Oleh : Direktur Kairos Institute Hafiz Narazaky, S.H., M.H.
SuaraJakarta.co, JAKARTA – Masih segar dalam ingatan kita, Presiden Joko Widodo berpidato dalam Pelantikannya sebagai Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Adapun salah satu isinya adalah menginginkan agar dibuat sebuah undang-undang Cipta Lapangan Kerja, sebuah undang-undang yang bertujuan untuk mempermudah investasi dan membuka lapangan kerja. Di hadapan sidang MPR, Presiden menyampaikan kegelisahan akan rumit dan tumpang tindihnya regulasi perizinan dan investasi di Indonesia, Dimulai dari proses perizinan usaha yang pengurusannya memakan waktu relatif lama hingga pengurusannya yang harus melalui berbagai macam lembaga. Dalam pokok pidatonya, Presiden mengajak parlemen untuk bersedia berpartisipasi dalam pembuatan undang-undang tersebut yang akan dibuat dengan metode omnibus law.
Metode tersebut umumnya digunakan oleh negara-negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon seperti Amerika Serikat, Irlandia, Inggris, dan negara-negara persemakmurannya serta beberapa negara lain. Secara etimologi, omnibus berasal dari bahasa latin yang berarti “untuk semuanya”. Sementara dalam Black Law Dictionary Edition Bryan A. Garner disebutkan omnibus : relating to order dealing with numerous object or item at once : including many thing or having varius pupose. Dapat disimpulkan, bahwa metode tersebut merupakan metode yang dapat menyelesaikan berbagai pengaturan sebuah kebijakan tertentu dalam satu buah undang-undang. Di Indonesia sendiri, metode tersebut merupakan metode yang baru dan belum pernah digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang cenderung menganut sistem hukum Eropa Kontinental.
Pada tanggal 2 November 2020, DPR bersama-sama dengan Pemerintah resmi mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan metode omnibus yang merubah dan mengahapus setidaknya 78 undang-undang. Di kemudian hari, kehadiran undang-undang a quo menuai polemik di kalangan ahli dan masyarakat, dengan banyaknya pasal-pasal dari undang-undang yang dihapus dan diubah. Terlebih polemik yang sangat mendasar adalah metode yang digunakan bukanlah metode yang diatur dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan “ketentuan lebih lanjut tentang tata cara pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang”. metode tersebut tidak tercantum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 jo Undang-Undang Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Atas dasar itu lah Hakiimi Irawan Bangkid Pamungkas CS mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar kepada Mahkhamah Konstitusi, yaitu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menurut pemohon, undang-undang a quo bertentang dengan Undang-Undang Dasar 1945 baik secara materil maupun formil pembentukan peraturan tersebut. Yang dikenal dengan Perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020.
Dengan sumber kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 24C ayat (1) menyatakan “Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus pemburan partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”, Mahkamah Konstitusi memeriksa uji formil dan materil dari Permohonan Pengujian Undang-Undang di atas. Di samping itu, kewenangan MK juga diperkuat dengan Pasal 51 A ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi “dalam hal permohonan pengujian berupa pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan”. Perubahan UU MK tersebut memberikan ruang bagi MK untuk dapat menerima permohonan uji formil pembentukan Peraturan perundang-undangan.
Pada tanggal 25 November 2020, Hakim Mahkamah Konstitusi membacakan putusan perkara Nomor 91/PUU-XVIII/2020, perkara pengujian Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menariknya Majelis menyatakan Permohonan Pemohon Inskonstitutional Bersyarat. Pada pokok permohonan angka 3 hakim menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat bersyarat sepanjang tidak dimaknai “ tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan”
Majelis menganggap bahwa UU tersebut tidak sesuai dengan metode Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang diatur dalam UU 12 tahun 2011 jo UU 15 Tahun 2019. Maksud dengan syarat adalah dalam 2 tahun semenjak putusan tersebut dibacakan, UU 11 tahun 2020 harus diperbaiki metode pembentukannya. Tanggal 16 Januari 2022, DPR RI mengundangkan perubahan kedua UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Metode Omnibus Law diakomodir dalam pasal 42 A pada UU a quo. Merujuk kepada asas non-rektroaktif yang termuat dalam pasal 101 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011, menjelaskan bahwa perubahan yang baru tidak meniadakan hal-hal yang diatur pada Undang-Undang yang lama, sepanjang tidak bertentangan. Dalam perubahan terbaru UU 12 tahun 2011 dengan adanya metode Omnibus Law, tidak secara otomatis metode pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja diakui.
Putusan MK pada pengujian UU a quo yang menyatakan Inkostitusional Bersyarat merupakan putusan yang jarang terjadi dalam pengujian undang-undang di MK. Umumnya putusan Mahkamah Konstitusi dalam judicial review dikenal 3 jenis putusan, yaitu;Menolak yang berarti undang-undang yang diuji dinyatakan konstitusional, Mengabulkan yang berarti undang-undang yang diuji dinyatakan Inkonstitusional, dan yang terakhir yaitu Tidak Dapat Diterima yang mana permohonan pemohon tidak memenuhi syarat pengajuan dan tidak dilakukan pemeriksaan pokok perkara. Dengan hadirnya putusan Inkonstitusional Bersyarat tersebut, hendaknya DPR dan bersama-sama dengan Pemerintah menyegerakan perbaikan UU a quo sebagaimana yang diperintahkan oleh Mahkamah Konstitusi. Perbaikan tersebut dalam rangka menjamin kepastian hukum terutama dalam bidang-bidang yang berkaitan dengan iklim usaha dan investasi.
Dari pantauan penulis, Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 belum dimasukkan kedalam Prolegnas prioritas DPR RI. Undang-Undang tersebut banyak mengakomodir pasal-pasal yang sangat krusial, seperti pengaturan tentang ketenagakerjaan, Pengadaan tanah, Perusahaan, Lingkungan, pertambangan dan lain-lain. Dengan tidak disegerakannya perubahan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut akan berdampak luas atas tidak adanya kepastian hukum bagi pelaku usaha. Di samping itu, semakin dekatnya Pemilihan Umum 2024 dan batas waktu perbaikan UU a quo yang jatuh pada tanggal 25 November 2023, dikhawatirkan mempengaruhi kinerja legislasi Pemerintah dan DPR. Hal ini dikarenakan fokus Pemerintah dan DPR cenderung teralihkan kepada kegiatan-kegiatan politik dalam rangka meraih dukungan suara di Pemilu 2024. Apalagi kompleksitas Pemilu 2024 yang tidak hanya melakukan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tetapi juga Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota menambah kekhawatiran akan lalainya perbaikan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut. Dengan demikian, penulis mengingatkan demi terciptanya kepastian hukum, DPR RI harus segera memasukkan Rancangan Perubahan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja kedalam Prolegnas Prioritas karena merupakan amanat dari Putusan MK nomor 91/PUU-XVIII/2020.[*]