Site icon SuaraJakarta.co

Kebanyakan Koordinasi, Pembangunan Reklamasi Terhambat

Kawasan Reklamasi Pantai Utara Jakarta. (Foto: Istimewa)

SuaraJakarta.co, OPINI WARGA – Salah satu budaya buruk birokrasi adalah kebanyakan koordinasi yang menyebabkan urusan mudah menjadi sulit. Terlebih jika dalam koordinasi tersebut melibatkan kepentingan ego sektoral masing-masing lini birokrasi. Budaya seperti ini sebaiknya sudah tidak perlu dipelihara lagi dalam system birokrasi. Kepentingan pembangunan jauh lebih besar untuk di kedepankan demi terciptanya hasil yang baik dan diharapkan dapat dirasakan oleh masyarakat.

Kenyataan ini dapat dilihat dalam kasus moratorium reklamasi yang dilakukan pemerintah pusat dalam merespon gejolak masyarakat dan perdebatan kewenangan penyelanggara reklamasi 17 pulau tersebut ditangan pemerintah daerah atau pusat. Jika merujuk pada kesiapan Pemrov DKI, proyek reklamasi teluk Jakarta sudah dipersiapkan dengan matang mengacu pada paying hukum yang dimiliki. Berbagai kajian sudah dilakukan demi memastikan agar proyek ini berjalan dengan baik untuk kepentingan pembangunan Jakarta guna menjawab permasalahan yang di hadapi.

Sejatinya reklamasi bukanlah barang unik atau asing dalam pembangunan, terbukti banyak Negara sudah melakukan. Tidak hanya di luar negeri, di Indonesia sendiri reklamasi sudah menunjukkan manfaat yang dapat dirasakan. Sebagai contoh pembangunan Ancol, Pelindo, dan diberbagai daerah lainnya.

Pemerintah pusat sendiri sudah mencanangkan sejak awal rencana pengembangan dan pembangunan wilayah pesisir di Ibukota Jakarta, yang lebih dikenal dengan sebutan National Capital Integrated Coastal Development (NCID). Reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta menjadi bagian dari mega proyek tersebut. Artinya bukanlah sesuatu yang aneh jika reklamasi 17 pulau tersebut dilakukan, toh nyatanya ia sudah menjadi bagian dari kerangka kerja pemerintah pusat dalam menata wilayah yang tentunya untuk kepentingan pembangunan dalam menjawab berbagai permasalahan yang di hadapi.

Lalu mengapa reklamasi 17 pulau yang dilakukan oleh Pemrov DKI lantas dipermasalahkan. Malah permaslahan itu juga muncul dari birokrasi dalam pemerintahan yang merasa itu adalah kewenangan mereka. Perbedaan tafsir dalam melihat paying hokum sebagai dasar pembangunan seharusnya tidak harus membuat pembangunan ini terbangkalai dalam kurun waktu yang lama.

Pemerintah cukup melakukan singkronisasi apa yang sudah dimiliki oleh Pemrov DKI dalam kajian yang ada sebagai dasar pembangunan tetapdapat dijalankan, karena terbukti mereka sudah melakukan kajian dengan melibatkan para ahli dan pakar yang berkompeten dalam bidangnya.

Untukitu, sebaiknya pemerintah pusat dapat secepatnya mencabut moratorium ini dengan mempersilakan pembangunan terus berjalan. Pemerintah juga harus memikirkan nasib para Investor yang sudah mengorbankan uang dalam jumlah besar untuk pembangunan ini. Jika terus diperlambat tentunya mereka akan mengalami kerugian besar, dan ini membuat citra tidak baik bagi pemerintah dalam memperlakukan investor dalam negeri.

Penulis: Peri Ramdani, Warga Pademangan, Jakarta Utara

Exit mobile version