Site icon SuaraJakarta.co

Bambang Widjojanto Beberkan Bukti-bukti Korupsi Ahok Dari Temuan BPK

Ilustrasi. (Foto: IST)

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto membeberkan sederet bukti dugaan korupsi di era kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Bukti-bukti itu merupakan hasil temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang dilaporkan per Mei 2016 lalu.

Selama ini pemerintahan di masa Ahok dianggap paling bersih dari korupsi. Padahal, kata Bambang, banyak bukti yang diindikasikan perbuatan korupsi. Lantas, ia pun membeberkan temuan bukti-bukti itu.

“Bagaimana bisa disebut pemerintahan Ahok tidak korupsi kalau banyak perbuatan koruptif yang terjadi di DKI? Siapa Bilang Ahok Tidak Koruptif? Ini Sederet Buktinya!,” kata Bambang seperti dikutip beberapa media di Jakarta.

Selain itu, Bambang mengungkapkan bahwa BPK menemukan ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan oleh Pemprov DKI Jakarta sebanyak 15 temuan senilai Rp 374.688.685.066.

Bambang juga menyoroti salah satu laporan BPK tentang aset tetap Dinas Pendidikan DKI senilai Rp 15.265.409.240.418 yang tidak dapat diyakini kewajarannya. Pemprov DKI juga diketahui belum menagih kewajiban penyerahan fasos-fasum oleh 1.370 pemegang surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT) dalam bentuk tanah seluas 16,84 juta meter persegi.

“Soal kemitraan antara Pemprov DKI dan pihak ketiga senilai Rp 3,58 triliun, BPK belum dapat meyakini pencatatan asetnya. Dari data-data itu, bagaimana bisa disebut pemerintahan sebelumnya bebas dari unsur koruptif?” tutur Bambang.

“Menurut laporan BPK 31 Mei 2016, pengendalian pengelolaan aset tetap masih belum memadai, yaitu pencatatan aset tetap tidak melalui siklus akuntansi dan tidak menggunakan sistem informasi akuntansi sehingga berisiko salah saji,” kata Bambang.

Bambang belum menjelaskan lebih detil terkait dugaan dan temuan-temuan yang disampaikan tadi. Namun, menurut dia, ada hal lain yang lebih berbahaya, yaitu tindakan untuk tidak menyerap anggaran yang berujung pada bentuk korupsi gaya baru yang belum bisa dijerat oleh hukum.

“Seperti begini, orang boleh melanggar KLB (koefisien lantai bangunan), tetapi bayar denda. Kesalahan dijustifikasi asal kau bayar uang. Ketika bayar uang, dikatakan dipakai untuk kemaslahatan, tetapi tidak masuk dulu di dalam anggaran,” ujar Bambang.

Berikut daftar kasus korupsi di DKI Jakarta yang beredar di media di era kepemimpinan Ahok baik sebagai gubernur maupun sebagai wakil gubernur era Jokowi yang dikutip dari berbagai sumber.

1). Kasus Transjakarta Busway

Pengadaan bus transjakarta senilai Rp 1,2 triliun terbukti merugikan negara ratusan miliar rupiah. Busway yang belum sebulan didatangkan dari Cina berkarat dan rusak sehingga tidak bisa digunakan. Kejaksaan telah menetapkan dua orang PNS DKI sebagai tersangka tetapi tidak pernah berusaha menyentuh gubernur dan wakil gubernur sebagai penguasa anggaran, padahal dugaan keterlibatan keduanya banyak diapungkan berbagai pihak.

Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi menilai kasus korupsi yang nilainya lebih dari Rp 1 triliun tidak mungkin hanya dilakukan pejabat eselon III. Pihak agen tunggal pemegang merek (ATPM) dan makelar proyek yang sebelumnya mengaku sebagai tim sukses Jokowi juga harus diperiksa.Bahkan, Uchok menyebut dua tersangka itu sebagai “boneka” saja.

“Bukan mereka yang mendesain korupsi, malah cuma jadi kambing hitam saja. Kalau Kejagung hanya menetapkan mereka bedua sebagai tersangka, seolah-olah Kejagung bermain mata dan melepas kasus itu,” kata Uchok.

2). Kasus UPS

Polri memperkirakan kerugian negara akibat korupsi UPS mencapai Rp 50 miliar. Bareskrim Mabes Polri telah menetapkan dua orang pejabat kepala dinas dan satu orang perusahaan rekanan sebagai tersangka. Rabu (29/07) Ahok telah dipanggil sebagai saksi.

Dalam keterangannya usai pemeriksaan, Ahok mengaku ditanya seputar tanda tangan sekretaris daerah (sekda) dalam persetujuan pengadaan UPS. Mungkinkah sekda tanda tangan tanpa sepengetahuan Ahok?

3). Kasus Tanah Sumber Waras dan Reklamasi

Dalam kasus reklamasi, Ahok berkilah bahwa dirinya ditusuk dari belakang. Meskipun bertentangan dengan peraturan perundang-undangan karena menjadi kawasan Strategis Nasional, namun Ahok tetap bersikukuh untuk melakukan reklamasi di 17 pulau di kawasan pantai utara tersebut.

Ahok berdalih bahwa Keputusan Gubernur nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang pemberian izin reklamasi tersebut telah sesuai dengan Keppres Presiden Soeharto Nomor 52 Tahun 1995.

Padahal pernyataan Ahok tersebut dinilai lemah dikarenakan Ahok telah melanggar UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juncto Perpres No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi.

Ahok pun lupa bahwa pada era Presiden Gus Dur di tahun 2004, muncul UU tentang Reklamasi yang melarang Kawasan Strategis Nasional tersebut untuk direklamasi.

Sebelumnya, Ketua Aliansi Masyarakat Jakarta (Amarta), Rico Sinaga, telah mengingatkan bahwa reklamasi ini tidak boleh dilakukan karena gugatan di tingkat kasasi di Mahkamah Agung telah dimenangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Sedangkan, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga telah mempersoalkan reklamasi karena banyak instalasi vital di bawah laut yang akan terganggu.

Dalam kasus RS Wumber Waras, hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah kasus korupsi pembelian tanah milik rumah sakit Sumber Waras oleh Pemda DKI dengan harga jauh di atas harga pasaran.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah tahun fiskal 2014 tersebut, BPK mensinyalir adanya indikasi kerugian daerah sebesar Rp191,33 miliar karena kasus jual-beli tanah yang diproyeksi menjadi lahan Rumah Sakit Khusus Jantung dan Kanker itu.

Garuda Institute sebagai salah satu elemen masyarakat pemantau keuangan daerah mengecam keras provokasi yang dilakukan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok melalui media terhadap para pejabat BPK.

Menurut Koordinator Tim Peneliti Garuda Institute, Roso Daras, bahwa provokasi yang dilakukan Ahok dinilai memelintir fakta sebenarnya itu juga bertendensi politik, yaitu mendistraksi informasi dan mengaburkan pokok masalah yang lebih substansial, yakni akuntabilitas keuangan Pemprov DKI.

Menggapai hasil temuan BPK, Ahok pun angkat bicara. Ia pun membenarkan masih ada indikasi korupsi di lingkungan Pemprov DKI.

“Bisa aja ada (indikasi korupsi), saya gak tahu,” katanya Ahok seperti dikutip poskota.com, Jumat (9/12/2016).

Ahok pun meminta hasil temuan BPK tersebut untuk diperiksa dan ditindaklanjuti. “Periksa aja (temuan BPK),” katanya. (JML)

Exit mobile version