Oleh: Ubaidillah, Pengamat Lingkungan Perkotaan
Banjir rob (air laut pasang) yang terjadi dikawasan Pluit Penjaringan Jakarta Utara pada Jumat (3/6) hingga kini adalah merupakan banjir rob terbesar sejak peristiwa amblesnya (abasi) jalan RE.Marthadinata Jakarta Utara pada September 2010 yang juga akibat rob.
Banjir rob yang terjadi dibulan Juni ini, telah menyita perhatian publik oleh karena terjadi di pemukiman super elite Pantai Mutiara dan Regatta Pluit Penjaringan Jakarta Utara. Banjir rob yang dikatakan sebagai fenomena alam tersebut mencapai ketinggian 30-100 cm, telah menghantam dan menjebol tanggul pelindung kawasan pantai Mutiara yang berakibat masuknya air laut embanjiri perumahan super elite tersebut.
Untuk diketahui pantai Mutiara merupakan kawasan pemukiman super elite tepi pantai hasil reklamasi tahun 2006, dimana setiap rumah umumnya memiliki fasilitas akses langsung terhubung ke laut dengan kendaraan perahu “jet sky” atau transportasi air lainya yang ada di garasi setiap rumah. Gubernur DKI Jakarta Ahok adalah salah satu penghuni perumahan pantai Mutiara. Kawasan pantai Mutiara selain perumahan juga terdapat menara kembar empat tepi pantai yang dikenal dengan sebutan apartemen Regatta.
Banjir rob selain menggenangi kawasan pantai Mutiara pluit, juga menyasar kawasan rentan langganan terdampak banjir rob seperti Marunda Cilincing, Pademangan, Muara Baru, Muara Angke, Kapuk dan Kamal Muara. Jika pantai Mutiara hasil reklamasi bibir pantai dengan teknologi yang dibanggakan masih memungkinkan dan rentan terhadap ancaman bencana (pasang rob), bagaimana dengan pulau buatan hasil reklamasi?.
Bagi masyarakat pesisir muara angke dan warga yang bermukim di pesisir utara Jakarta lainnya yang rencananya akan digusur karena alasan rob, apakah menggusur dan membuat tanggul merupakan jalan satu-satunya sebagai solusi yang berkelanjutan (Sustainable) ?.
Sesungguhnya penanggulan pantai untuk mencegah masuknya air laut dan antisipasi air laut pasang (rob) tidak berkaitan dengan keberadaan masyarakat pesisir yang sudah ada bermukim dan berbudaya sejak lama. Dalam arti tidak berkaitan adalah bahwa jika pemerintah atau swasta ingin membuat tanggul adalah memungkinkan membuat tanggul, namun bukan berarti menggusur. Kewajiban negara adalah menjamin keselamatan rakyatnya dan memenuhi hak rumah sebagai tempat tinggal sesuai Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, dan yang terpenting adalah proyeksi peruntukan ruang pantai yang adil dan proporsional bagi nelayan dan kawasan lindung.
Kalaupun suatu keadaan dimana masyarakat mengharuskan direlokasi, namun bukan berarti direlokasi secara permanen. Relokasi pemukiman masyarakat (sementara) sangat memungkinkan dengan maksud menata ulang dan memperbaiki demi lingkungan yang baik dan sehat serta terhindar dari potensi bencana. Jika telah selesai ditata ulang, masyarakat yang direlokasi tersebut dikembalikan ketempat sebelumya yang sudah tertata dan layak huni.
Persoalaan pesisir pantai Jakarta, bukan cuma banjir rob dan bukan pula tanggul solusinya. Banjir rob hanya salah satu konsekwensi yang terjadi atas kesemrawutan dalam tata kelola sumberdaya dan penataan ruang kawasan pesisir Jakarta. Selain rob masalah lainya dimaksud seperti fenomena perubahan iklim, abrasi pantai, sampah dan limbah, intrusi air laut, penurunan tanah, hancurnya ekosistem pantai laut, krisis air bersih, kandungan logam berat yang terdapat pada tangkapan ikan dan budidaya kerang nelayan teradisional, hingga ancaman hilangnya cagar budaya dan situs sejarah.
Banyaknya persoalan tersebut disebabkan oleh karena tata kelola kawasan pesisir Jakarta mengabaikan daya dukung lingkungan dan peruntukan ruang yang tidak adil, dimana jika diperhatikan faktanya garis pantai Jakarta sepanjang 32 km yang membentang dari barat ujung Kamal Muara Penjaringan hingga ke timur ujung Cilincing, ruang lahan pantai lebih didominasi oleh pusat industeri, pelabuhan, tempat rekreasi komersil dan hunian eksklusif (superblok). Jakarta tidak lagi memiliki pantai publik geratis (hakikatnya pantai adalan milik publik) dan hanya menyisakan sedikit lahan konservasi hutan mangrove /bakau. Hutan mangrove dimaksud ada di dua titik area, area pertama kawasan barat di hilir sungai muara angke yang dikelola oleh Suaka Margasatwa BKSDA dan kedua kawasan timur di Marunda Cilincing.
Karenanya diperlukan keseriusan (political will) dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat, sebagai solusi dalam upaya pemulihan (restorasi) pantai secara keseluruhan dengan proyeksi peruntukan ruang yang proporsional bagi kebutuhan konservasi. Memenuhi kebutuhan konservasi dan restorasi pantai berupa hutan mangrove yang berfungsi sebagai “Green Belt” itulah yang akan menstabilkan lahan dari abrasi, meminimalisir penurunan tanah, mencegah semakin jauhnya intrusi air laut, menahan gelombang pasang rob, menetralisir pencemaran dan sebagai muara sumber air baku, tempat tumbuh kembang kehidupan biaota, serta melestarikan kehidupan kearifan lokal masyarakat pesisir (bukan malah menggusurnya).
Dengan demikian azas keadilan dalam memenuhi garis sipadan sungai, situ, maupun pesisir juga tidak boleh diskriminasi,bukan hanya menggusur masyarakat di bantaran sungai dan pesisir pantai, tetapi juga wajib membongkar bangunan permanen megah yang jelas berada di garis sipadan sungai seperti mangga dua squer dan WTC mangga dua, termasuk bangunan mewah pantai Mutiara yang melanggar batas pantai.