SuaraJakarta.co, JAKARTA – Kembali aktifnya militer di dunia politik, kembali menjadi sorotan. Tak ayal, hal itu karena berulang kali Panglima TNI Gatot Nurmantyo diduga menggunakan sejumlah isu sensitif untuk bermanuver politik.
Salah satu isu yang menjadi sorotan publik adalah saat Panglima TNI Gatot Nurmantyo mengeluarkan pernyataan terdapat pengadaan 5000 pucuk senjata untuk keperluan institusi non-militer di hadapan banyak jenderal aktif dan purnawirawan beberapa waktu lalu.
Kondisi ini pun menjadi sorotan pengamat. Dosen Hubungan Internasional UI Edy Prasetyono misalnya mengatakan bahwa posisi TNI dalam ketatanegaraan, sangatlah bias.
“Panglima TNI memiliki dua posisi. Yaitu, secara operasi perang berada di bawah kendali presiden. Namun, secara organisasi TNI di bawah Kemenhan karena terkait dengan fungsi penganggaran, kebijakan politik, dan sebagainya,” jelas Edy dalam Diskusi Publik ‘Reformasi Sektor Keamanan’ di Gedung The Habibie Center, Kemang, Jakarta Selatan, Rabu (4/10).
Dirinya tidak menafikan bahwa militer akan sangat kuat di negara berkembang. Namun, jika dalam kondisi demikian, tambahnya, posisi dan otoritas sipil juga harus diperkuat. Misalnya, institusi Partai Politik, DPR, LSM, dan sebagainya.
“Itulah mengapa saya kira presiden saat rapat kabinet kemarin di depan panglima TNI, Kapolri, Kepala BIN dan jajaran menteri mengatakan dirinya adalah Panglima Tertinggi. Karena presiden berasal dari kalangan sipil, dan militer tidak boleh melebihi otoritas presiden,” jelasnya. (RDB)