Site icon SuaraJakarta.co

Drama Mak Saeni, Satu Warung Beragam Panggung

Foto: IST

Oleh: Erwin Alfath, Pengamat Politik

Pekan ini Ramadhan kita dibuat ramai dgn kejadian yg dialami seorang ibu penjual nasi yg barang dagangannya diangkut petugas satpol PP krn berdagang pada siang hari di bulan Ramadhan.

Drama ini semakin ramai krn kemudian banyak pihak yg ikut memanfaatkanya sbg panggung utk tampil sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Sampai saat ini saya mencatat, setidaknya ada 3 pihak yg coba memanfaatkan peristiwa ini sebagai ajang utk pementasan lakonnya masing-masing:

(1). Pertama, kalangan JIL.

Seperti biasa, kalangan ini akan langsung menunjukkan sikap alerginya manakala ditemukan peraturan daerah yg menurut mereka “berwangi” Syariat Islam.

Kita tahu bahwa peristiwa ini bermula dari adanya Surat Edaran Walikota Serang nomor 451.13/739-kesra/2015 ttg larangan membuka warung makan pada siang hari selama bulan Ramadhan.
Bagi kalangan JIL dan dan kelompok sejenis, Surat Edaran tsb dianggap sbg bentuk intervensi negara kepada warganya. Apa urusannya negara mengatur-atur org yg mau beribadah atau tidak? Begitu pola pikir mrk.

Tapi apa iya mereka begitu anti dgn intervesi negara kepada kehidupan beragama warganya? Mari kita lihat.
Sebenarnya Surat Edaran sejenis jg bisa ditemukan di daerah lain yg mayoritas penduduknya non-muslim. Misalnya Instruksi Bupati Jayawijaya nomor 03 tahun 2013 tentang larangan aktivitas perdagangan di hari minggu.

http://tabloidjubi.com/2014/11/03/tak-taati-instruksi-bupati-mama-mama-berjualan-di-hari-minggu-disweeping/

Kenapa dilarang berdagang di hari minggu? Karena hari minggu adalah hari beribadahnya ummat kristiani, sbg pemeluk agama mayoritas di sana. Ummat kristiani tentu saja tidak ingin ada aktivitas lain yg berpotensi mengganggu kekhusyuan mrk dlm beribadah. Maka dipakailah ‘tangan’ negara utk menjaminnya.

Lalu apakah kalangan JIL ini bersuara menentang instruksi Bupati tsb sebagaimana mrk menentang perda2 syariah? Nyatanya tak pernah kita dengar protes dari mereka mengenai hal ini.

Jadi sebenarnya drama ini justru makin membuka kedok kalangan JIL yg senantiasa mencari panggung utk terus mendeskreditkan Islam.

(2). Kedua, Kalangan Politisi.

Para politisi memang harus pandai-pandai memanfaatkan situasi dan peristiwa yg menyedot perhatian publik secara luas, apalagi kemudian jika peristiwa tersebut di blow up secara masif oleh media.

Muncul di media, apalagi pada peristiwa2 yg menyedot perhatian publik, merupakan strategi utk mendongkrak popularitas. Para politisi paham betul bahwa tanpa popularitas, mustahil bicara soal elektabilitas. Dan untuk bisa muncul di media, tentu saja bukan merupakan iklan gratis. Sebab ada harga yang harus dibayar kepada para pemilik media.

Setya Novanto (SN), ketua umum Partai Golkar, termasuk politisi yg memanfaatkan panggung drama mak Saeni ini.

Tiba-tiba saja SN merasa perlu utk bertemu dgn mak saeni dlm waktu secepatnya. Entah agenda apa yang akan dibicarakan pada pertemuan “penting” tsb. 😜

http://m.detik.com/news/berita/3231443/ketum-golkar-berencana-kunjungi-ibu-warteg-yang-dirazia-satpol-pp-di-serang

Nampaknya sebagai nahkoda baru yg merubah haluan Partai Golkar yg akhirnya merapat ke pemerintah, SN memerlukan panggung utk memperbaiki citranya yg sempat dibully dgn hestek #PapaMintaSaham oleh buzzer jokowi ketika Partai Golkar, saat dipimpin Abu Rizal Bakrie, berada dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yg senantiasa kritis thdp pemerintah.

Dengan menunjukan sikap yg sama dgn jokowi dlm drama ini (nanti kita bahas), SN berharap kiranya para pendukung Jokowi yg dulu antipati terhadap dirinya, kini bisa menerima kehadirannya sebagai anggota keluarga baru mereka.

Selain SN, politisi yg jg manggung melalui peristiwa ini adalah ketua MPR, Zulkifli Hasan (ZH), yg jg sukses mengantar PAN merapat ke pemerintah pasca dirinya terpilih sbg ketua umum PAN.
“Zaman begini tentu tidak boleh lagi terjadi apa yang dialami oleh Ibu Saeni. Cara-cara yang kasar begitu, tentu enggak zamannya,” ujar Zulkifli di rumah Agung Laksono, Jl Cipinang Cempedak, Jaktim, Minggu (12/6/2016) malam.

“Kan kita ini punya Pancasila, kalau ada perbedaan diberi tahu secara musyawarah mufakat dengan baik. Zaman gini tidak ada toleransi perlakukan otoriter, keras, kasar seperti itu,” tutur dia.

http://m.detik.com/news/berita/3231473/ketua-mpr-ingatkan-tentang-pancasila-ke-satpol-pp-yang-razia-ibu-warteg

Pernyataan yg tidak pernah kita dengar ketika ahok menggusur ratusan rumah warga di Kp. Pulo dan Kp. Aquarium Luar Batang dgn cara2 yg juga otoriter, keras, dan kasar.
#CarMuk

(3). Kalangan Pemerintah.

Semangat otonomi daerah memberikan porsi kewenangan yg luas kepada pemerintah daerah utk mengatur daerah yg dipimpinnya sesuai kearifan lokal masing2. Spt Aceh yg kental dgn nuansa Islamnya, Papua yg kental dgn nuansa kristennya. Bali yg kental dgn nuansa hindunya. Inilah semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Jadi sangat lucu ketika Mendagri menyalahkan Pemda yg justru konsisten menjalankan peraturan yg menjadi kewenangannya.

Apalagi Serang adalah wilayah mayoritas muslim yg dikenal dgn julukan Kota Santri, sehingga wajar jika pemerintah setempat membuat peraturan yg berpihak dan mengutamakan kepentingan publik mayoritas yg lebih luas.

http://www.pojokonline.com/2015/05/julukan-unik-kota-kota-di-indonesia.html?m=1

Tindakan Satpol PP kota Serang yg melakukan penindakan terhadap siapapun yg melanggar peraturan harusnya dilihat dalam konteks penegakan wibawa hukum (Law Enforcement). Bukan dilihat dari kacamata “baper” akibat sihir media.
Jika wibawa hukum tidak ditegakkan, lalu dgn apa negara ini diurus dan diatur? Justru jika Pemda tidak melakukan tindakan, maka Pemda dapat dianggap telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran. Dan ini adalah contoh buruk dlm penegakan hukum.

Dan akhirnya Drama Mak Saeni ini mencapai klimaksnya ketika Jokowi, sbg org nomor satu di republik, ikut meramaikan suasana dgn turut memberi donasi secara langsung kepada si mak melalui utusannya.

Seperti biasa, bahkan spt jauh2 hari sebelum Jokowi terpilih, para kuli tinta ‘bayaran’ (iya lah…kan terima gaji bulanan) saling berlomba utk mengabadikan dan mengabarkan “kedermawanan” Jokowi ini.

http://m.detik.com/news/berita/3231479/presiden-jokowi-sumbang-uang-untuk-ibu-warteg-di-serang

Maaf ya warga Kp. Aquarium, anda tidak kebagian duit 10jt dari Jokowi.

Tapi menurut saya ada yg lebih berharga ketimbang uang 10jt, yaitu anda menjadi paham ttg siapa Jokowi sebenarnya, meski bisa jadi dulu anda pernah memilihnya saat pilkada DKI atau pilpres. Biaya kesadaran itu mahal. Tak terbeli dgn recehan.

Ternyata eeh.. ternyata, Drama Mak Saeni ini bisa juga dimanfaatkan sbg panggung pengalihan dari headline media-media massa yg belakangan terus berisik menyuarakan jeritan rakyat yg jungkir balik akibat ketidakmampuan pemerintah utk meredam harga2 yg terus meroket.

Padahal, kenaikan harga yg diakibatkan tingginya konsumsi masyarakat tiap menjelang hari raya ini bukanlah merupakan “Kejadian Luar Biasa”. Ia adalah siklus tahunan yg terus berulang. Sehingga seharusnya sudah ada langkah2 antisipasi yg lebih jelas dan terprogram dari jauh2 hari. Bukan sekedar mengambil jalan pintas : impor.

Sapi impor….
Ikan impor….
Bawang impor….
Beras impor….
Gula impor….

Sudahlah….kalau benar ingin jadi pahlawan, jadilah pahlawan bagi 250jt rakyat Indonesia. Bukan pahlawan recehan yg ngurus drama remeh temeh kayak gini. !!!!

Exit mobile version