Site icon SuaraJakarta.co

Dua Imam Mahdi dan Perang Dunia Ketiga

Ilustrasi. (Foto: IST)

Oleh: DR.H. Abdul Chair Ramadhan, SH,MH,MM. (Doktor Hukum Ketahanan Nasional dan Pengurus MUI Pusat)

Iran sebagaimana dipahami oleh sebagian orang adalah sebagai negara Islam dengan sistem republik yang mengusung perlawanan terhadap zionis Yahudi (Israel) dan menentang hegemoni barat (Amerika Serikat), namun sejatinya penuh dengan kebohongan. Perlawanan hanya sebatas simbol belaka, Syiah tetaplah Syiah sebagai penghianat. Sejarah telah membuktikan bahwa kaum Syiah selalu berkhianat, Syaidina Hasan ra dan Syaidina Husein ra adalah korban penghianatan Syiah. Perang Karbala adalah penghianatan terbesar kaum Syiah yang menyebabkan Syaidina Husein ra gugur sebagai syahid di Padang Karbala. Begitu pun Revolusi Khomeini tahun 1979 – yang berhasil menggulingkan rezim Shah Pahlevi-hanyalah sebagai pintu masuk (entry point) penyebaran ideologi Syiah secara massif dan ofensif, sistematis, terstruktur dalam sistem pemerintahan Iran melalui perwakilannya (Kedubes) di berbagai negara.

Khomeini telah berhasil membangun geopolitik dan geostrategi Syiah Iran dalam masa kekosongan kepemimpinan politik Syiah yang dimulai sejak ghaibnya Imam kedua belas (klaim Imam Mahdi). Padahal, Imam Mahdi yang dimaksud tidaklah ghaib sebagaimana diklaim Syiah, tegasnya suatu a-historis. Kebenaraan Syiah dibangun di atas “kebohongan yang dikalikan seribu”. Khomeini bukanlah sosok jenius, taat dan muslim, dia adalah Syiah hedonistic dengan segala kemungkarannya. Dia pula yang merekontruksi gagasan Wilayat al-Faqih versi Muhaqqiq Karaki (W.1561 M), yang sekarang menjadi pilar kekuatan Syiah Iran dan sekaligus ancaman, khususnya bagi kawasan Timur Tengah saat ini dan seluruh negara Islam di dunia pada umumnya.

Konsep Wilayat al-Faqih kemudian oleh Khomeini diterjemahkan menjadi deputi (wakil) Imam Mahdi (Baca: Rahbar) dan dia sebagai Rahbar pertama. Iran melalui Hizbullah telah mampu menjadikan Lebanon sebagai “negara bagian Iran”, adapun Hizbullah bertindak sebagai “negara dalam negara” dan “actor non state” untuk kepentingan negara Iran selaku “penerima manfaat” (beneficiary state). Iran mendukung pemerintahan otoriter Basyar Asad dan pemberontakan suku Houthi di Yaman, serta mendapatkan otoritas “gratis” di Irak dari Amerika Serikat. Semua itu diproyeksikan untuk melemahkan negara-negara kawasan Timur Tengah, khususnya Arab Saudi. Keinginan Syiah Iran untuk menguasai Arab Saudi adalah suatu keniscayaan.

Jika Syiah Iran berhasil menguasai Makkah dan Madinah, maka akan sangat mudah untuk menguasai dunia muslim. Perang adalah ambisi mereka, dan mereka sangat yakin akan munculnya Imam Mahdi yang ditunggu sejak lama guna membalaskan dendam atas hancurnya kekaisaran Persia yang mereka agungkan. Tidaklah mengherankan, jika mereka menginginkan krisis kawasan Timur-Tengah. Terjadinya “Arab Spring” sangat menguntungkan posisi Syiah Iran.

Kekuatan militer mereka terus bertambah, belum lagi proyek pengayaan nuklir yang mencemaskan dunia, selain juga memiliki bargaining position atas jalur minyak dunia. Kita ketahui, saat ini kondisi di Suria demikian tidak menentu, pemerintahan Lebanon juga tidak mampu berdaulat dengan adanya intervensi kekuatan militer Hizbullah, di Irak populasi Sunni semakin menipis dan kontrol ada di tangan Iran. Demikian pula di Yaman, pemberontakan demikian hebatnya dengan dukungan Iran. Tidak dapat dipungkiri semuanya itu memang diinginkan oleh Syiah Iran guna mempercepat munculnya Imam Mahdi yang mereka klaim. Pada akhirnya dunia akan dikejutkan dengan hadirnya dua sosok Imam Mahdi, yakni: Imam Mahdi versi Sunni dan Imam Mahdi versi Syiah. Pada saat itu dunia tengah menghadapi ancaman Perang Dunia III (Armageddon) dan itu bermula di Suria! Kemudian umat Islam akan berperang melawan Rum (Barat) dan dilanjutkan perang melawan Syiah Iran “The New Persia” dan Yahudi. Sketsa di bawah ini memvisualisasikan uraian di atas.

Exit mobile version