Site icon SuaraJakarta.co

AMBYARNYA PDIP, PRAMONO DAN PILKADA JAKARTA

Orang Jawa menyebutnya ‘wis wayahe’. Sekarang sudah waktunya PDIP memasuki masa kerontokkannya. Pilkada serentak yang dilaksanakan baru-baru ini memperlihatkan ambrolnya PDIP dalam perpolitikan Indonesia. Inilah senjakala itu.

Oleh: Ragil Nugroho

Rabo Pon, 27 November 2024, lonceng kematian bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) telah berdentang. Pada akhirnya PDIP hanya raksasa berkaki lempung  yang bersemanyam di kandang pasir: rontok!

Sejak rakyat Indonesia masuk bilik suara jam 8 pagi sampai jam 1 siang, hanya kurang lebih 5 jam, PDIP hancur berantakan. Kejumawaan selama ini runtuh dalam waktu sekejap. Apa yang sejauh ini digembar gemborkan sebagai kandang Banteng, Jawa Tengah, luluh lantak. Seperti terkena efek domino, basis-basis Banteng seperti Boyolali, Surakarta, runtuh satu per satu.  Itu baru di Jawa Tengah.

Sampai sekarang kita tak tahu kondisi Hasto. Bisa jadi dia masih mencret-mencret akibat kekalahan yang diderita PDIP. Mulai dari Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten, mereka tak berdaya. Begitu pula di Lampung, Sumatera Utara hingga Sulawesi Utara sampai Papua, PDIP kalah. Padahal selama ini Hasto selalu jumawa. Namun begitu kalah, hanya bisa nangis-nangis di depan kamera, merasa teraniaya.

Hasto adalah figur politisi kumpeni. Karakternya adalah mengadu domba, menyebarkan fitnah dan hoaks. Serangan-serangan terhadap Jokowi bukan serangan politik, namun serangan orang yang sudah kalap menghadapi badai politik.  Pun, serangnya kepada kubu lain seperti orang lilung yang tuna nalar.

Kisah Hasto mendekati akhirnya. Posisinya seperti beruk yang terjepit pohon bambu petung. Pada akhirnya kita akan mendapati Hasto diterungku.

Entah kenapa beberapa kali  Hasto mengunjungi Museum Multatuli di Lebak, Banten. Tak mengherankan kalau Hasto akrab dengan penggagas museum itu. Dia datang tentu bukan karena kecintaanya pada Saijah dan Adinda yang tertindas. Hasto bagian dari yang menindas. Memang air matanya sering tumpah seperti bocah yang kehilangan tali mainan. Bukan. Bukan air mata untuk rakyat yang tergusur dan teranianya. Air mata itu untuk menutupi wajah buayanya. Air mata semacam itu memang diajarkan mentornya ketika mengikuti kaderisasi sebulan, dulu.

Dulu para bocah memulai pelajaran mengarang dengan kata “Pada suatu hari.” Kini kita mulai tahu, pada suatu hari Hasto menyembunyikan Masiku di antara jaring laba-laba kaderisasi sebulan. Organisasi ini memang punya pengalaman klendestin. Dibangun di atas pondasi kerja-kerja konspiratif untuk penggalangan dan penghancuran lawan. Tapi tak ada yang abadi. Pada suatu hari semunya terkuak. Upaya Hasto untuk menutupi bau busuk akhirnya menguar juga. Ada angin yang menghembuskannya. Menjalar pada malam-malam pekat di antara kesunyian jalan pulang bagi Hasto.

Kisah Hasto menjelang paripurna. Dia sedang memanen buah yang ditanamnya. Buah yang dia pupuk dengan kotorannya sendiri. Hari demi hari. Sampai dia mencret-mencret di kandang kuda pada malam lebaran. Kita jadi ingat puisi Sitor, “Malam lebaran/bulan di atas kuburan.” Saat itulah kuburan Hasto digali. Orang yang ingat kuburan akan murah air mata, seperti Hasto.

Orang mungkin kasihan kepada Hasto. Hidupnya disibukkan untuk mengotori lawan-lawan politiknya. Dendam selalu dia jaga apinya untuk membakar kebencian. Ini anomali. Yesus Kristus tak pernah mengajarkan itu. Namun Hasto, sebagai seorang Katolik, melakoninya dengan penuh suka cita. Sampai suatu hari dia kesandung tapal batas. Seperti kata Sapardi, yang fana adalah waktu, tapi Hasto tak menyadarinya. Dia terus berusaha menggegam waktu sebagai yang abadi. Padahal nenek moyangnya selalu mengingatkan “ona wayahe/ada waktunya.”

Hasto sedang galau. Kerjanya tiap hari memandangi burungnya. Orang-orang di sekitarnya mulai menjauh. Dia harus memanggul kandang Banteng sendirian. Namun dia bukan Bisma yang bersedia menubus semua dosa Kurawa, dia Yudas yang tak tahu kata berhenti. Hasto adalah pelayar yang tergoda tembang yang dilantunkan oleh Siren. Dan, setelah 27 November, Hasto paham dirinya berada di ujung.

Hajah Megawati Sukarrno Putri juga setali tiga uang dengan Hasto. Dia patriak di tubuh PDIP.  Orang harus sembah sujud dihadapannya. Baginya, semua orang harus menuruti apa maunya. Terkena post power sindrom, Megawati menggangap anggotanya adalah petugas partai. Artinya, boneka Mega. Kau boleh jadi presiden, gubernur, bupati, menteri atau apapun, tapi Meegawati adalah penguasamu selama dirimu berada di kandang Banteng. Dia merasa berada di atas segalanya.

Mega adalah pendedam yang akut. Selalu merasa diri lebih dari yang lain. Dan, tak mau berbagi. Seperti Hasto, sekarang dia memanen kepongahan dan kesombongannya dalam berpolitik. Rakyat mulai sadar bahwa PDIP tidak pernah membela wong cilik. Tak mengherankan kalau semenjak Pilpres hingga Pilkada, PDIP terus ditinggal. Di arus bawah berlaku prinsip: yang penting bukan calon dari Banteng.

Atas babak belurnya kandang Banteng, beberapa jam setelah hasil QC keluar, Megawati segara mengeluarkan pernyataan bahwa Pilkada berlangsung curang. Dia menuding pemerintah melakukan intimidasi terhadap jagoannya. Sepertinya Mega masih linglung setelah keponokannya dicokok polisi dalam kasus judi online. Bisa jadi kasus ini merembet kemana-mana, apalagi sebelumnya salah satu anggota tim sukses Pramono ditangkap duluan, sampai-sampai Rano Karno harus menghapus foto sang tersangka di IG.

Kini PDIP hanya berharap dari Pramono Anung. Ini pertaruhan terakhir. Segala cara ditempuh Pramono untuk menang. Dia gandeng Anies Baswaden yang telah memberaki partainya beberapa tahun lalu. Pramono paksa Ahok untuk berpelukan dengan Anies. Tak mengherankan kalau Ahok merasa tak nyaman. Tak mengherankan pula setelah pencoblosan Ahok masih mengeluarkan stetmen mengungkit Pilkada 2017 ketika dia menjadi korban propaganda ayat dan mayat.

Seperti yang lain, Pramono tidak lebih dari sekadar kacung Megawati. Dia akan tunduk kepada Megawati. Kita sudah paham pemimpin daerah yang menjadi boneka Megawati. Kasus Ganjar di Jawa Tengah dan Koster di Bali yang lebih tunduk kepada Megawati dibandingkan kepada presiden, bisa menjadi bahan pelajaran. Mereka akan lebih sebagai penghambat program-program pemerintah dibandingkan sebagai pendorong kemajuan. Demi kepentingan Pilpres 2029, bisa saja Pramono mempunyai kemungkinan besar menghambat program Prabowo-Gibran. Dia akan menjadi duri dalam daging dalam pemerintahan, musang berbulu domba.

Di tengah kepanikan, muncul usaha agar tercipta bahwa Pramono menang satu putaran. Diperintahkan untuk dibuat video ucapan selamat atas kemenangan Pramono. Seolah-olah rakyat meramaikan kemenangan satu putaran itu. Mereka memakai teknik propaganda ala Nazi. Padahal KPUD belum mengeluarkan keputusan resmi. Kenapa mereka melakukan itu? Karena takut kalah di putaran kedua seperti Ahok dalam Pilkada 2017.

Upaya untuk merontokkan kandang Banteng harus terus menerus kita lakukan. Langkah rakyat untuk mengubur PDIP sudah tepat. Selain konservatif, mau menang sendiri, adigang, adigung dan adiguno, PDIP terbukti sebagai partai yang menghambat kemajuan bangsa.***

Exit mobile version