SuaraJakarta.co, JAKARTA – Lemahnya pengawasan publik terhadap proses penyusunan dan penetapan APBD, benar-benar dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab untuk mengakali APBD. Memang, selama ini kebanyakan publik fokus memantau fungsi DPRD-nya dalam bidang legislasi dan pengawasan, sementara fungsi penganggaran sering luput karena dianggap rumit. Publik kebanyakan belum paham bagaimana melihat postur APBD apakah berpihak pada publik atau tidak, apalagi daerah yang belum menerapkan e-budgeting. Sehingga ada kesan, APBD hanya urusan kepala daerah dan DPRD serta mereka yang mengerti anggaran.
Menurut Fahira, Jika APBD benar-benar pro rakyat dan diimplementasikan dengan baik dan benar, dampaknya akan terasa langsung ke masyarakat. Makanya, mau tidak mau masyarakat harus intensif mengawasinya.
Agar mudah, Fahira menyarankan masyarakat di daerah bisa melihat APBD dari rasio belanja tak langsung (gaji PNS, belanja bunga, belanja subsidi, belanja hibah, belanja bantuan sosial, belanja bagi hasil, belanja bantuan keuangan, belanja tak terduga) dibadingkan dengan belanja langsung (belanja pegawai atau honorarium, belanja barang dan jasa serta belanja modal). Melihat APBD pro rakyat atau tidak juga dapat dilihat melalui sejauh mana belanja barang dan jasa, program dan kegiatannya diperuntukkan untuk pelayanan publik.
Idealnya, lanjut Fahira, belanja aparat atau belanja tidak langsung harus lebih kecil dari belanja publik atau belanja langsung. Memang belum ada ketentuan rasionya seperti apa, tetapi setidaknya jika masyarakat menemukan anggaran aparat lebih besar, APBD tersebut patut dikritisi.
“Setelah itu publik bisa fokus ke belanja langsung yaitu belanja barang dan jasa. Titik krusial yang harus diamati adalah sejauh mana programnya menyentuh langsung kebutuhan masyarakat. Ini harus kita lakukan, karena APBD itu uang rakyat daerah yang pengelolaan diserahkan ke Pemda,” saran Fahira.