Site icon SuaraJakarta.co

Kenapa Hasil Survei Bisa Meleset Jauh dari Perhitungan KPU? Ini Jawabannya!

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Menjelang pemilihan umum, baik pilkada atau pemilu, selalu bertebaran lembaga-lembaga survei untuk melihat elektabilitas masing-masing paslon.

Tak jarang, beberapa lembaga survei tersebut dapat melakukan berulang-ulang kali survei, baik jelang 6 bulan, 3 bulan, hingga 1 bulan menjelang hari H pemilihan suara.

Meskipun demikian, tak jarang kesalahan terjadi, dimana hasil dari perhitungan (real count) KPU/D berbeda jauh dari hasil survei beberapa lembaga tersebut. Hal itu mengingat populasi data suara hanya diwakilkan oleh sebagian sampel. Namun kesalahan menjadi luar biasa, jika terjadi di luar batas (margin of error) dan dilakukan oleh lembaga survei besar.

Salah satu contoh tidak sesuainya hasil survei dengan perhitungan KPU/D adalah dalam kasus yang dialami oleh LSI Denny JA saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2012. Melihat hasil quick count, prediksi lembaga pimpinan Denny JA soal kemenangan pasangan Fauzi Bowo (Foke)-Nachrowi Ramli (Nara) meleset jauh.

Dalam hasil quick count yang dilakukan LSI sendiri didapatkan, pada posisi teratas adalah Jokowi-Ahok dengan 43,04 persen suara. Sementara Foke-Nara berada di urutan kedua dengan hanya 34,10 persen suara.

Hasil tersebut jomplang dengan hasil survei yang dirilis 1 Juli lalu atau 10 hari jelang pencoblosan. Survei LSI kala itu menunjukkan suara Foke-Nara tetap unggul 43,7 persen. Sementara Jokowi-Ahok 14,4 persen atau terpaut jauh sekitar 30 persen suara.

Contoh lainnya adalah saat Pilkada Jawa Barat 2008. Dalam Pilkada Jabar 2008, hasil survei LSI juga melenceng. Hampir semua lembaga survei kala itu tidak ada yang memprediksi Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) bakal tampil sebagai pemenang di Bumi Pasundan. Hasil quick count LSI menunjukkan Hade mendapat 39,97 persen suara, dan hasil KPU Jawa Barat juga menetapkan tidak jauh berbeda, yakni 40,50 persen atau 7.287.647 jumlah suara.

Direktur Riset LSI Denny JA, Toto Izul Fatah menjelaskan alam survei pra-pencoblosan saat Pilgub DKI 2012, dia berdalih semua lembaga juga menyatakan hal yang sama, yakni Foke-Nara urutan pertama dan Jokowi-Ahok kedua, meski dengan selisih jumlah suara.

“Ini adalah anomali yang kadang terjadi dalam ilmu sosial. Dari 100 kali eksperimen, sangat mungkin 5 persen hasilnya berada di luar yang terduga,” kata Toto sebagaimana dikutip dari laman Merdeka.com, Jumat (13/7/2012).

Di sisi lain, persoalan psikologis responden, seperti soal keamanan dirinya, juga menjalani factor utama kenapa memilih pilihan berbeda baik saat survei maupun saat pilkada atau pemilu.

“Masyarakat kemungkinan tertekan saat disurvei, sehingga tidak keluar,” tambah Toto.

Dalam konteks Pilkada DKI 2017, lima lembaga survei, seperti Poltracking, Indikator, LSI Denny JA, dan Charta Politica, kompak menempatkan paslon Agus-Sylvi di peringkat pertama, Ahok-Djarot di posisi kedua, dan Anies-Sandi di peringkat buncit.

Bahkan lembaga survey LSI pimpinan Dodi Ambardi berani menempatkan paslon Ahok-Djarot sebagai yang pertama, disusul oleh Agus-Sylvi kedua, dan Anies-Baswedan ketiga. Di saat cagub Ahok sedang menjadi terdakwa kasus penistaan agama.

Hanya Lembaga Riset Lembaga Konsultan Politik Indonesia (LKPI) yang menempatkan Anies-Sandiaga di urutan pertama, Agus-Sylvi kedua, dan Ahok-Djarot.

Sehingga, dengan penjelasan di atas, bukan tidak mungkin fenomena kemenangan Jokowi-Ahok di Pilgub 2012 atau Aher-Dede Yusuf di Pilgub 2008, akan berbanding lurus dengan Pilgub DKI 2017. Dimana sang kuda hitam, Anies Baswedan – Sandiaga Uno berhasil menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur DKI di luar prediksi lembaga survei selama ini. (RDB)

Exit mobile version