Site icon SuaraJakarta.co

Ini Alasan Buruh Menolak Revisi UU Ketenagakerjaan No 13/2003

Garda Metal berjaga di depan pagar Gedung DPR-MPR saat unjuk rasa berlangsung. (Foto: Fajrul Islam)

Sejak kelahirannya pada th 2003, UU ini penuh pro dan kontra baik dari sisi buruh terlebih pengusaha. Maka ketika awal Februari 2015 ini Pemerintah kembali mengajukan revisi UU 13/2003 sebagai prioritas dalam Program Legislasi Nasional ke DPR RI, sontak membuat kalangan buruh kembali bereaksi untuk segera menyikapinya.

Dari kalangan buruh, UU 13/2003 ini sesungguhnya dianggap sangat flexibel dan simbol hilangnya peran negara dalam memproteksi dan memberikan jaminan kesejahteraan bagi kaum pekerja/buruh. Selain itu UU 13/2003 juga dianggap telah meletigimasi praktek sistem hubungan kerja “outsourcing”, yang diatur dalam pasal 64-66.

Outsourcing atau penyerahan sebagian pekerjaan diatur melalui 2 sistem, yakni:

Pertama, Labor supply atau penyedia jasa tenaga kerja yang dibolehkan hanya untuk kegiatan jasa penunjang (denagn persyaratan) dan tidak boleh untuk kegiatan/pekerjaan yang bersifat pokok atau core bisnis. Jadi penyedia jasa pekerjaan hanya dibolehkan pada 5 jenis pekerjaan seperti: Driver, office boy, catering, security dan jasa penunjang di perusahaan pertambangan.

Kedua, Pemborongan pekerjaan, ke perusahaan lain. Yang boleh dilakukan pekerjaan yang terpisah dari pekerjaan utama dan pekerjaan yang sifatnya penunjang.

Sisi negatif Outsourcing bagi kalangan buruh adalah menyebabkan adanya perbedaan dan ketidakadilan dalam hal upah antara satu pekerja dengan pekerja lainya walaupun ia bekerja dalam satu lingkungan perusahaan. Outsourcing juga dianggap sebagai upaya pengusaha untuk lari dari kewajiban membayar pesangon ketika memPHK pekerja sewenang wenang.

Pandangan umum Pengusaha terkait UU 13/2003

Sementara dari kalangan pengusaha memandang UU ketenagakerjaan tidak ramah terhadap investasi, mereka menilai UU 13/2003 terlalu memproteksi pekerja, ada beberapa poin yang dianggap memberatkan pengusaha, diantaranya :

  1. Kebijakan pesangon, yang dianggap memberatkan pengusaha yakni sekitar 33 bulan gaji bagi pekerja yang bekerja sekitar 35 tahun (asumsinya per tahun dapat 1 bulan gaji atau sekitar 8.3 % gaji perbulan).
  2. Upah minimum, ingin direvisi penetapannya 2 atau 5 tahun sekali berbasis inflasi saja. Dan ditetapkan di tingkat provinsi saja, karena penetapan upah minimum di tingkat kabupaten akan menyebabkan “gap” atau kesenjangan upah antara daerah industri dan daerah non industri.
  3. Hak mogok, ingin dihapus. Karena dianggap merugikan kepentingan pengusaha
  4. Kebijakan PHK, yang dianggap menyulitkan pengusaha ketika ingin memPHK pekerja, karena harus melalui persetujuan pekerja dan pengadilan hubungan industrial terlebih dahulu.
  5. Kebijakan pekerja kontrak dan outsourcing, ingin lebih di flexibelkan lagi, dengan prinsip mudah merekrut dan mudah memPHK.

Saat ini kebijakan outsourcing atau penyediaan jasa pekerja atau pemborongan pekerjaan, oleh pengusaha masih dianggap terlalu ketat persyaratannya yakni hanya boleh dilakukan untuk kegiatan penunjang dan pekerjaan yang bukan core bisnis saja.

Pandangan Pemerintah terkait UU 13/2003

Pemerintah merasa undang undang no 13/2003 ini sudah tidak utuh karena sudah di judicial review sekitar 15 kali dengan 7 kali perubahan. Sehingga perlu direvisi.

Sebenarnya alasan diatas hanya alasan dan retorika saja, dan tidak relevan disampaikan oleh pemerintah, karena sejak tahun 2005/2006 sebelum UU 13/2003 ini di judicial review, pemerintah terus berupaya mendorong revisi UU 13/2003 dengan konsep yang mirip dengan pandangan pengusaha, yang artinya lebih mengakomodir kepentingan pengusaha.

Flexibelity vs Proteksi

Di negara-negara welfare state atau negara kesejahteraan di skandinavia dan negara-negara seperti Vietnam, kebijakan utamanya adalah proteksi.

Kita bisa lihat, keberpihakan yang jelas negara pada buruhnya yang ditandai dengan adanya kebijakan jaminan pengangguran, yakni tunjangan pendapatan ketika buruh dan rakyat mengalami penganguran. Diberikan sekian bulan hingga buruh mendapatkan pekerjaan baru dengan nominal sekian % dari upah.

Sementara di Indonesia, selama ini menganut flexibility labor market atau pasar kerja yang fleksibel. Pemerintah tidak peduli ketika buruh di PHK dan selanjutnya menganggur.

Upah di Indonesia, di masih banyak daerah di jawa Tengah yang upahnya sangat rendah sekali yakni hanya 1.1 juta saja, dimana upah tersebut masih dibawah upah di myanmar atau vietnam yang infrastrukturnya jauh dibawah Indonesia.

Sedangkan di Jakarta sebagai ibukota dari Indonesia yang saat ini masuk dalam negara G20, karena volume perekonomian Indonesia adalah yang terbesar no 10 di dunia. Ternyata upahnya hanya 2.7 juta jauh dibawah manila yang mencapi 3.9 juta. Hongkong 10 jutaan, Korea 17 jutaan, Tokyo 24 jutaan dan Australia 43 jutaan.

Terkait Pesangon

Selama ini Apindo melakukan kebohongan dengan mengatakan bahwa pesangon di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia. Dengan hitungan paket full pesangon hanya sekitar 33 bulan gaji yang diterima ketika masa kerja mencapai 35 tahun, maka konpensasi jika dihitung per tahun hanya dihitung 1 kali gaji/ tahun atau 8.3% gaji/bulan.

Angka 8.3% per bulan sesungguhnya jauh lebih kecil dari iuran pensiun bulanan di singapura sebesar 16%, malaysia 12%, Vietnam 12% diluar iuran dari buruh.

Apa yang buruh inginkan

Pada tanggal 29 Januari 2015 minggu lalu, perwakilan pekerja yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), bertemu dengan Menteri Tenaga Kerja RI Bpk Hanif Dakhiri.

Pada pertemuan tersebut, KSPI menyampaikan pokok pokok fikiran bahwa Pemerintah atau Negara perlu hadir dalam melaksanakan tanggung jawabnya untuk lebih memberikan proteksi dan kesejahteraan pada kaum buruh dan Rakyat.

Pemerintah diharapkan memiliki road map atau peta jalan yang jelas dan berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan kaum buruh.
karena saat ini Indonesia memiliki positioning yang kuat yang ditandai dengan berpindahnya pasar global ke ASEAN dimana setengahnya ada di Indonesia, selain itu Indonesia masih kaya dengan sumber daya alam yang membuat investasi selalu meningkat.

KSPI juga meminta agar pemerintah untuk tidak melakukan revisi UU ketenagakerjaan secara parsial, tapi melakukan evaluasi dan revisi secara menyeluruh (kodifikasi) dengan basis lebih memproteksi, melindungi dan mensejahterakan kaum buruh Indonesia.

Bila pemerintah belum sadar dan tidak punya keinginan untuk lebih memproteksi dan mensejahterakan, maka yang perlu dilakukan saat ini cukup merevisi kebijakan-kebijakan peraturan menteri tenaga kerja saja yang juga amburadul dan merugikan kaum buruh, seperti :

1. Reformasi sistem pengupahan dengan :

A. Merevisi permenaker 13/2012 tentang komponen Kehidupan Hidup Layak (KHL) yang jumlahnya 60 menjadi 84 item.
B. Mencabut permen 7/2013 tentang upah minimum yang diterbitkan tanpa ada pembahasan terlebih dahulu di LKS Tripartiti Nasional
C. Cabut permen 231 tentang penangguhan upah. Yang membuat banyak perusahaan broker tekstil dari KOREA selalu melakukan penundaan atau pengemplangan upah.
D. Cabut Inpres 9/2013.

2. Segera tuntaskan Rancangan Peraturan Pemerintah ( PP) tentang jaminan pensiun yang akan berlaku per 1juli 2015
3. Revisi permen 19/2012 ttg outsourcing
4. Perbaikan penerapan BPJS kesehatan yang saat ini banyak kendala, dan belum seluruh rakyat miskin mendapat akses kesehatan yang ditanggung pemerintah.

Sementara untuk pekerja swasta dan BUMN yang selama ini mereka sudah mendapatkan pelayanan Rumah Sakit di VIP atau kelas satu, kini mereka harus turun kelas, sementara aturan atau program pindah kelas atau tambahan beneffit program yang dikenal dengan sistem COB masih amburadul.

Yang harus dilakukan Pemerintah

  1. Concern menyelesaikan berbagai peraturan yang belum rampung untuk pelaksanaan program jaminan pensiun, jaminan hari tua dan jaminan kecelakaan kerja yang akan diimplementasikan per 1 juli 2015 oleh BPJS Ketenagakerjaan.
  2. Jika ingin revisi UU 13/2003 yang merupakan induk peraturan ketengakerjaan di Indonesia, semangatnya adalah semangat perubahan yang lebih baik yakni semangat hadirnya negara untuk lebih memproteksi atau memberikan perlindungan pada pekerjanya. Dan lakukan perubahan secara menyeluruh atau melakukan kodifikasi. Bukan malah sebaliknya, semangat ingin merevisi UU 13/2003 dengan semangat neo liberal atau semangat dengan kebijakan berbasis Flexibelity Labor Market atau pasar kerja yang fleksibel dengan filosofi mudah merekrut, mudah memPHK tanpa pesangon.
  3. Jadi karena konsep dasar revisi UU 13/2003 adalah flexibel labor market, maka buruh menolak revisi UU 13/2003 yang saat ini sedang diajukan pemerintah di DPR RI.

Penulis: Muhammad Rusdi, Sekjend Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Anggota LKS Tripartit Nasional Unsur Buruh

Exit mobile version