SuaraJakarta.co, OPINI – Sudut pandang baru presiden Jokowi terhadap arah layar ekonomi dalam negeri ternyata belum mampu memberikan signal positif terhadap perbaikan ekonomi, khususnya dalam hal keberpihakan terhadap rakyat kecil. Satu semester lebih kinerja ekonomi dijalankan kabinet Jokowi, namun berbagai indikator utama justru mengalami penurunan. Angin segar terhadap cara pandang ekonomi yang dibingkai cantik dalam ‘Nawacita’, ternyata belum mampu menggenjot kelajuan ekonomi ditengah kecemasan domestik menuju pasar bebas ASEAN.
Narasi Kemunduran
Semester pertama kinerja ekonomi, dilalui dengan berbagai turbulensi yang semakin kompleks. Masalah global dan domestik tidak henti-hentinya mengganjal roda perekonomian nasional. Instrumen ekonomi yang sering dijadikan penilaian utama mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan dari tahun-tahun sebelumnya. Teknokrat ekonomi yang tergabung dalam kabinet kerja pun belum juga menunjukkan perbaikan kinerja. Setidaknya beberapa indikator penting mengalami kemunduran dengan berbagai asbab.
Pertama, reformasi anggaran APBNP 2015 dengan meningkatkan alokasi PMN (untuk BUMN), pengucuran dana desa, dan pemangakasan (besar-besaran) terhadap pagu subsidi energi, membuat ruang fiskal terasa kian longgar. Sayangnya, perluasan ruang fiskal (dan relokasinya ke sektor-sektor strategis) tersebut, tidak dibarengi dengan daya serap yang baik. Selama Triwulan 1 2015 realisasinya hanya 18,5% dari total anggaran belanja negara. Hal ini juga diperparah dengan kinerja penerimaan pajak yang baru mencapai 29,13% dari jumlah fiskal yang ditargetkan pemerintah.
Kedua, Rupiah mengalami depresiasi sampai pada tingkat yang cukup menghawatirkan. Mata uang garuda tidak berdaya melawan kedigdayaan dolar hingga pada level Rp 13.396 per dolar AS, ini menjadi nilai terburuk sejak krisis moneter pada tahun 1998. Pelemahan mata uang domestik ini menambah belenggu bagi pelaku usaha dalam negeri, selain harus menebus bahan baku yang semakin mahal, para pengusaha juga harus menyiasati suku bunga yang tinggi, daya beli masyarakat yang anjlok dan desakan kenaikan upah dari buruh (akibat harga pokok yang kian melonjak).
Ketiga, sampai April 2015 kinerja perdagangan luar negeri Indonesia belum menunjukkan rapor yang bagus. Terjadi penurunan ekspor ke luar negeri sebesar 11,01% yoy, dan impor pun menurun hingga 17,03%. Surplus neraca perdagangan yang terjadi pada Triwulan 1 hanyalah ilusi sesaat, sebab hal itu terjadi bukan karena membaiknya kinerja perdagangan ke luar negeri (ekspor), melainkan karena melambatnya sektor impor. Keempat, tren pertumbuhan ekonomi tinggi yang ditorehkan kabinet SBY, ternyata belum bisa dilanjutkan dengan baik oleh pemerintahan selanjutnya. Pada Triwulan 1, ekonomi nasional hanya tumbuh sebesar 4,7%, paling rendah sejak tahun 2009. Hal ini tidak terlepas dari merosotnya konsumsi rumah tangga yang (selama ini) menjadi andalan pada komponen Produk Domestik Bruto. Merosotnya konsumsi rumah tangga disebabkan karena anjloknya daya beli masyarakat akibat melonjaknya harga-harga kebutuhan pokok, yang antara lain dipicu oleh naiknya harga BBM dalam beberapa bulan terakhir.
Sayangnya, pertumbuhan ekonomi yang rendah juga seringkali dipadukan dengan kualitas pertumbuhan yang buruk. Pertumbuhan ekonomi yang seyogyanya menjadi indikator pertumbuhan kesejahteraan, justru malah menciptakan penyakit sosial bernama kesenjangan. Setidaknya dalam 15 tahun terakhir persebaran pertumbuhan ekonomi selalu sama, sektor non tradeable tinggal landas dengan tumbuh selalu diatas rata-rata pertumbuhan nasional. Sektor keuangan, asuransi, transportasi, telekomunikasi dan sektor lainnya (yang tidak banyak menyerap tenaga kerja) selalu menjadi penyokong tingginya pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, sektor tradeable (seperti industri dan pertanian) yang padat akan tenaga kerja tumbuh seadanya akibat ketiadaan insentif dari pemerintah. Implikasinya sudah bisa ditebak, pengangguran sulit direduksi, kemiskinan semakin berkibar tinggi.
Tentu saja, buruknya kualitas petumbuhan ekonomi tidak boleh dibiarkan terus-menerus. Pemerintah harus membuat penawar yang cocok agar layar ekonomi terbentang ke arah pertumbuhan dan pemerataan (keadilan). Baik itu pemerataan kemajuan antar sektor ekonomi, pemerataan pembangunan antar daerah, dan pemerataan pendapatan antar kelas masyarakat.
Integritas Ekonomi
Dengan fakta itu, kemunduran ekonomi seharusnya menjadi lampu kuning bagi kabinet kerja Jokowi. Berbagai policy sepertinya harus segera dibuat dan atau direvaluasi, misalnya menyoal pemangkasan subsidi BBM (yang menyebabkan harga-harga melonjak dan konsumsi rumah tangga menurun), reformasi sektor keuangan (dalam keberpihakan terhadap sektor ril, suku bunga dan sebagainya), pemfokusan pertumbuhan pada sektor tradeable, katidakterpaduan antara fiskal dan moneter, ketiadaan interelasi industri dan perdagangan, pencarian negara tujuan ekspor baru, dan lain sebagianya.
Secara menyeluruh, kinerja ekonomi kabinet kerja belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Kecemasan banyak kalangan terhadap kediakmampuan tim ekonomi Jokowi dalam mengelola perekonomian ternyata mulai terbukti, sudah hampir 8 bulan roda ekonomi bergulir, belum ada perubahan signifikan pada perbaikan sendi-sendi ekonomi. Pilihan reshuffle mungkin bisa menjadi cahaya kecil ditengah mendungnya awan ekonomi domestik. Lebih lanjut, Nawacita yang seharusnya menjadi kompas ekonomi, sebagian besar menyublim bersama kabut politik yang masih buram. Pemerintah sudah benar dengan membuat rancangan Nawacita yang pekat dengan afirmasi terhadap masalah perekonomian dalam negeri, namun efektivitas eksekusi masih jauh dari ekspektasi. Sudah saatnya pemerintah membuat blueprint tentang bagaimana Nawacita dapat diaplikasikan secara komprehensif, agar semakin lama pemerintahan berjalan tidak semakin jauh dengan tujuan awal pemerintahan (Nawacita).
Pada akhirnya, cara pandang baru Jokowi tentang ekonomi pedesaan, poros maritim, infrastuktur penunjang dan lain sebagainya, sudah terlanjur menjadi harapan besar di benak masyarakat (kecil terutama). Ada baiknya, ini bukan hanya bumbu pemanis dalam janji regenerasi politik silam, namun benar-benar menjadi acuan akan lahirnya tatanan ekonomi baru yang syarat akan nilai-nilai keadilan.
Penulis: Fikri Ismail, Peneliti Muda Center For Information and Development Studies (CIDES) ICMI