya.
Akhirnya, dalam hitungan berbelas menit, gedung dan wilayah stasiun radio didatangi sepasukan Kampetai dari markas utama. Setelah penggeledahan dan pemeriksaan ke ruangan siaran, benarlah apa yang dikatakan petugas di Jepang. Seseorang telah dengan berani mengaktifkan alat penyiar berita.
Syahrudin, Yusuf dan para staf yang terlibat ditangkap. Mereka diinterogasi dan disiksa hingga menjelang tengah malam.
Akibat siksaan tersebut, salah satu tempurung lutut Yusuf hancur. Dia tidak bisa berjalan. Sebagian besar giginya pun rontok dihantam popor, lars dan alat penyiksa lain. Kondisi Yusuf paling parah dibandingkan yang lain.
***
Menjelang tengah malam, pimpinan pasukan Kampetai yang ditugaskan menginterogasi Yusuf dan kawan-kawan, memutuskan untuk memancung mereka semua.
Yusuf dan yang lain dibawa ke lapangan di belakang gedung. Ketika akan dipancung, perwira Jepang yang menjadi kepala stasiun radio mencegah. Dia katakan kepada Komandan Pasukan Kampetai agar dibebaskan saja Yusuf dan kawan-kawan.
Jepang sudah kalah. Berita sudah tersebar. Kemerdekaan Indonesia sudah dikumandangan. Buat apa lagi.
Selain karena alasan itu, sebenarnya ada alasan personal kenapa perwira Jepang itu meminta Yusuf dan kawan-kawan dibebaskan.
Rupanya, Yusuf dan perwira Jepang itu menjalin perkawanan. Mereka sering duduk santai berdua mendengarkan lagu klasik ketika waktu istirahat kerja telah tiba. Perwira Jepang itu tidak tega sahabatnya mati di hadapannya.
Maka kemudian, semua orang dibebaskan.
Yusuf mengambil sepeda dan menaiki segera. Tapi, karena tempurungnya sudah pecah, ia tak dapat mengayuh dengan sempurna. Hanya mampu mengayuh seperempat putaran. Tak apa, yang penting ia bisa segera tiba di RSCM.
Tujuannya satu; mengobati lutut dan giginya yang hancur.
Jarak stasiun radio dan rumah sakit yang jauh, menyebabkan Yusuf tak mampu melanjutkan kayuhannya. Waktu itu sudah tanggal 18 dinihari. Hari sudah gelap sekali. Hampir tak ada orang yang ia temui di jalan.
Yusuf kemudian memutuskan mampir dan beristirahat ke rumah salah satu kawannya. Ia akan menumpang tidur di situ menunggu esok pagi tiba. Yang penting dia sudah selamat. Itu saja dulu.
Rumah kawan yang dia tumpangi istirahat itu, kita kenal semua. Namanya Basuki Abdullah. Ya, sang maestro pelukis Indonesia itu. Dialah kawan Yusuf yang menolongnya pada peristiwa sulit malam itu.
Kelak, sebagai tanda persahabatan antar keduanya, Yusuf diberikan banyak koleksi lukisan oleh Basuki yang kini nilainya puluhan miliar rupiah.
***
18 Agustus 1945. Saat pagi tiba, Yusuf akhirnya bisa sampai di RSCM dan ditemui langsung oleh Abdulrahman Saleh, salah satu petinggi rumah sakit yang kemudian merawat Yusuf.
Dalam sepekan perawatan di rumah sakit, Yusuf banyak berdiskusi dengan Abdulrahman Saleh. Dari diskusi keduanya, terbetiklah ide untuk membuat radio yang bisa menyiarkan pidato penyemangat kepada para pejuang di seluruh tanah air.
Maka Abdulrahman Saleh kemudian meminta staf rumah sakit membersihkan sebuah ruangan di sebelah kamar mayat rumah sakit. Untuk diubah fungsinya sebagai studio siaran radio. Dari mana alat-alat siarannya dirakit? Dari perkakas elektronik radio bekas yang dikumpulkan.
Sepekan di Rumah Sakit, Yusuf dan Abdulrahman mendirikan radio. Mereka kemudian menamakan radio tersebut dengan nama Radio Suara Indonesia Merdeka. Atau The Voice of Free Indonesia.
Pada saat siaran perdana, 25 Agustus 1945, Sukarno diminta menyampaikan siaran pidato. 5 hari berselang, Hatta juga diminta untuk melakukan siaran.
Kelak, beberapa minggu kemudian, dengan kolaborasi Yusuf, Abdulrahman Saleh dan pegiat radio seluruh daerah, radio rintisan ini kemudian berubah nama menjadi Radio Republik Indonesia (RRI). Pada saat awal berdiri, 11 September 1945, Yusuf Ronodipuro kemudian didapuk menjadi Kepala RRI.
Berbilang tahun kemudian, dua orang ini, Yusuf Ronodipuro dan Abdulrahman Saleh, digelari sebagai pendiri Radio Republik Indonesia.
***
Ada sedikit cerita dari Sukarno dan Hatta tentang radio rintisan The Voice of Free Indonesia.
Keduanya sempat protes kepada Yusuf, kenapa ruangan tempat siaran bersebelahan dengan kamar mayat. Dan yang menyebalkan bagi Sukarno dan Hatta, kenapa satu-satunya jalan untuk memasuki ruangan radio harus melalui kamar mayat.
Tak cukup sampai di situ, Sukarno dan Hatta bertambah-tambah jengkelnya karena mereka mesti mengikuti perintah Kepala Radio untuk datang setelah petang tiba saat siaran. Melewati kamar mayat sendirian di saat petang. Apa yang dipikirkan Yusuf?
Ohya. Ada satu lagi kejengkelan Sukarno dan Hatta kepada Yusuf dan Abdulrahman. Stok baju mereka pada saat itu terbatas. Sementara teknologi penyimpanan jenazah pada saat itu menggunakan bahan yang baunya bisa lengket di pakaian hingga berhari-hari.
Setiap pulang dari ruangan tersebut, mereka harus mencuci baju, untuk menghilangkan zat kimia yang menempel di pakaian mereka.
Tapi, memang Abdulrahman dan Yusuf punya alasan yang masuk akal kenapa radio dioperasikan di ruangan sebelah kamar mayat.
Karena, kata mereka, tidak bakal ada orang yang menyangka bahwa di samping kamar mayat, bakal beroperasi sebuah radio yang mengabarkan gelora dan semangat perjuangan kepada para pejuang di tanah air.
Strategi dan alasan jitu. Tapi tetap saja menjengkelkan.
***
Kisah ini diceritakan dengan runut dan penuh canda oleh seorang senior yang kebetulan berjumpa dengan saya dan makan malam pada 18 Agustus ini. Namanya Irawan Ronodipuro. Alias Mas Iro. Beliau adalah anak dari Yusuf Ronodipuro.
Ya, benar. Yusuf yang ada dalam cerita di atas. Orang yang berperan besar menyebarkan berita kemerdekaan negara kita.
Saya menjura kepada ayahnya. ‘Hormat-grak’ kepada ayahnya yang telah menjadi bagian dari para pejuang yang memerdekakan Indonesia. Sore ini, saya mendapatkan banyak pelajaran dari cerita lain tentang kemerdekaan bangsa ini.
Terima kasih sudah bercerita kepada saya, mas Iro.
Pacific Place, 18 Agustus 2020. Senja.
Bambang Prayitno