Halal Haram Jual Beli Online, Sebuah Tinjauan Fiqih Muamalah

Oleh: Yudhiani*

Al Ashlu Fil Mua’malati Al Ibahah Hatta Yadullu Ad Daliilu Ala Tahrimiha “Hukum asal dalam urusan muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

Pernyataan populer ini adalah salah satu kaidah dalam fiqih muamalah yang disepakati oleh sebagian besar jumhur ulama. Namun demikian seorang yang zuhud adalah orang yang menghindari syubhat dan makruh dalam perdagangan dan muamalahnya. Oleh karena itu, dalam aspek perniagaan, seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan Dalam perspektif ekonomi Islam, secara etimologi, al-bay’u (jual beli) berarti mengambil dan memberikan sesuatu, kata ini merupakan derivat dari al-ba’i (depa) terkait kebiasaan bangsa Arab mengulurkan depa mereka ketika mengadakan akad jual beli untuk saling menepukkan tangan sebagai tanda bahwa akad telah terlaksana atau ketika mereka saling menukar barang dan uang. Adapun secara terminologi, di dalam Fiqhus sunnah (3/46) disebutkan bahwa al-bay’u adalah transaksi tukar menukar harta yang dilakukan secara sukarela atau proses mengalihkan hak kepemilikan kepada orang lain dengan adanya kompensasi tertentu dan dilakukan dalam koridor syariat.

Islam telah mensyariatkan jual beli dengan dalil yang berasal dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas (analogi).
Dalil Al Qur’an

Allah ta’ala berfirman,

“… padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al Baqarah: 275)

Al ‘Allamah As Sa’diy mengatakan bahwa di dalam jual beli terdapat manfaat dan urgensi sosial, apabila diharamkan maka akan menimbulkan berbagai kerugian. Berdasarkan hal ini, seluruh transaksi (jual beli) yang dilakukan manusia hukum asalnya adalah halal, kecuali terdapat dalil yang melarang transaksi tersebut. (Taisir Karimir Rahman 1/116).

Dalil Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, profesi apakah yang paling baik dan beliau menjawab bahwa profesi terbaik yang dikerjakan oleh manusia adalah segala pekerjaan yang dilakukan dengan kedua tangannya dan transaksi jual beli yang dilakukannya tanpa melanggar batasan-batasan syariat. (Hadits shahih dengan banyaknya riwayat, diriwayatkan Al Bazzzar 2/83, Hakim 2/10; dinukil dari Taudhihul Ahkam 4/218-219).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

“Emas ditukar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama beratnya dan langsung diserahterimakan. Apabila berlainan jenis, maka juallah sesuka kalian namun harus langsung diserahterimakan/secara kontan” (HR. Muslim: 2970)
Dalil Ijma’

Kebutuhan manusia untuk mengadakan transaksi jual beli sangat mendesak, dengan transaksi jual beli seseorang mampu untuk memiliki barang orang lain yang diinginkan tanpa melanggar batasan syariat. Oleh karena itu, praktek jual beli yang dilakukan manusia semenjak masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini menunjukkan bahwa umat telah sepakat akan disyariatkannya jual beli (Fiqhus Sunnah,3/46).

Dalil Qiyas

Kebutuhan manusia menuntut adanya jual beli, karena seseorang sangat membutuhkan sesuatu yang dimiliki orang lain baik, itu berupa barang atau uang, dan hal itu dapat diperoleh setelah menyerahkan timbal balik berupa kompensasi. Dengan demikian, terkandung hikmah dalam pensyariatan jual beli bagi manusia, yaitu sebagai sarana demi tercapainya suatu keinginan yang diharapkan oleh manusia (Al Mulakhos Al Fiqhy, 2/8).

Syarat-syarat Sah Jual Beli

Kurangnya ilmu agama, cinta dunia, sedikitnya rasa takut kepada Allah menjadi beberapa sebab pedagang menempuh segala macam upaya yang menisbikan rambu halal dan haram untuk meraih keuntungan dalam sebuah perniagaan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya para pedagang itu adalah kaum yang fajir (suka berbuat maksiat), para sahabat heran dan bertanya, “Bukankah Allah telah menghalalkan praktek jual beli, wahai Rasulullah?”. Maka beliau menjawab, “Benar, namun para pedagang itu tatkala menjajakan barang dagangannya, mereka bercerita tentang dagangannya kemudian berdusta, mereka bersumpah palsu dan melakukan perbuatan-perbuatan keji.” (Musnad Imam Ahmad 31/110, dinukil dari Maktabah Asy Syamilah; Hakim berkata: “Sanadnya shahih”, dan beliau disepakati Adz Dzahabi, Al Albani berkata, “Sanad hadits ini sebagaimana yang dikatakan oleh mereka berdua”, lihat Silsilah Ash Shahihah 1/365; dinukil dari Maktabah Asy Syamilah).
Diriwayatkan dari Amirul Mu’minin ‘Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

“Yang boleh berjualan di pasar kami ini hanyalah orang-orang yang faqih (paham akan ilmu agama), karena jika tidak, maka dia akan menerjang riba.”
Oleh karena itu seseorang yang menggeluti praktek jual beli wajib memperhatikan syarat-syarat sah praktek jual beli agar dapat melaksanakannya sesuai dengan batasan-batasan syari’at dan tidak terjerumus ke dalam tindakan-tindakan yang diharamkan .

Dalam kitab Taudhihul ahkam 4/213-214, Fikih Ekonomi Keuangan Islam dijelaskan bahwa syarat-syarat sah jual beli adalah sebagai berikut :

1.Terkait dengan pelaku praktek jual beli, baik penjual maupun pembeli, yaitu:

• Hendaknya kedua belah pihak melakukan jual beli dengan ridha dan sukarela, tanpa ada paksaan.
Allah ta’ala berfirman:
“… janganlah kalian saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang timbul dari kerelaan di antara kalian…” (QS. An-Nisaa’: 29)

• Kedua belah pihak berkompeten dalam melakukan praktek jual beli, yakni dia adalah seorang mukallaf dan rasyid (memiliki kemampuan dalam mengatur uang), sehingga tidak sah transaksi yang dilakukan oleh anak kecil yang tidak cakap, orang gila atau orang yang dipaksa (Fikih Ekonomi Keuangan Islam, hal. 92).

2.Terkait dengan objek/barang yang diperjualbelikan, yaitu:

• Objek jual beli (baik berupa barang jualan atau harganya/uang) merupakan barang yang suci dan bermanfaat, bukan barang najis atau barang yang haram, karena barang yang secara dzatnya haram terlarang untuk diperjualbelikan.

• Objek jual beli merupakan hak milik penuh namun seseorang bisa menjual barang yang bukan miliknya apabila mendapat izin dari pemilik barang.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

• Objek jual beli dapat diserahterimakan, sehingga tidak sah menjual burung yang terbang di udara, menjual unta atau sejenisnya yang kabur dari kandang dan semisalnya. Transaksi yang mengandung objek jual beli seperti ini diharamkan karena mengandung gharar (spekulasi) dan menjual barang yang tidak dapat diserahkan

• Objek jual beli dan jumlah pembayarannya diketahui secara jelas oleh kedua belah pihak sehingga terhindar dari gharar.
Abu Hurairah berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli hashaath (jual beli dengan menggunakan kerikil yang dilemparkan untuk menentukan barang yang akan dijual) dan jual beli gharar.” (HR. Muslim: 1513)

• Tidak menyembunyikan cacat/aib objek yang diperjualbelikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal bagi seorang muslim menjual barang dagangan yang memiliki cacat kepada saudaranya sesama muslim, melainkan ia harus menjelaskan cacat itu kepadanya” (HR. Ibnu Majah nomor 2246, Ahmad IV/158, Hakim II/8, Baihaqi V/320; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilali)

“Barang siapa yang berlaku curang terhadap kami, maka ia bukan dari golongan kami. Perbuatan makar dan tipu daya tempatnya di neraka”
(HR. Ibnu Hibban 567, Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir 10234, Abu Nu’aim dalam Al Hilyah IV/189; dihasankan Syaikh Salim Al Hilaly)

Titik Kritis Halal Haram dalam Jual Beli Online Secara konvensional perdagangan terjadi melalui tatap muka secara langsung antara penjual dan pembeli pada suatu tempat tertentu seperti toko, pasar, bazaar , maupun tempat-tempat lain pada waktu-waktu tertentu. Namun era digitalisasi secara masif telah membawa teknologi hampir kesetiap aspek kehidupan, tak terkecuali aspek perniagaan. Secara prinsip fiqih muamalah, apabila seluruh syarat sah jual beli telah dipenuhi maka jual beli tersebut boleh hukumnya. Namun hukum asal yang tadinya mubah dapat berubah menjadi makruh atau bahkan haram apabila celah kritis yang terdapat dalam karakteristik jual beli online gagal diantisipasi oleh pelaku jual beli.

1. Ketidakhadiran Objek Jual Beli pada saat Akad Jual Beli
Jamaknya dalam perniagaan online, setelah pembeli melihat foto dan membaca deskripsi objek jual beli yang ditampilkan oleh penjual dan memutuskan melakukan pembelian,pembeli akan melakukan pemesanan dan kemudian melakukan pembayaran terlebih dahulu kepada penjual tanpa sebelumnya melihat secara langsung barang yang dijadikan objek jual beli, setelah itu baru dilakukan pengiriman barang oleh penjual kepada pembeli. Hal ini jika tidak disikapi dengan hati-hati sesuai dengan kaidah fiqih sangat rentan terhadap unsur gharar. Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah sama dengan al-khathr (pertaruhan), sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan, al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-‘aqibah). Dari penjelasan ini, dapat diambil pengertian, yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan.

Jual beli barang yang tidak jelas (majhul), baik yang muthlak, seperti pernyataan seseorang : “Saya menjual barang ini dengan harga sepuluh ribu rupiah”, tetapi barangnya tidak diketahui secara jelas, atau seperti ucapan seseorang : “Saya jual baju ini kepada Anda dengan harga tiga ratus ribu rupiah”, namun jenis dan sifat-sifatnya tidak jelas. Atau bisa juga karena ukurannya tidak jelas, seperti ucapan seseorang : “Saya jual rumah kepada Anda seharga lima ratus juta”, namun ukuran rumah dan tanahnya tidak diketahui.

Ulama berbeda pendapat tentang ketidakhadiran objek jual beli pada perniagaan secara online. Hal ini sejatinya merupakan perselisihan mengenai hukum bai’ alghaib ala shifat. Menurut mazhab Syafi’ ‘Tidak sah jual-beli barang yang tidak dihadirkan pada saat akad, sekali pun barang tersebut ada’. Namun sebagian besar jumhur ulama dari mazhab Hanafi, Maliki dan Hanbali dalam Al Mausu’ah al Kuwaitiyah jilid IX, hal 16 berpendapat sebaliknya. Dalil pendapat kedua ini adalah nash-nash yang menjelaskan bahwa hukum jual-beli pada dasarnya adalah boleh/halal. Seperti firman Allah, yang artinya: “Allah telah menghalalkan jual beli”.—Al-Baqarah: 275. Bai’ alghaib ala shifat termasuk jual-beli. Sementara hukum asal jual-beli adalah halal. Dengan demikian, bai’ alghaib ala shifat hukumnya halal (Dr. Erwandi Tarmizi MA)

Dalam prakteknya celah terjadinya gharar ini dapat dihilangkan dengan upaya penjual untuk menjelaskan secara detail mengenai karakteristik dan spesifikasi objek yang diperjualbelikan. Karena sebuah objek barang bisa menjadi jelas melalui indera mata (melihat langsung) atau melalui indera yang lain. Adanya penjelasan spesifikasi barang melalui keterangan, baik dalam bentuk tulisan atau pun lisan tidaklah dianggap menyembunyikan barang. Sementara syariat menghukumi sama antara mengetahui sesuatu dan melihat langsung atau pun dengan sekadar uraian keterangan.

Allah berfirman, (yang artinya): “Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya“.—Al-Baqarah: 89

Dalam ayat di atas, Allah menghukumi orang Yahudi sebagai kafir karena keingkaran mereka terhadap Nabi Muhammad Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Padahal mereka telah mengetahui sifat-sifatnya dari penjelasan kitab mereka. Allah menghukumi sama antara pengetahuan melalui uraian keterangan dengan menyaksikan langsung.

Begitu juga sabda Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Janganlah seorang wanita yang bergaul dengan wanita lain, kemudian ia menceritakan ciri-ciri tubuh wanita tersebut kepada suaminya, seolah-olah suaminya melihat langsung wanita yang dia ceritakan”.—HR Bukhari

Hadits ini sangat tegas menyatakan sama antara penjelasan melalui keterangan dan cerita dengan melihat langsung. Dengan demikian, penjelasan spesifikasi barang melalui keterangan dihukumi sama dengan melihat langsung dan tidak ada unsur gharar (Dr. Adil Syahin, dalam aqdut taurid; haqiqatuhu wa ahkamuhu fil fiqhil Islami jilid I, hal 296)

2.Penjual Online Tidak Memiliki Barang yang Ia Tampilkan

Para ulama sepakat, tidak sah hukum jual-beli jika penjual tidak memiliki barang-barang yang ia tampilkan pada media penjualannya.

Dalam prakteknya seringkali ditemui situasi perniagaan dengan ilustrasi sebagai berikut ; adalah A sebagai pembeli online yang melalui fasilitas internet melihat barang Y yang ditampilkan oleh B selaku penjual online dan kemudian memutuskan untuk memesan barang tersebut. Ternyata barang Y yang ditampilkan oleh B masih dimiliki oleh penjual lain yaitu C. Saat A melakukan pemesanan B langsung menghubungi C yang sesungguhnya sebatas untuk konfirmasi keberadaan barang Y tanpa melakukan akad jual-beli. Setelah B yakin barang Y ada, B meminta A mentransfer uang ke rekeningnya. Setelah uang diterima, barulah B membeli barang Y dari C, lalu mengirimkannya kepada A.

Akad jual-beli semacam itu tidak sah. Karena ia menjual barang yang bukan miliknya, dan hal ini mengandung unsur gharar. Sebab penjual belum bisa memastikan pada saat akad berlangsung, apakah barang dapat dikirim kepada pembeli atau tidak.

Hal tersebut didasarkan pada hadist yang diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, dia berkata, “Wahai Rasulullah!Seseorang datang kepadaku untuk membeli suatu barang, kebetulan barang tersebut sedang tidak kumiliki, apakah boleh aku menjualnya kemudian aku membeli barang yang dia inginkan dari pasar? Maka Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ”Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!”(HR Abu Daud; dishahihkan al-Albani)

Untuk mencegah terjadinya praktek jual beli yang tidak sah terkait ilustrasi diatas, penjual online dapat melakukan antsipasi dengan cara memberi tahu kepada setiap calon pembeli online bahwa penyediaan format order barang bukan berarti ijab dari penjual. Setelah calon pembeli mengisi dan mengirimkan format order, penjual online tidak boleh menerima akad jual-beli langsung tanpa terlebih dahulu membeli barang yang dipesan oleh calon pembeli kepada penjual yang memiliki barang tersebut tersebut. Setelah penjual online telah memiliki langsung barang tersebut baru penjual online dibolehkan menjawab permintaan order calon pembeli dan memintanya untuk melakukan pembayaran. Untuk menghindari kerugian akibat calon pembeli membatalkan niatnya selama masa tunggu (masa proses jual beli penjual online dengan penjual yang memiliki barang) sebaiknya penjual online meminta syarat kepada pemilik barang bahwa ia berhak mengembalikan barang selama tiga hari sejak barang dibeli atau dikenal dengan khiyar syarat. Wallhualam bi shawab.

*) Mahasiswi Pascasarjana Universitas Indonesia Program Studi Kajian Stratejik Timur Tengah dan Islam

Related Articles

Latest Articles