Site icon SuaraJakarta.co

Halal Lifestyle

Oleh: Jaharuddin (Dosen Ekonomi Islam FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta)

Melihat fenomena restoran dengan berbagai jenis makanan dari Korea, Jepang dan negara lainnya di salah satu mall di Jakarta Selatan, dipenuhi sesak pengunjung.

Sambil jalan-jalan, saya melakukan observasi sederhana ke beberapa resto tersebut, sambil tanya menu, sekaligus mengamati adakah label halal MUI di resto tersebut? dan juga konfirmasi ke karyawannya.

Saya bertanya:
Ada label halalnya ngak?
Karyawannya menjawab:
Ngak pak, tapi makanan kami semuanya halal kok pak.

Memang kita tidak bisa menyimpulkan bahwa, makanan di resto tersebut tidak halal.

Ternyata cukup banyak resto yg tidak punya label halal MUI. bahwasanya menu di resto tersebut belum tentu haram, namun juga tidak terjamin ke halal an nya.

Saya perhatikan konsumen nya, diduga mayoritas muslim/muslimah, terindikasi dari jilbab muslimah yang ada disitu.

Ada baiknya, lihatlah label halalnya, baru memutuskan beli atau tidak, karena kehalalan makanan, jadi nutrisi yang mengalir dalam tubuh kita.

Sepertinya, jaminan halal belum jadi prioritas, baik oleh pihak resto maupun konsumen?

Sebagai saran, diera sebagian kalangan menengah aware dengan halal lifestyle, seperti fashion, bank, finance, produk-produk kecantikan, maka halal food juga menjadi kebutuhan mendesak.

Untuk kenyamanan dan keamanan makanan yg masuk ke dalam tubuh, bertanyalah sebelum memutuskan membeli. Dengan cara seperti itu mendorong pengelola resto untuk mengurus sertifikasi kehalalan makanan yang dijual.

Jika dilihat dari perspektif pebisnis yg menjadi pemilik resto tersebut. Sebagiannya diduga non muslim, walaupun bisa jadi karyawan front office nya berjilbab.

Tak ada salahnya bertanya dahulu sebelum, memutuskan membeli🙏🏻

Tantangan Halal Lifestyle

Radiasi yang tak kalah luasnya juga terdapat pada makanan dan minuman mobile dan kaki lima. Sebutlah contoh pedagang diseputar kampus Islam, pertanyaan dasarnya adalah, yakinkah tentang kehalalan produk yang dijual?, kita bisa menjawab, sebagian besar pedagangnya adalah muslim, bisa jadi inilah yg menjadi alasan konsumen yakin saja dengan kehalalan produk yang dijual.

Mungkinkah produk di pedagang tersebut juga dipertanyakan kehalalannya?, jawabannya mungkin. Perlukah di sertifikasi halal?, untuk keamanan konsumen harusnya di tingkat pedagang juga diperlukan. Namun penyelenggaraannya perlu disederhanakan, seperti rutinnya lembaga pengawasan pasar (al hisbah) melakukan pengawasan.

Untuk mengatasi terbatasnya sdm dan jangkauan lembaga pengawasan pasar (al hisbah), maka perlu melibatkan masyarakat seperti optimalisasi kader halal, dan menyediakan hotline pengaduan masyarakat dan menyiapkan tim respon cepat untuk menjawab pengaduan masyarakat.

Menurut Liza Nora (2017), berdasarkan hasil riset, salah satu perilaku konsumen Indonesia adalah lebih religius, artinya kalau produsen tidak aware dengan pergeseran perilaku konsumen, maka lambat laun akan ditinggalkan oleh konsumen yang semakin religius. Supaya semua umat Islam Aware dengan kehalallan suatu produk, masing- masing kita mengedukasi orang-orang terdekat kita, mahasiswa, dll supaya mereka aware dengan hal tersebut.
Semoga bermanfaat.
Sabtu, 1 april 17.

Exit mobile version