Site icon SuaraJakarta.co

Energi Alternatif VS Konsumsi BBM

suara-jakarta-energy-alternatif-mengkonsumsi-bbm

Energy alternatif (Foto: IST)

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Energy memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Tanpa kita sadari semua hal yang ada dalam hidup kita semenjak kita terbangun hingga kita memejamkan mata semuanya membutuhkan energy. Sederhananya setiap benda memerlukan energy agar bisa kita rasakan manfaatnya, mulai dari proses produksi, distribusi, bahkan saat kita menkonsumsinya. Energy adalah roda penggerak kehidupan manusia dan kita sangat tergantung kepadanya.

Kondisi energi Indonesia saat ini masih sangat tergantunga pada migas. Faktanya, produksi minyak dan gas Indonesia sudah tidak lagi mampu untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, walaupun ekploitasi cadangan gas bumi cenderung meningkat. Sedangkan untuk energi baru dan terbarukan, meskipun Indonesia memiliki potensi beragam, namun pengelolaan dan penggunaannya sampai saat ini belum dirasakan optimal. Berbagai potensi energi tersebut antara lain: sumber energi nabati, gas, panas bumi, energi nuklir, energi surya, energi angin dan energi laut. Di sisi lain, Indonesia yang dulu merupakan negara pengekspor minyak saat ini telah berubah menjadi negara pengimpor minyak (net-importing country).

Saat ini cadangan minyak bumi di Indonesia diperkirakan 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun. Cadangan gas diperkirakan 170 TSCF (trilion standart cubic feed) sedangkan kapasitas produksi mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed). Cadangan batubara diperkirakan 57 miliar ton dengan kapasitas produksi 131,72 juta ton per tahun. Krisis energy sudah menjadi ancaman yang sangat nyata yang ada di depan mata Indonesia. Diperlukan kebijakan dan langkah-langkah strategis pemerintah dalam menyikapi ancaman krisis energi dimasa mendatang dan mengoptimalkan potensi sumber energi nasional, konsep ketahanan energi menjadi sangat penting bagi Indonesia. Untuk itu, Pemerintah Indonesia harus menciptakan kebijakan-kebijakan terkait masalah krisis energy di Indonesian, banyak cara yang dapat diambil pemerintah Indonesia, antara lain: pengembangan kebijakan energi yang bertumpu pada kebutuhan, menekan subsidi minyak bumi seminimal mungkin, pembaharuan kebijakan energi yang bertujuan untuk memperkuat tata kelola sektor energi nasional dan memperkuat kerangka legislasi dan kebijakan diversifikasi energi melalui pengembangan energi baru dan terbarukan.

Dalam hal ini, peran sarjana teknik kimia dalam menghadapi krisis energy dan peralihan ke energy alternatif di Indonesia adalah dengan mengejar ketertinggalannya di dalam penguasaan iptek dalam waktu yang relatif cepat. Menyadari bahwa perkembangan iptek di dunia sangatalah cepat dan hal ini tidak diiringi kesiapan kita dalam menghadapi itu semua, hal ini mengharusan kita agar dapat berakselerasi agar mampu mengembangkan suatu energy baru dan terbarukan.

Masalah Energi Indonesia dan Alternatif Solusi Terintegrasi Permasalahan energi di Indonesia semakin kompleks dan mendesak, tidak hanya untuk diperhatikan tetapi juga untuk dicarikan dan diterapkan jalan keluarnya. Hal ini sudah jelas disebabkan karena permintaan (demand) akan energi, baik dalam bentuk BBM maupun listrik terus meningkat melebihi kapasitas produksi di dalam negri.

Menurut data dari www.bp.com, Indonesia secara resmi telah beralih dari negara surplus minyak menjadi negara pengimpor minyak (net oil importer country) sejak tahun 2004. Sehingga, perlu dipikirkan bagaimana menghemat pemakaian BBM untuk pembangkit listrik sekaligus mencari metode baru untuk menghasilkan bahan bakar alternatif yang bisa menggantikan BBM (terutama bensin dan solar) yang saat ini lazim dipakai.

Mengurangi konsumsi BBM

Mengurangi pemakaian BBM untuk membangkitkan listik berarti ada tambahan BBM yang dapat dialokasikan ke sektor transportasi. Pemakaian BBM untuk pembangkit listrik dapat dikurangi jika ada sumber energi lain yang dapat digunakan untuk menghasilkan energi listrik.

Sebagai contoh, penggunaan batubara dan gas bumi (yang selama ini hanya difokuskan untuk ekspor) untuk pembangkit listrik menggantikan BBM terbukti mengurangi pemakaian BBM untuk pembangkit listrik, dari 34 persen kompas.com, 5 Juni 2006) pada tahun 2006 menjadi 29 persen pada tahun 2008 kompas.com, 4 Juni 2008). Walaupun metode ini terbukti efektif mengurangi konsumsi BBM, tetapi polusi yang dihasilkan dari pembakaran batubara cukup parah, sehingga dibutuhkan alternatif energi lain yang lebih ?bersih?.

Sebagai alternatif lain, potensi energi geotermal Indonesia yang sebesar 27.000 MegaWatt (atau 40 persen potensi energi geotermal dunia) merupakan yang terbesar di dunia.

Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2008, tidak sampai 8 persen potensi energi geotermal yang dimanfaatkan untuk PLTPB, padahal dari potensi energi panas bumi saja sudah hampir mampu untuk mencukupi kebutuhan listrik di Indonesia tahun 2008 yang sekitar 29.000 MW, atau bahkan lebih dari seperempat kebutuhan listrik Indonesia tahun 2020 yang diproyeksikan sebesar 100.000 MW.

Alternatif ketiga adalah penggunaan nuklir untuk membangkitkan listrik. Terlepas dari perseteruan antara WALHI vs BATAN seputar pemanfaatan nuklir untuk PLTN, data badan energi A.S. tahun 2006 menunjukkan bahwa fuel cost untuk energi nuklir merupakan yang terendah (US$ 0,0172 per kWh), di bawah batubara yang US$ 0,0237 per kWh ; sementara minyak bumi adalah yang tertinggi (US$ 0,0963 per kWh). Hanya saja, biaya operasi dan maintenance untuk PLTN masih lebih tinggi daripada batubara. Pemerintah sendiri berencana membangun sampai 3 PLTN dengan total kapasitas minimal 3.000 MegaWatt, dan diharapkan bisa mulai beroperasi pada tahun 2016. Indonesia sendiri ternyata memiliki cadangan uranium yang luar biasa melimpah di Papua, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Alternatif lain yang mungkin bisa diperhatikan adalah potensi biomass sebagai sumber energi. Masyarakat Indonesia sendiri sudah memanfaatkan biomass untuk memasak sejak dahulu, yang umumnya berasal dari batok kelapa, kayu bakar, serbuk gergaji, maupun sekam/merang padi. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Tengah saja berpotensi menghasilkan listrik lebih dari 200 MW. Belum lagi biomass yang berasal dari tempat dan sumber lain di Indonesia, seperti sekam padi dan ampas tebu. Pengadaan listrik dari biomass juga dapat mengurangi pengangguran, karena dapat digolongkan sebagai kegiatan padat karya.

Adapun energi panas matahari juga cukup menjanjikan. Pulau Kalimantan yang terletak di khatulistiwa mendapatkan intensitas radiasi matahari yang konstan sepanjang tahun. Di pulau Kalimantan, intensitas puncak radiasi pada tengah hari bisa mencapai 1,02 kW/m2. Dengan asumsi efisiensi terendah (15 persen) dan luas panel 400 m2, maka potensi daya maksimum yang bisa dibangkitkan adalah 61,5 kW (atau rata-rata harian sebesar 20 kW). Kendala dari pembangkit listrik tenaga surya ini adalah hanya dapat beroperasi jika ada sinar matahari.
Pilihan lainnya yang akan dibahas di sini adalah penggunaan incinerator. Incinerator adalah sejenis pembangkit listrik yang menghasilkan energi listrik dari pembakaran sampah. Setiap 250 ton sampah per harinya dapat menghasilkan energi listrik sekitar 6,5 MW. Artinya, jika 40 persen dari sampah di Jakarta yang produksinya sampai 12.000 ton per harinya dapat diumpankan ke incinerator, maka energi listrik yang dibangkitkan dapat mencapai 125 MW. Keuntungan lainnya adalah dapat mengurangi volume dan berat sampah sedangkan kerugiannya adalah dapat menghasilkan senyawa deoxin yang berpotensi memicu kanker. Tetapi, dengan teknologi sekarang, emisi deoxin ke lingkungan dapat dikurangi sampai 99,7 persen.

BBM Alternatif

Sebagai tambahan, produksi BBM melalui metode alternatif seperti BBN (Bahan Bakar Nabati) berupa biodiesel dan bioethanol serta BBM sintetis dari proses coal liquefaction (destilasi cair batubara) perlu juga mendapat perhatian, mengingat Indonesia adalah negara pengekspor batubara kedua terbesar dunia, dan akan lebih baik jika batubara ini diproses di dalam negri menjadi BBM sintetis (premium dan solar) untuk memenuhi kebutuhan BBM domestik daripada sekedar mengekspornya ke luar negri.

Semoga para elite politik dan capres yang sedang bersaing juga memperhatikan masalah ini, mengingat masalah energi berkaitan dengan stabilitas dan ketahanan negara. Hendaknya pemimpin negara lebih serius memikirkan alternatif ini, tidak hanya menurunkan harga BBM, memajukan jam belajar sekolah, dan kebijakan lainnya yang sebenarnya tidak tepat untuk mengatasi krisis energi di Indonesia.

Penulis: Arip Pembawa, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran

Exit mobile version