Site icon SuaraJakarta.co

Bagiku Indonesia Bukanlah Sekedar Bangsa, Melainkan Sebuah Puisi

Foto: Istimewa

SuaraJakarta.co, OPINI – Sungguh nikmat rasanya lahir di negeri permai nusantara ini. Negeri yang jelas berbeda dengan bangsa manapun dalam segala hal—dalam harta kekayaan alam, kekayaan budaya, ilmu pengetahuan dan yang tak kalah penting dalam kekayaan ‘cinta’. Cinta yang kini bersemayam entah dimana, aku tak tahu. Mungkin tengah terkubur bersama romantisme masa lalu, masa kejayaan Majahapit atu lebih jauh, masa anarki klasik yang hidup dalam suasana bahari. Tapi keyakinanku masih ingin berkata—bahwa cinta itu kini bukanlah bersemayan, melainkan mati dibunuh secara keji, ditikam dengan dan oleh penguasa bengis—alias budak-budak iblis. Mereka memainkan trompet orkestra iblis lewat pendidikan, mereka diproduksi buat menjadi budak-budak pemilik modal raksasa, dan sejatinya kita sadar—tertutupnya hati para birokrat, para pejabat, para raja-raja kecil bukan karena kehendak murni. Tapi karena cinta mereka telah terokoptasi dengan kepalsuan, kenistaan, kemunafikan yang dikondisikan oleh kekuasaan yang tak kasat mata. Siapa mereka? Apa yang mereka ingin tuju? Apa guna melakukan semua ini? Kita musti tau dan mengabarkanya keseluruh pelosok Negeri permai ini.

Sebuah puisi tentulah barang yang pasti jamak, dipahami umum sebagai sebuah keindahan kata-kata. Menggambarkan panorama kehidupan dari sisi terang sampai dengan gelapanya. Dalam hal ini Indonesia ialah pengandaian dari sebuah pesan yang ingin puisi sampaikan, betapa tidak, siapa manusia yang kuasa menolak kemolekan negeri ini, negeri yang seksi, yang rawan diperkosa pasca kedatangan Portugis 4 abad lalu. Indonesia adalah keniscayaan juga sekaligus kehendak Tuhan—untuk berdiri dan merdeka—tak terjajah dan tak pula menjajah. Tapi apakah konsep ideal di kepala kita, sudah demikian miripnya dengan kenyataan yang kita lihat lewat pancaindera, atau mungkin pancaindera kita menyesatkan realitas sesungguhnya.

Siapa mereka? Mereka yang telah merenggut cinta kita ialah sekumpulan ‘budak’ Iblis yang tak menyadari tentang “keiblisan” mereka. Sebut saja produk-produk dalam dan luar negeri yang mempunyai perusahaan raksasa di negeri ini, mereka melakukan tipu daya, dengan berkomplot dengan wakil rakyat. Mereka buat regulasi, undang-undang yang mempermudah tujuan mereka. Undang-undang investasi, undang-undang tentang eksplorasi dan lain-lain. Sedemikan liberalnya undang-undang turunankan kita. Ini adalah sebuah pencapaian yang fantastis bagi para kaum liberal, terutama blok barat sebagai penganutnya. Tapi lebih dari sekedar soal ekonomi, para iblis ini tak hanya membuat ketimpangan sosial dan ketimpangan ekonomi, mereka mengelabuhi manusia lewat alam bawah sadar kita, lewat berbagai macam sugesti yang dibangun lewat trend, fashion, musik, budaya, gaya hidup, semua unsur kehidupan di komodifikasi sedemikian hebat. Sehingga manusia terpatri dalam pertauan antara komoditas dan harga diri/gengsi. Eksploitasi semakin tak terlihat dengan kasat mata. Semua bentuk selera masyarakat ditentukan oleh pasar, seolah kita diberi kebebasan, padahal kita dipaksa memilih keterbatasan dalam pilhan. Passion kita tak tersalurkan, hany mereka yang memiliki akses saja yang mampu mencurahkanya, yang tak lain akses tersebut adalah uang, uang dan uang. Uang seolah menjadi tuhan baru diantara kita. dugaan terkuat Adam Smith sebagai bapak ekonomi kapitalis bersama David Ricardo sedang uncang-uncang kaki dan dikipasi oleh bidadari hitam di neraka sambil menonton parodi satir yang berlangsung di bumi Indonesia ini.

Renungkan sejenak, refleksi atas apa yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari, dalam dunia kerja, pendidikan dan hal lainya. Tidak bermaksud untuk medramatisir atau menghiperbola keadaan. Tapi kesangsian saya berkata demikian. Pembacaan atas buku ilmiah yang saya elaborasi dengan observasi langsung dan—penghayatan hati yang mendalam, membawa pada sebuah hipotesa—bahwa negara ini “cacat”, cacat infrastruktur politik, cacat mental personalitas, cacat kepribadian dan cacat budaya politik.
Bukan sembarang bicara, tapi kecacatan tersebut dapat dilihat begitu terang—lewat perilaku politik yang disungguhkan di layar kaca misalnya, memang tak sepenuhnya benar. Tapi apa ada hal yang bisa menyangkal tentang data kebijakan pemerintah, pengaruh, dampak, keuntungan dan kerugianya. Belum lagi skandal dan persoalan KKN yang begitu bahayanya, lobi-lobi politik transaksional, partai pragmatis, mengesampingkan etika dan filsafat politik. Narasi yang mereka (pemerintah) gaungkan tentang nawacita, revolusi mental dan sebaginya membuat semakin terkaburkan, sebab objek dan subjek dari narasi tersebut tidak jelas, artikulasi dan pengejawantahanyapun tak tergambarkan. Toh, sampai dengan saat ini, keberpihakan pemerintah jelas terhadap, dan untuk siapa? Berapa aset negara yang telah dikuasai swasta, milik siapa surat berharga yang beredar pasar saham, berapa persen saham pemerintah di PT. ANTAM, kepada siapa Blok Mahakan akan dikelola, beranikah Indonesia berjudi di Freeport dengan menasionalisasikanya. Pemerintah terjebak spekulasi yang teramat hati-hati dan rela melanjutkan budaya import.

Tapi setiap generasi melahirkan generasi baru, pada setiap cinta yang telah binasa, lahirlah cinta-cinta baru yang senatiasa menerangi gelapnya Indonesia. Kita hanya perlu memelihara, merawat, dan menjaganya, lalu sebarkan cinta itu kepelosok Indonesia, yang belum bersentuhan dengan ‘manisnya’ pembangun kota, kabarkan semuanya, kabarkan dengan cinta dan semangat EMANSIPATORIS. Sampaikan dengan demokratis, berbagi dengan sosialis dan mengharmonikanya dengan spiritualitas. Pernah seorang bijaksana dari Yunani bernama Plato berkata, begini kira-kira, “yang memalukan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ketidakmauan untuk belajar” artinya sungguh memalukan sekali jika kita diam dan menutup mata—sambil pura-pura tak mendengar, tak ubahnya penari erotis yang dijadikanya boneka bagi para penghisap keadilan dan distributor kepalsuan.

Penulis: Villarian, Ketua Biro Kajian PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, KOMFISIP) dan Pegiat Komunitas LiNTAS (Lingkar Studi Tangerang Selatan)

Exit mobile version