SuaraJakarta.co, OPINI – Pernahkah kita bertanya kepada diri. Apakah yang sebenernya Negara berikan kepada kita—sebagai “warga Negara?”, sementara Negara membiarkan kita bersaing dan saling menerkam dalam mencari nafkah, masih masuk akalkah tentang janji-janji pemerintah, bukankah Negara—dalam—pasar bebas hanya menjadi panitia, bagi para pemilik modal, dan membiarkan rakyat terkapar dalam pardoks demokrasi. Apakah benar negara bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat? Jika benar. Rakyat yang mana? Rakyat yang dimana? Dan rakyat yang seperti apa?
Indonesia hari ini, adalah satu diantara ratusan Negara yang percaya bahwa “pasar bebas” merupakan sebuah keniscayaan bagi terciptanya kesejahteraan umum. Tapi dalam kenyataanya, pasar bebas malah menimbulkan ekslusivisme. Meminjam istilah yang digunakan oleh Amy Chua yakni, market-dominant minorities. pasar—yang didalamnya hanya dikuasai oleh segelintir pengusaha raksasa. Pasar bebas memang telah menjadi diskursus yang cukup panas pasca krisis Amerika tahun 2008 dan memancing protes besar-besaran dari banyak kalangan.
Awal Mula Pasar Bebas Di Indonesia
Sekitar tahun 1980 di bawah rezim orba, Indonesia telah menancapkan bendera neoliberal—yang ditandai dengan paket kebijakan deregulasi dan debirokratisasi. Tapi secara massif Indonesia melaksanakan agenda pasar bebas, pasca lengsernya Soeharto dari tahta. Kemudian disaat badai finansial meluluh lantahkan nilai tukar rupiah, pemerintah mengambil inisiatif dengan cara mengundang IMF sebagai obat pemulihan ekonomi yang tengah landa krisis. Namun, IMF tak semerta-merta mencarikan dana talangan, sebagai syarat pemerintah diwajibkan untuk melaksanakan kebijakan Konsensus Washington dan menandatangani Letter Of Intent (LoI), yang di dalamnya terdapat poin bahwa Indonesia harus menghapus subsidi BBM, yang secara tidak langsung memberikan jalan bagi masuknya MNC seperti Shell. Disusul dengan kebijakan privatisasi beberapa BUMN, diantaranya adalah yang terkenal dimasyarakat, Indosat, Telkom, BNI, PT ANTAM.
Alih-alih menyelamatkan Negara dari krisis, Indonesia kian memperbesar utang dengan badan keuangan dunia, dan rakyat harus menerima kenyataan—bahwa pembangunan yang berlangsung dibiayai oleh tangan swasta dan sekali lagi Negara berdiri sebagai panitia. Partai politik banyak yang tepuk tangan—sambil menjadi tim hore. Tapi banyak juga yang menjadikan lahan pembangunan sebagai arena korupsi, tercatat setelah sepuluh tahun reformasi, pada tahun 2008 Kompas mencatat terdapat 58 anggota DPR yang terseret kasus korupsi. DPR yang secara fungsional menjadi pengawas bagi program pemerintah, kini tak mau kalah sebagai kontributor koruptor. Reformasi ternyata tak banayak memberikan perubahan bagi persoalan KKN, dan pasar bebas membuat demokrasi semakin kokoh dalam kesemuanya.
Banyak data statistik yang dipublish oleh LSM lingkungan tentang kondisi di pertambangan, pembalakan hutan, dan tentang limbah pabrik. Hampir 90% bersifat destruktif, para pemilik perusahan seolah tuli dan tak melihat atas apa yang mereka perbuat. Contoh konkrit ada di Blok Mahakam, dari pusat penambangan minyak yang berjarak 1 kilometer dari penduduk setempat, warga selama bertahun-tahun harus hidup dalam keadaan yang terbelakang, bagaimana tidak. Di daerah tersebut tidak ditemukan aliran listrik. Bayangkan sementara perusahaan asing dari jepang dan prancis mengeruk minyak kita, kita harus mendukung pemerintah sambil mengikat pinggang kencang-kencang, buah pasar bebas memang tak semanis rektorika politisi.
Sebuah Konsepsi
Mengacu kepada ekonom-politik neoliberal/pasar bebas. Logika pasar bebas adalah meruntuhkan habis-habisan intervensi negara dalam persoalan perdagangan, dan membiarkan yang memiliki modal besar menindas yang kecil. Hal ini jugalah yang dikatakan oleh Hebert Macurse salah seoarang punggawa Mazhab Frankfrut dengan administrasi total dan tereduksinya negara—yang tadinya institusi politik menjadi lembaga administratif. Pasar bebas juga mengindahkan adanya invansi militer sebagai jalur diplomasi, hal ini dapat dilihat dari apa yang dilakukan amerika—demi mendapatkan minyak, dan penjualan senjata ditimur tengah.
Neoliberalisme memiliki pertautan erat dengan dorongan politik multilateral, yang berpararel pada berbagai kartel perdanganan yang lumrah dikuping kita, seperti, WTO dan Bank Dunia, hal ini tentu memiliki konsekuensi logis pada tereduksinya wewenang pemerintahan sampai pada titik terendah. Melalui sistem ini juga Indonesia menjadi sangat “depedentif”, ketergantungan inilah yang akan memperkekal penderitaan bangsa, Neoliberal jelas memiliki musush abadi yang seolah kini mati dan bersemayan dibalik teks-teks buku. Sosialisme, Proteksionisme dan Environmentalisme, bagi penulis neoliberal hanyalah bentuk imperalisme baru, dan Indonesia tidak pantas menjadikan sistem ini sebagai pedoman, baik dari basis filosofis, sistem, kultural dan Pelaksanaanya semua bertolak belakang dengan kondisi sosio-ekonomi di Indonesia, dan imbas dari pasar bebas hanya menciptakan manusia-manusia Indonesia yang secara terus-menerus membumi hanguskan nilai kolektivisme atau “gotong royong”.
Terang sekali, ekonom macam Friedrich von Hayek dan Milton Friedman kembali menggauangkan argumentasi klasiknya Adam Smith tentang masyarakat kapitalis bahwa: masyarakat kapitalis adalah masyarakat yang produktif, menghasikkan kedinamisan, kesempatan dan kompetisi, keuntungan dan kepentingan pribadi adalah landasan utam yang menciptakan gerak tersebut.
Jika ada pertanyaan Indonesia dalam kacamata pasar Bebas, solusi atau eksploitasi? Sungguh naif rasanya jika ada yang menjawab pasar bebas adalah solusi, mereka yang jawab demikian, mungkin sudah demikian nikmatnya dengan keuntungan yang ia rasakan dari menindas orang-orang yang kalah dalam persaingan ekonomi.
Bagi penulis, yang musti pertama-tama pemerintah lakukan sekarang ialah; segera memperbaiki institusi politik, dengan memperkuat KPK agar instusi-instusi politik tidak terus digerogoti oleh koruptor-koruptor, pemerintah harus memprioritaskan hutang luar negeri, agar semakin bisa mengurangi ketergantungan. Partai politik harus berani merevitalisasi diri dan memperbaiki proses pengkaderan, agar dapat memproduksi pejabat-pejabat publik yang berintegritas tinggi. Dan yang terpenting kita musti menasionalisasikan aset-aset bangsa yang telah di privatisasi oleh asing secara berkala, dengan cara berkala, hal ini akan menghindarkan kita dari isu komunisme yang mudah digoreng oleh media asing, dan membuat perubahan diparlemen. Jika konsisten, bukan mustahil negara ini akan mencapai demokrasi ekonomi yang sempat diimpikan oleh Bung Hatta dan seluruh bangsa Indonesia.
Penulis: Villarian, Ketua Biro Kajian PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, KOMFISIP) dan Pegiat Komunitas LiNTAS (Lingkar Studi Tangerang Selatan)