Site icon SuaraJakarta.co

Fahira Idris: Jangan Ada Lagi Buku Pelajaran Sekolah yang Merusak

Fahira Idris

Fahira Idris. (Foto: IST)

SuaraJakarta.co, JAKARTA — Setelah publik dikejutkan dengan buku ajar Sekolah Dasar (SD) bermuatan pornografi beberapa waktu lalu, kini muncul lagi buku ajar kelas X dan XI Sekolah Menengah Atas (SMA) mengandung materi radikal yang sangat berbahaya karena menanamkan rasa kebencian. Harus ada solusi konkret agar tidak ada lagi buku-buku ajar yang berpotensi merusak generasi muda.

Wakil Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang membidangi persoalan pendidikan Fahira Idris meminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (kini Kementerian Kebudayan, Pendidikan Dasar dan Menengah) mempunyai sistem yang ketat dalam menyeleksi semua buku ajar sebelum sampai ke tangan siswa.

“Kita jangan jadi seperti pemadam kebakaran yang baru sibuk setelah kejadian. Buku-buku seperti ini tidak akan beredar kalau ada mekanisme seleksi yang ketat. Bagi anak-anak kita, semua materi dalam buku ajar yang mereka terima dari sekolah adalah sebuah kebenaran. Ini bahaya,” tegas Senator Asal DKI Jakarta ini di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta (24/03).

Fahira mengatakan, buku teks atau buku ajar adalah buku yang dirancang untuk diajarkan kepada murid di kelas yang disusun dan disiapkan dengan cermat oleh ahli atau pakar dalam bidang ilmu tertentu dengan tujuan intruksional dilengkapi dengan sarana pengajaran yang serasi dan mudah dipahami oleh para pemakainya di sekolah-sekolah sehingga menunjang suatu program pengajaran.

“Saya pribadi mau mempertanyakan di mana peran penerbit dalam menyeleksi dan mengedit naskah buku ajar ini? Di mana peran BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang tugasnya menilai kelayakan isi, bahasa, penyajian, dan kegrafikaan buku teks pelajaran? Kenapa materi berbahaya seperti ini bisa lolos?” tegas Fahira.

Menurut Fahira buku ajar yang ada di sekolah setidaknya harus memuat beberapa kriteria antara lain membuat peserta didik paham makna dan hasil yang diharapkan; memotivasi belajar tanpa dipaksa; mendorong anak memiliki atensi/perhatian terhadap apa yang dipelajari; mendorong pola belajar yang mandiri; dan membuat peserta didik menemukan nilai dan etika yang relevan dengan kehidupan kekinian dan moral yang berlaku.

“Semuanya itu menyatu dan mengarah pada pembentukan karakter dan akhlak mulia pelajar kita. Jadi menyusun buku ajar itu tidak boleh sembarangan apalagi menyesatkan. Buku ajar itu harus punya kemampuan menyadarkan siswa bahwa sesuatu yang salah itu salah walaupun bertentangan dengan pendapat umum. Penyusun buku ajar harus paham filosofi ini, kalau tidak bisa kacau dunia pendidikan kita,” tukas aktivis sosial yang concern terhadap persoalan generasi muda ini.

Exit mobile version