[Opini] – Oleh: Abrar Riva’i
SESUNGGUHNYA PKS ini dari sejak awal berdirinya adalah partai yang ng-gaya. Menyebut diri sebagai partai dakwah konon, padahal ia adalah partai politik.
PKS adalah partai yang juga berorientasi kekuasaan: Ingin menjadi anggota DPR, menjadi menteri, bupati, walikota, gubernur dan bahkan terakhir ngotot ingin menjadi wakil presiden mendampingi Prabowo. Walau keinginan tersebut akhirnya kandas, bersama ketidak-berdayaan diri yang tidak mampu diukur.
Dakwah secara sederhana adalah upaya mengajak menusia kepada Allah. Itulah yang dilakukan para da’i sepanjang masa pada berbagai panggung sejarah, di berbagai tempat, dengan berbagai bentuk dan coraknya.
PKS yang dalam banyak kesempatan sentiasa mendoktrin kadernya dengan adigum: “Nahnu du’at qabla kulli syaiˋ = Kita adalah pendakwah, terlepas apapun profesi kita,” ternyata semakin ke sini semakin mendegradasi berbagai sisi-sisi dakwah yang telah mereka jadikan trade mark.
Dakwah sebagai label, tinggallah label. Dakwah sebagai bungkus, tinggallah bungkus. Label mungkin semakin ditegaskan. Bungkus mungkin semakin dipercantik dan dipertebal. Tapi PKS abai memperhatikan isi dari bungkus tersebut. PKS abai meneguhkan substansi, karena lebih berkutat pada penegasan label.
Dakwah sebagai upaya setiap orang atau sekelompok orang untuk mengajak manusia kepada Allah, nyatanya yang diperagakan PKS adalah mengajak manusia kepada PKS.
Makanya kesuksesan dakwah bagi PKS adalah ketika semakin banyak orang yang bergabung dengan PKS. Semakin banyak orang yang memilih calon anggota DPR, Bupati/Walikota, Gubernur yang diusung PKS.
Keberhasilan seorang kader dalam dakwahnya, ketika yang bersangkutan sukses membentuk halaqah-halaqah baru. Kesuksesan seorang kader dakwah bagi PKS adalah ketika ia berhasil mengajak banyak orang mau untuk dibina di internal PKS.
Maka, setiap kader PKS yang militan ketika melihat orang, yang bergelayut di benaknya adalah bagaimana caranya agar orang tersebut mau ikut pembinaan di PKS, dalam lingkaran-lingkaran yang mereka sebut sebagai halaqah.
Pada masala tertentu, digaransi oleh kerajinan mendatangi halaqah dan mentaati murabbi, orang tersebut akan dinaikkan level. Istilah mereka ditaqwim. Secara mudah, arti ditaqwim adalah ditegakkan. Orang yang sudah ditaqwim ini berikutnya disebut KI (kader inti). Nantinya KI ini kelompok pembinaannya tidak lagi disebut halaqah. Tapi sudah pindah lingkaran yang lazim disebut usroh.
Kita tidak akan menutup mata, bahwa sebagai gerakan sosial, PKS banyak menorehkan prestasi. Tidak bisa dipungkiri maraknya sekolah-sekolah Islam di luar pesantren, itu adalah karya orang-orang PKS. Sekolah Islam Terpadu tumbuh subur dimana-mana seperti poster caleg di musim kampanye.
Sampai-sampai ada JSIT = Jaringan Sekolah Islam Terpadu, yang menjadi lembaga konsultan dan penjamin mutu terhadap semua sekolah Islam terpadu yang bergabung dengannya. Bahkan sampai membuat standart mutu sendiri, di luar LPMP yang merupakan lembaga mutu resmi yang dibentuk Pemerintah. Untuk hal ini PKS terbaiklah!
Begitu juga maraknya nasyid-nasyid Islam dan karya-karya sastra Islam, pun tak lepas dari buah karya PKS. Di internal PKS banyak sekali grup-grup nasyid, semisal Shoutul Harokah, Suara Persaudaraan, Izzatul Islam dan lain-lain. Para penulis fiksi-fiksi Islam pun banyak berasal dari PKS, semisal Sinta Yudisia, Habiburrahman El Syirazi, Maimon Herawati dan lain sebagainya. Untuk hal ini, bolehlah kalau kita sebut PKS juga terbaik.
Untuk aksi-aksi kemanusiaan pada berbagai bencana, PKS adalah satu di antara yang terdepan selalu hadir dan berjibaku memberikan bantuan kemanusiaan. Ada banyak lembaga-lembaga kemanusiaan yang berafiliasi kepada partai pimpinan Habib Salim al Jufri ini. Semisal PKPU, KNRP, LMI dan lain sebagainya.
Begitulah, ketika PKS memadukan dakwah dengan sastra, mereka berhasil. Menggandengkan dakwah dengan seni, mereka pun berhasil. Bahkan ketika PKS mengawinkan dakwah dengan kemanusiaan, mereka juga berhasil.
Tapi, ketika PKS mencoba menggabungkan dakwah dan politik, di sinilah PKS menuai kegagalan nyaris total.
Bahwa kemudian 7 sampai 50 orang – sebagiannya bukan kader, yang diantarkan PKS menjadi anggota DPR, memang benar. Secara pencapaian politik itu sudah bagus.
Beberapa kader PKS ada juga yang menjadi gubernur. Walau seorang di antaranya akhirnya direbut PDIP. Sebagaimana juga beberapa orang telah menjadi bupati/walikota dan banyak yang sudah menjadi anggota dewan tingkat propinsi dan kabupaten/kota.
Pun, orang-orang PKS sudah pernah menjadi menteri dan pimpinan DPR/MPR. Jabatan politik tertinggi, ketika Hidayat Nur Wahid menjadi Ketua MPR. Orang-orang yang pernah menjadi menteri semisal Tifatul Sembiring, Salim Segaf Al Jufri, Nur Mahmudi Ismail dan lain-lain. Anis Matta dan Fahri Hamzah masing-masing pernah menjadi wakil ketua DPR.
Dua nama terakhir yang tersebut di atas, sekarang tidak lagi bersama PKS, yang merupakan (konon) partai dakwah. Tapi Anis dan Fahri sekarang telah membuat partai asli partai. Tidak pakai embel-embel dakwah.
Tapi, sedikit keberhasilan pencapai prestasi politik tersebut tidak lantas bisa PKS disebut berhasil menggandengkan dakwah dan politik. Bahkan lantang saya tegaskan bahwa hampir semua aksi PKS di politik telah mendegradasi kemuliaan dakwah!
Dakwah itu merangkul, bukan memukul. Dakwah itu menyandang, bukan menendang. Dakwah itu membuat rekat, bukan memecat. Dakwah itu mendidik, bukan membidik. Dakwah itu menasehati, bukan memblejeti. Dakwah itu mencinta, bukan menista.
Kita lihat, bagaimana perlakuan PKS kepada orang lain dan kepada kadernya. Yang terdekat adalah sikap atas kegagalan mereka terhadap perebutan Wagub DKI. Cercaan dan hujatan kepada Gerindra: Prabowo dan Sandiaga, bertebaran di berbagai tempat. Terlontar dari pejabat teras partai sampai kader sekelas buzzer. Apakah itu dakwah?
Di internal mereka, bagaimana untuk mempertahankan kesalahan ketika memecat kadernya, mereka harus bersidang ke pengadilan. – walau akhirnya kalah– Apakah itu dakwah?
Belum lagi berbagai gelombang pemecatan dengan cara-cara tidak beradab: hanya dengan pesan WA, tanpa ada musyawarah dan berbagai mekanisme semestinya lainnya. Pengucilan sosial, pemutusan hubungan kerja, perebutan yayasan, sekolah dan lain-lain. Apakah itu dakwah?
Belum lagi kalau kita bicara masalah perilaku korup sebagian orang di dalamnya. Baik yang sudah divonis atau pun belum. Termasuk juga mereka akhirnya melakukan money politik untuk memenangkan kontestasi di berbagai levelnya. Termasuk penerimaan mahar dari para calon kepala daerah yang diusung. Sekali lagi, apakah itu dakwah?
Maka, sempena Milad PKS yang ke 22 ini, saya sarankan, tanggalkan saja penyematan diri sebagai partai dakwah. Biar tidak terlalu lama kalian melakukan kamuflase yang telah banyak memperdaya manusia Indonesia.
Untuk orang-orang yang akhirnya keluar dari PKS, baik yang bergabung ke partai lain atau yang sudah membentuk partai baru, mohon kalau mau jadi partai politik, jadilah partai politik yang berkelamin jelas.
Jangan seolah-olah partai politik, tapi bermain-main di ranah agama. Atau kalau mau berdakwah, profesianal saja di situ. Jangan dicampur-campur politik. Kalian jangan melanjutkan kamuflase dakwah yang telah diperagakan PKS sebelumnya.
Selamat Milad, PKS! Selamat datang, Gelora!
Sumber: https://www.orangramai.id/politik/22-tahun-kamuflase-dakwah-pks/