Site icon SuaraJakarta.co

Minta Kepala Daerah Tetap Dipilih Langsung, Fahira Idris Ingin Pilkada Diperbaiki

Fahira Idris

Fahira Idris. (Foto: IST)

SuaraJakarta.co, JAKARTA (22/09/2014) – Senator atau Anggota DPD terpilih asal DKI Jakarta Fahira Idris berharap pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tetap dipilih langsung oleh rakyat, bukan oleh DPRD. Menurutnya, jika sistem pilkada diperbaiki dan ditata lebih baik, pilkada bisa diselenggarakan dengan efisien dan efektif sehingga bisa mengikis ekses-ekses negatif pilkada langsung yang jika dibiarkan bisa merusak sistem demokrasi yang saat ini sedang dibangun.

“Jika ditata kembali, saya yakin pilkada bisa efisien dan efektif. Efisien maksudnya diselenggarakan secara hemat. Sementara efektif artinya, pilkada langsung mampu melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas. Saya masih yakin dengan sistem pilkada langsung. Asal sistem dan mekanismenya diperbaiki,” ungkap Fahira di Jakarta (22/09).

Senator yang meraih suara terbanyak di Jakarta ini mengatakan, yang menjadi alasan utama munculnya usulan kepala daerah dipilih DPRD adalah karena sejak digelar pertama kali pada 2005, pilkada langsung lebih banyak mudaratnya seperti praktik politik uang yang semakin massif, konflik, sengketa, kerusuhan, dan yang sekarang marak adalah kepala daerah tersangkut kasus korupsi.

“Tapi yang juga harus dicermati, pilkada langsung juga banyak melahirkan pemimpin-pemimpin baru yang tidak hanya berkualitas tetapi juga penuh inovasi dalam memberikan pelayanan publik kepada warganya. Pilkada langsung juga banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional. Salah satunya presiden terpilih sekarang,” ungkap Fahira.

Menurut Fahira, pangkal sebab yang membelit persoalan pilkada adalah mahalnya ongkos yang harus dikeluarkan calon kepala daerah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi calon gubernur/bupati/walikota harus menyediakan dana dengan jumlah yang sangat besar. Mulai dari ‘sewa perahu partai’, iklan, sosialisasi, hingga biaya operasional lainnya.

“Setelah terpilih yang ada dalam benak mereka adalah bagaimana mengembalikan modal itu. Karena mengharap gaji tidak mungkin, praktik korupsi jadi pilihan. Akibatnya banyak kepala daerah yang saat ini tersangkut kasus korupsi. Partai juga harus perbaiki rekruitmennya, agar kepala daerah yang diajukan adalah yang punya kapasitas, bukan yang punya modal semata,” tukas perempuan yang juga dikenal sebagai aktivis sosial ini.

Di banyak negara demokrasi yang sudah maju, lanjut Fahira, untuk menghindari kandidat mencari pundi-pundi dana yang tidak halal, negara membantu biaya sosialisasi kandidat melalui lembaga-lembaga penyiaran publik (televisi dan radio) di mana semua kandidiat mendapat jatah yang sama menyosialisasikan program-programnya. Selain itu, praktik yang juga bisa diterapkan di Indonesia adalah kultur fundraising (penggalangan dana) di mana konstituen beramai-ramai memberi sumbangan untuk kandidat yang mereka pilih jadi kepala daerah.

“Kalau kultur ini sudah terbangun, praktik-praktik politik uang tidak akan laku karena rakyat sudah pintar. Nah, sekarang kita sedang menuju ke sana. Ini sudah terlihat di beberapa pilkada langsung. Jadi jangan langsung merubah tata cara pemilihan, tetapi perbaiki sistem pilkada langsung kita. Rakyat sedang belajar berdemokrasi yang baik dan sehat,” jelas Fahira.

Terkait mahalnya biaya penyelenggaran pilkada langsung bahkan sampai mengurus APBD sebuah daerah, Fahira menyarankan agar RUU Pilkada yang sedang dibahas saat ini, ada klausul tentang penyeleggaraan pilkada langsung serentak. Ke depan, Fahira menyarankan, hanya ada dua pemilu di Indonesia yaitu pemilu nasional (pemilu presiden, DPR, DPD dan DPRD) serta pemilu kepala daerah (gubernur, bupati, walikota). Dengan Pemilu serentak, lanjut Fahira, biaya penyelenggaraan terutama honor penyelenggara akan jauh lebih hemat.

“Kita harus siasati agar pilkada langsung tidak menggerogoti APBD sebuah daerah. Karena memang APBD idealnya diperuntukkan buat pemenuhan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, bukan habis buat penyelenggeraan pilkada. Pemilu serentak, saya rasa pilihan yang bisa kita tempuh,” saran Fahira.

Selain itu, menurut Fahira, banyaknya celah dan kelemahan pilkada langsung selama 10 tahun terakhir ini juga disebabkan regulasi terkait pilkada tidak bisa menjawab kompleksnya persoalan pilkada langsung. Seperti yang kita tahu, selama ini aturan terkait pilkada hanya jadi salah satu klausul dalam UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah. “Saya berharap RUU Pilkada yang sebentar lagi disahkan jadi jawaban persoalan pelik pilkada, bukan malah menambahnya jadi lebih runyam, apalagi jadi alat untuk memburu kekuasaan,” harap Fahira.

Exit mobile version