Site icon SuaraJakarta.co

Politik Ide, Sebuah Utopia?

Foto: Irfan Enjo, Aktivis Sosial Politik

SuaraJakarta.co, OPINI – “Politik itu industri pemikiran”, begitu kata Anis Matta dalam pidato singkatnya, ketika mulai merencanakan pendirian Partai Gelora. Bukan Anis Matta kalau pidatonya ngga bikin kita mikir. Pelan-pelan saya mikir dan merenung, apa maknanya. Ada dua kata penting disini; industri dan pemikiran, nanti coba kita eksplorasi.

Di lain waktu, Anis Matta juga menyampaikan; “Money follow Idea”. Makin mikir saya maksud dan maknanya. Tapi lagi-lagi bukan Anis Matta kalau ngga bikin kita mikir. Biasanya setelah melalui banyak hal kadangkala kita baru mencerna apa yang dimaksud Anis Matta, dengan versi pemahaman dan pengalaman kita sendiri.

Saya teringat Nadim Makarim dengan ide baru yang banyak merubah “habbit” semua orang. Gojek dengan semua ekosistem yang dibangunnya merubah banyak gaya hidup dan kebiasaan orang. Tetapi ide itu bukan sekedar merubah gaya hidup dan kebiasaan orang tetapi secara singkat menjadi industri raksasa yang menghasilkan keuntungan bisnis berlimpah.

Saya juga teringat kisah Elon Musk, orang terkaya di dunia versi Bloomberg Biillionaries Index yang memulai bisnisnya dengan ide-ide baru, selain mobil listrik (Tesla), ide yang fenomenalnya adalah tour ke ruang angkasa. Mobil listrik atau tranportasi berbasis energi listrik kemungkinan akan menjadi trend transportasi masa depan. Selain keterbatasan sumber daya energi  fosil, tranportasi energi listrik ini juga menjadi alternatif solusi pemanasan global dan polusi udara. Dan dunia, sebentar lagi akan masuk pada ekosistem energi listrik.

Nadim Makarim dan Elon Musk adalah contoh bagaimana “money follow idea”, uang mengikuti ide. Kisah mereka berdua mengajarkan kepada kita bahwa “ide” adalah faktor utama dalam bisnis. Disini akhirnya quote; “Politik adalah Industri Pemikiran” menjadi relevan. Industri itu mencakup produksi dan pasar. Dalam politik; ide/pemikiran = produksi, pemilih = pasar. Maka politik adalah menjual ide/pemikiran ke pemilih.

Partai politik dalam terminologi ini harus menjadi pabrik ide, pabrik pemikiran, yang memberikan solusi-solusi pada persoalan bangsa. Apakah ide dan pemikiran partai politik diminati oleh pasar (rakyat pemilih) itu soal yang berbeda. Karena produk bagus belum tentu laku di pasar jika teknik pemasarannya tidak relevan. Produk jelek juga bisa laku jika teknis pemasarannya relevan dengan pasar, tapi apakah produk itu laku dalam jangka panjang itu juga soal lain. Artinya partai politik sebagai subyek dalam politik harus punya “mindset” atau pola pikir industri sekaligus pemikiran.

Jika partai politik didominasi pola pikir industri, maka cara kerjanya cara kerja industri, sangat pragmatis. Mesin politik akan jalan jika ada cuan…cuan…cuan…tanpa ada “value”. Jika partai politik didominasi pola pikir pemikiran, maka cara kerjanya seperti sekedar lembaga “think-tank” cukup menjadi lembaga kajian. Tetapi partai politik harus menjadi pabrik ide dan pemikiran sekaligus menjadi industri yang menjual pemikiran ke pasar yang mendatangkan benefit/manfaat kepada pasar karena solusi-solusinya. Dan dalam waktu yang bersamaan, partai politik bisa menyusun ide-ide dan pemikiran strategis yang punya efek ekonomi dan bisnis, di sisi inilah partai politik akan mendapatkan apa yang dimaksud; “money follow ide”.

Jadi mesin partai tidak jalan karena tidak ada logistik tidak sepenuhnya benar. Bisa jadi logistik tidak ada karena tidak ada ide, tidak ada ide yang menarik masyarakat, tidak ada ide yang menarik investor. Seperti halnya bisnis, harus ada ide kemudian modal. Ada modal tapi tidak ada ide, mesin partai juga ngga akan jalan. Jika jalan juga mungkin tidak akan efektif.

Jadi, mengurus partai di era krisis, di era disrupsi ini memang harus banyak ide, harus banyak mikir, dengan modal yang terbatas. Ingat lagi kisah awal Nadiem Makarim memulai Gojek, Ingat lagi kisah Elon Musk memulai bisnis, dan Ingat juga kata Anis Matta, “Money follow Idea”. [ar]

Exit mobile version