Site icon SuaraJakarta.co

Jokowi Akan Semakin Memberatkan Rakyat Jika Premi BPJS Dinaikan

Kartu BPJS Kesehatan. (Foto: IST)

Oleh: Agung Nugroho

SuaraJakarta.co, OPINI – Wacana pemerintah menaikan premi BPJS sebaiknya dihentikan mengingat kondisi perekonomian rakyat saat ini sudah semakin berat. Dimana biaya hidup saat ini semakin meningkat akibat kenaikan bbm, gas, dan listrik.

BPJS sejatinya adalah jaminan sosial yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam hak perlundungan kesehatan. Tidak masuk dalam logika akal sehat ketika alasan kenaikan premi BPJS disebabkan karena defisitnya anggaran BPJS akibat banyaknya dana yang dikeluarkan untuk menjamin penyakit berat tidak menular seperti Jantung, ginjal, kanker, dan lain lain. Mengapa ? karena persoalan defisitnya BPJS adalah tanggungan pemerintah untuk mensubsidi BPJS agar tidak defisit sesuai UU BPJS yang ada saat ini. Sehingga lucu jika karena persoalan defisit anggaran maka rakyat yang harus diperas dengan menaikan premi BPJS.

Apalagi selama ini pelayanan BPJS masih morat marit disana sini. Misalnya masih belum adanya perlindungan bagi peserta yang sering menjadi korban pembatasan pelayanan di rumah sakit, masih sering kita dengar peserta BPJS ditolak masuk kamar rawat inap dengan alasan penuh namun anehnya ketika kasus penolakan terblowup media tiba tiba kamar rawat inap ada yang kosong. Selain itu kita juga masih sering mendengar peserta yang masih dibebankan biaya tambahan untuk jenis obat yang oleh rumah sakit dikatakan tidak ditanggung BPJS dan lagi lagi ketika kasus ini terblowup, rumah sakit langsung memberi klarifikasinya dengan alasan kesalahan komunikasilah, kemarin obat memang habis namun selarang sudah adalah, dan lain lain. Dan kasus yang juga sering dialami peserta adalah kasus upgrade dan downgrade kepesertaan, dimana ketika peserta BPJS yang di-ikutinya adalah kelas 1 misalnya dengan alasan kamar kelas 1 penuh, peserta dinaikan ke VIP tanpa persetujuan peserta yang menyebabkan peserta dikenakan tambahan biaya pada akhir masa perawatan atau diturunkan kelas perawatannya ke kelas yang lebih rendah misalnya kelas 3 tanpa ada pergantian kompensasi kepesertaan bagi peserta yang sudah membayar premi sesuai kelas yang di-ikutinya misalnya kelas 2 dan jelas 1.

Dalam hal sosialisasi terhadap fungsi dan manfaatnyapun, BPJS masih belum maksimal. Selama ini pola sosialisasinya masih menggunakan pola sosialisasi ujung galah, yang mana pada saat forum sosialisasi pesertanya hanyalah pucuk pucuk pimpinan baik itu gubernur, walikota, kadinkes, kasudinkes, dirut RS, ka.puskesmas, camat, lurah, ketua RW, dan ketua RT. Dimana BPJS mengharapakan pada ujung galah ini akan segera terdistribusi informasi ke bawah. Namun pada kenyataannya ternyata tidak, rakyat dibawah masih sama sekali belum paham terhadap apa itu BPJS, bagaimana cara menjadi pesertanya, apa saja manfaat yang didapat, apa saja benturan regulasi yang akan menghambat hak kepesertaan mereka dan kemana harus mengadu ketika mendapat hambatan dalam menggunakan hak kepesertaan.

Alhasil, rakyat dibawah masih sering jadi korban pelayanan baik di rumah sakit, puskesmas, maupun di kantor BPJS itu sendiri. Sosialisasi yang lemah saat inilah yang juga menyebabkan masih banyak rakyat yang enggan mendaftarkan dirinya sebagai peserta BPJS mandiri selain juga masih banyak informasi tentang buruknya pelayanan di rumah sakit terhadap pengguna BPJS.

Sehingga keputusan kenaikan premi BPJS akan menjadi tidak bijak jika pemerintah Jokowi menyetujui kenaikan premi BPJS ini, apalagi ketua komisi IX Dede Yusuf juga mengatakan sebaiknya BPJS membenahi dulu pelayanannya baru menuntut kenaikan premi. Ditambah lagi dalam forum evaluasi JKN yang diadakan oleh Kemkes RI pada selasa 31/3/2015 peserta evaluasi juga masih meminta penundaan terhadap kenaikan premi BPJS ini.

*) Ketua Nasional Relawan Kesehatan Indonesia (Rekan Indonesia)

Exit mobile version