Menyoal Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja

Oleh: Hafiz Narazaky Zarfi., S.H., M.H. (Advokat/Konsultan Hukum)

SuaraJakarta.co, OPINI – Pada tanggal 30 Desember 2022 masyarakat Indonesia dikagetkan dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Kemunculan Perpu cipta kerja sontak membuat kaget masyarakat Indonesia. Belum adanya jawaban apakah DPR akan mentaati perintah Mahkamah Konstitusi, muncul lagi Perpu yang mana disini pemerintah dengan serta merta membuat perpu dengan pertimbangan bahwa guna melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Keadaan dimana dengan tidak adanya sebuah undang-undang yang mengakibatkan kekosongan hukum menyebabkan pemerintah harus menerbitkan sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu).

KEGENTINGAN YANG MEMAKSA PERPU

Hakim Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor 138/PUU-VII/2009 menyatakan bahwa UUD membedakan antara Perpu dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana mestinya. Karena Peraturan pemerintah Pengganti Undang-Undang (perpu) diatur dalam Bab tentang DPR sedangkan DPR adalah pemegang kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang, maka materi Perpu seharusnya adalah materi yang diatur dengan Undang-Undang dan bukan materi yang melaksanakan Undang-Undang sebagaimana dimaksud oleh Pasal 5 UUD 1945 dan materi Perpu juga bukan materi UUD. Dalam Putusan tersebut majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang diperlukan apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang;
  2. Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai;
  3. Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendasak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Majelis hakim Mahkamah Konstitusi juga bependapat bahwa dengan demikian pengertian kegentingan yang memaksa tidak dimaknai sebatas hanya dengan adanya keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh Pasal 12 UUD 1945. Benar bahwa keadaan bahaya sebagaimana dimaksud oleh pasal 12 UUD dapat menyebabkan proses pembentukan Undang-Undang secara biasa atau normal tidak dapat dilaksanakan, namun keadaan bahaya bukanlah satu-satunya keadaan yang menyebabkan timbulnya kegentingan yang memaksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1) UUD 1945.

BACA JUGA  Bang Ardy Dorong Penerapan Honor PJLP Sesuai UMP di DKI Jakarta

PERPU NOMOR 2 TAHUN 2022

Lantas bagaimana dengan PERPU Nomor 2 tahun 2022, apa yang menyebabkan perpu tersebut begitu menarik untuk dibahas? Penulis beranggapan bahwa adanya keinginan dari pemerintah untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 91/PUU-XVIII/2020. Putusan tersebut memerintahkan DPR sebagai pemegang kekuasaan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki Undang-Undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang mana UU tersebut telah diterbitkan tanpa memenuhi persyaratan formil dalam pembentukan sebuah undang-undang berdasarkan aturan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan juga harus tunduk dan patuh terhadap syarat pada asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan.

Menurut hemat penulis, keinginan pemerintah untuk sesegera mungkin menyelesaikan persoalan UU cipta kerja dengan cara membuat Perpu cipta kerja agar dapat melaksanakan amanat Mahkamah Konstitusi, justru berakibat pada tumpang tindih kewenangan antar lembaga. Mahkamah Konstitusi menyatakan UU cipta kerja inskonstitusional bersyarat sampai diperbaikanya UU tersebut. Kalau kita melihat bahwa dasar pembentukan perpu cipta kerja adalah adanya kekosongan hukum yang mengakibatkan kegentingan yang memaksa, yang menurut tafsiran pemerintah, jikalau pemerintah menunggu DPR agar dibuat sebuah undang-undang secara prosedur akan memerlukan waktu yang cukup lama maka perpu adalah jalan keluarnya. Akan tetapi Mahkamah Konstitusi telah memberikan waktu selama 2 tahun sejak putusan MK itu diucapkan, dengan kata lain sampai bulan November 2023 UU cipta kerja masih tetap berlaku dan tidak terjadinya sebuah kekosongan hukum yang dimaksud.

BACA JUGA  DPR Minta KNKT Selediki Tabrakan KRL di Stasiun Juanda

Pemerintah telah menggunakan kewengan yang berlebihan dalam melihat persoalan UU cipta kerja. Seharusnya pemerintah mendorong terjadinya perbaikan UU cipta kerja bukan malah memaksakan untuk menerbitkan perpu. Walaupun pemerintah diberikan kewenangan oleh UUD untuk membuat sebuah perpu, akan tetapi pemerintah tidak bisa dengan serta merta menyatakan kondisi kenegaraan berada dalam kondisi ikhwal kegentingan yang memaksa untuk dihadirkannya sebuah peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Lagi pula yang menjadi masalah dalam pembentukan UU cipta kerja adalah tidak berkesesuaiannya tata cara pembentukan UU cipta kerja tersebut dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan DPR telah melakukan perbaikan UU pembentukan peraturan perundangan-undangan dengan menambahkan metode pembentukan peraturan perundang-undangan dengan cara omnibuslaw.

Dengan adanya perubahan UU pembentukan peraturan perundang-undangan, seharusnya pemerintah tidak perlu tergesa-gesa untuk memutuskan dengan mengambil langkah untuk menerbitkan sebuah perpu. Kalaulah putusan Mahkamah Konstitusi memerintahkan DPR untuk memperbaiki metode pembuatan undang-undang cipta kerja, maka seharusnya pemerintah dapat mendorong DPR untuk sesegera mungkin memprioritaskan perubahan UU cipta kerja dikarenakan tidak ada alasan lagi bagi DPR untuk menunda proses perbaikan terhadap UU cipta kerja. [**]

SuaraJakarta.co
Author: SuaraJakarta.co

Related Articles

Latest Articles