Site icon SuaraJakarta.co

Bagaimana Postur Rendahnya Serapan Belanja Daerah 2015 Saat Ahok Jadi Gubernur DKI?

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat. (Foto: Istimewa)

SuaraJakarta.co, JAKARTA – Anggaran Pendapatan dan Belanja (APBD) DKI 2015 memang cukup besar, yaitu berada di angka 69,2 T. Namun demikian, besarnya uang hasil jerih payah masyarakat Jakarta tersebut, tidak berbanding lurus dengan kinerja Pemprov DKI, khususnya Gubernur Ahok, dalam menyerap anggaran untuk membangun Jakarta agar lebih tertata baik.

Hal itu tercermin dari postur serapan anggaran hingga semester II tahun 2015 ini. Menurut Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat yang dikutip dari Harian Seputar Indonesia, Jumat (28/5), menyebutkan bahwa dari 69,2 T tersebut jumlah belanja modal yang dialokasikan sebesar Rp 20,44 T. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut baru terserap 2,43% (497,65 M), di antaranya

  1. Belanja tanah hanya terserap 1,16% (63,4 M) dari total Rp 5,43 T.
  2. Belanja peralatan dan mesin hanya terserap 1,6% (50,07 M) dari total Rp 3,13 T.
  3. Belanja gedung dan bangunan hanya terserap 2,86% (152,74 M) dari total 5,33 T.
  4. Belanja jalan, irigasi, dan jaringan hanya terserap 3,56% (228,9 M) dari total 6,43 T.
  5. Belanja aset tetap lainnya baru terserap 2,62% (2,78 M) dari total anggaran 106,63 M.

Selain itu, Djarot menyebutkan total belanja daerah dari APBD DKI 2015 tersebut sebesar 63,65 T. Namun hingga semester II ini yang baru terserap sekitar 19,2% atau 12,22 Triliun, dengan perincian, yaitu belanja modal hanya terserap 2,43, dan belanja operasional hanya terserap 27,18%.

Djarot pun mengakui rendahnya penyerapan ini dikarenakan para pejabat di Pemprov DKI takut dipidanakan jika menggunakan anggaran yang besar. Padahal, menurut Djarot, UU No 30/2014 Pasal 25 Ayat 1 dinilai telah membuat kepastian hukum untuk membuat diskresi kebijakan. Djarot menambahkan penggunaan diskresi kebijakan yang berpotensi mengubah alokasi anggaran, wajib memperoleh persetujuan atasan pejabat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. “Lagipula, saksi yang diatur UU ini hanya di PTUN bukan peradilan pidana. Pengambilan kebijakan ini diskresi sepanjang tidak ada niat untuk menguntungkan diri sendiri, ya, bisa dilaksanakan,” tegas Djarot.

Exit mobile version